Nationalgeographic.co.id - Para ilmuwan telah menganalisis DNA kuno dari badak yang telah punah dan membandingkannya dengan DNA badak modern yang hidup di zaman sekarang. Temuan tersebut mengungkapkan evolusi keluarga badak dengan tingkat keragaman genetik yang rendah dan tingkat kawin sedarah yang tinggi.
Pada penelitian tersebut, ilmuwan mengurutkan genom dari dua spesies badak yang masih hidup dan tiga spesies badak yang telah punah. Kemudian mereka membandingkannya dengan data yang ada dari tiga spesies badak yang masih hidup dan berbagai kelompok luar. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan di Jurnal Cell pada 24 Agustus 2021.
“Memahami hubungan di antara spesies badak dan kapan mereka menyimpang telah menjadi pertanyaan yang diajukan oleh ahli biologi evolusioner sejak awal bidang ini,” kata Dr. Love Dalen, seorang peneliti di Centre for Palaeogenetics and the Swedish Museum of Natural History, and colleagues, seperti dilansir sciencedaily.
Baca Juga: Badak Berbulu Purba Ditemukan Membeku di Siberia, 80 Persen Utuh
"Charles Darwin sebelumnya telah membahas topik tersebut pada tahun 1842 sebagai salah satu dari segelintir contoh dalam risalah singkatnya tentang evolusi yang mendahului on the Origin of Species pada tahun 1859," Dalen menambahkan.
Ia mengatakan, Rhinocerotoidea, kelompok taksonomi termasuk keluarga badak Rhinocerotidae, telah menyimpang dari tapir 55-60 juta tahun yang lalu baik di Eurasia atau Amerika Utara. Keluarga tersebut kemudian menyebar ke setidaknya 100 spesies yang tersebar di Afrika, Eurasia, Amerika Utara dan Tengah dan termasuk beberapa mamalia darat terbesar yang pernah hidup.
"Meskipun badak pernah menjadi klad yang beragam, badak yang ada (saat ini) hanya terdiri dari lima spesies, yang semuanya sangat terancam punah dan prioritas global untuk konservasi,” katanya.
Ia menjelaskan, sebagian besar badak punah sebelum zaman Pleistosen dengan hanya sembilan spesies yang bertahan hingga Pleistosen Akhir, di mana kepunahan tambahan terjadi.
Baca Juga: Ada Studi Genetik Badak Sumatra. Hasilnya, Kabar Baik Populasi Mereka
Pada penelitian ini, para peneli menganalisis genom lima spesies badak hidup, yaitu badak India (Rhinoceros unicornis), badak putih (Ceratotherium simum simum), badak hitam (Diceros bicornis), badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), dan badak Jawa (Rhinoceros sondaicus).
Mereka juga menganalisis genom dari tiga spesies yang punah, yaitu unicorn Siberia (Elasmotherium sibiricum), badak Merck (Stephanorhinus kirchbergensis), dan badak berbulu (Coelodonta antiquitatis).
Hasilnya, peneliti menemukan bahwa perpecahan tertua memisahkan garis keturunan Afrika dan Eurasia sekitar 16 juta tahun yang lalu. Para peneliti juga menemukan bahwa sementara populasi badak yang berkurang saat ini memiliki keragaman genetik yang lebih rendah dan lebih banyak perkawinan sedarah daripada di masa lalu.
Badak secara historis memang memiliki tingkat keragaman genetik yang rendah, dan penelitian ini mengonfirmasi bahwa semua badak bahkan yang sudah punah memiliki keragaman genetik yang relatif rendah.
“Sampai batas tertentu, ini berarti bahwa keragaman genetik yang rendah yang kita lihat pada badak saat ini, yang semuanya terancam punah, sebagian merupakan konsekuensi dari biologi mereka,” kata Dalen.
Ia mengungkapkan, keragaman genetik yang relatif rendah saat ini berkorelasi dengan tingkat kawin sedarah mereka yang tinggi. Lebih tinggi dibandingkan dengan genom badak sejarah dan prasejarah yang diketahui.
Menurut peneliti, penurunan populasi badak baru-baru ini sebagai akibat oleh perburuan dan perusakan habitat telah berdampak serius pada genom badak.
Baca Juga: Titik Terang Bagi Nasib Badak Hitam Afrika yang Terancam Punah
“Ini tidak baik, karena keragaman genetik yang rendah dan perkawinan sedarah yang tinggi dapat meningkatkan risiko kepunahan pada spesies saat ini," kata Dalen.
Meski demikian, menurut peneliti, tampaknya tingkat keragaman genetik yang rendah pada badak adalah bagian dari sejarah jangka panjang mereka dan tidak menyebabkan peningkatan masalah kesehatan terkait perkawinan sedarah dan mutasi penyebab penyakit.
“Badak mungkin telah membersihkan mutasi yang merusak dalam 100 tahun terakhir, memungkinkan mereka untuk tetap relatif sehat, meskipun keragaman genetiknya rendah. Temuan ini sebagian merupakan kabar baik, dan sebagian lagi tidak,” kata Dalen.