Imbalan bagi Jasa Alam

By , Rabu, 20 April 2016 | 16:29 WIB

Dari penuturan kepala desa Sindang Pakuon dan Cihanjuang, menunjukkan pernah terjadi konflik dalam pemanfaatan air dengan desa lain yang menjadi lokasi sumber mata air. Konflik air ini ditengarai dari adanya gangguan-gangguan pada instalasi air bersih.

Perseteruan ini menandakan adanya kompetisi pemanfaatan air.Ini terjadi karena debit air terus berkurang untuk memasokberbagai kebutuhan: domestik, industri dan pertanian. Namun, pada saat yang sama, konflik juga membuka momentum penyadaran bagi semua pihak untuk menjaga daerah tangkapan air.

Pengalaman paceklik dan konflik airmenumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mempertahankan daerah resapan di bagian hulu. Hal ini dibuktikan dengan adanya Keputusan Kepala Desa Cihanjuang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Kepengurusan Pamdes Maju Makmur.

Warga di dua desa itu memang berkeinginan untuk berkontribusi terhadap penyedia jasa yang berdiam di wilayah hulu. Menariknya, para pemanfaat air ini berada di luar kawasan, namun menyadari aliran air berasal dari hutan konservasi Masigit Kareumbi. Niat berkontribusi itulah bekal awal untuk imbal jasa lingkungan air.

Imbal Jasa lingkungan merupakan mekanisme pembayaran dari pemanfaat kepada penyedia jasa lingkungan hidup.Berbekal hasil valuasi jasa lingkungan air, Komponen 3 mencoba mengembangkan lembaga imbal jasa lingkungan air di kawasan penyangga Masigit Kareumbi.

Dalam mengembangkan imbal jasa ini, yang menentukan adalah keberadaan pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan. Tanpa ada pemanfaat dan penyedia yang saling berkomitmen, mekanisme imbal jasa mustahil dapat dikembangkan.!break!

Dari Masigit Kareumbi, diharapkan muncul sebuah model imbal jasa lingkungan bagi kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat.“Kawasan ini unik. Masigit Kareumbi dikelilingi 32 desa dari sembilan kecamatan di tiga kabupaten. Sementara di kawasan lain tidak sebanyak itu. Bayangkan saja, jasa lingkungan dari kawasan konservasi seluas 12.000 hektare bisa menghidupi 32 desa,” papar Eri Midranaya, Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar KSDA Jawa Barat.

Untuk itu, Komponen 3 menyisir data sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sepanjang Sungai Citarik. Pada 2013 tim Komponen 3 telah menghasilkan peta jasa lingkungan air yang menggambarkan hubungan hulu-hilr.

Pada tahun itu juga dilaksanakan prakondisi, yang disusul pematangan hasil kajian pada 2013. Dan, pada 2014 dilakukan pematangan konsep pengembangan imbal jasa di daerah penyangga Masigit Kareumbi.

Berbekal kegatan 2014, dalam mengembangkan imbal jasa lingkungan, pada 2015 dilakukan orientasi lapangan di daerah hilir Sub-DAS Citarik yang berhulu di Masigit-Kareumbi. Salah satu kegiatannya: memetakan para pihak pemanfaat air.

Selain tiga pemanfaat air: Tirta Pakuon, Maju Makmur dan Mitra Sejahtera, di DAS Citarik terdapat pihak lain yang memanfaat air dari Masigit Kareumbi. Salah satunya PT Coca Cola Amatil Indonesia yang berdiri pada 1980-an di Cihanjuang. Perusahaan minuman ini memanfaatkan air sebagai bahan baku utama dalam proses produksinya.

Pasokan air bakunya berasal dari air tanah dengan rencana debit mencapai 50.000 meter kubik setiap bulan. Namun, rencana itu baru terealisasi sekitar 20.000 meter kubik. Sebagian besar porsi air digunakan untuk bahan baku produksi minuman ringan dan sanitasi. Sisanya, sekitar 13 persen air untuk pasokan masyarakat di sekitar pabrik.