Penjelasan Sains Hantu: Mengapa Pengalaman Supranatural Biasa Terjadi

By Agnes Angelros Nevio, Selasa, 28 September 2021 | 18:00 WIB
Potret tampilan para hantu di happening art 'Kartu Pos untuk Kota; Mimpi Buruk untuk Haryadi'. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Dalam satu studi 2018, tim Smailes menguji apakah ini juga berlaku untuk orang sehat. Mereka merekrut 82 relawan. Pertama, para peneliti mengajukan serangkaian pertanyaan tentang seberapa sering para sukarelawan ini memiliki pengalaman seperti halusinasi. Misalnya, "Apakah Anda pernah melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa?" dan “Apakah Anda pernah berpikir bahwa hal-hal sehari-hari terlihat tidak normal bagi Anda?”

Selanjutnya, para peserta melihat 60 gambar black and white noise. Untuk sesaat yang sangat singkat, gambar lain akan berkedip di tengah kebisingan. Dua belas dari gambar ini adalah wajah yang mudah dilihat. Sejumlah 24 lainnya adalah wajah yang sulit dilihat. Dan 24 gambar lainnya tidak menunjukkan wajah sama sekali—hanya lebih banyak titik-titik.

Para sukarelawan harus melaporkan apakah ada wajah atau tidak dalam setiap kilatan. Dalam tes terpisah, para peneliti menunjukkan serangkaian 36 gambar kepada sukarelawan yang sama. Dua pertiga dari mereka mengandung pareidolia wajah. 12 sisanya tidak.

Baca Juga: Aokigahara, Hutan Bunuh Diri di Jepang yang Dihantui oleh Hantu Yurei

Keberadaan hantu dan pengalaman supranatural lainnya mungkin bisa dijelaskan secara ilmiah. (Thinkstock)

Peserta yang awalnya melaporkan lebih banyak pengalaman seperti halusinasi juga lebih mungkin melaporkan wajah dalam kilatan suara acak. Mereka juga lebih baik dalam mengidentifikasi gambar-gambar yang mengandung pareidolia wajah.

Dalam beberapa tahun ke depan, Smailes berencana untuk mempelajari situasi di mana orang mungkin lebih cenderung melihat wajah secara acak.

Ketika orang merasakan adanya hantu, dia menunjukkan, "Mereka sering sendirian, dalam kegelapan dan ketakutan."

Jika gelap, otak Anda tidak bisa mendapatkan banyak informasi visual dari dunia. Itu harus menciptakan lebih banyak realitas Anda untuk Anda. Dalam situasi seperti ini, kata Smailes, otak mungkin lebih cenderung memaksakan ciptaannya sendiri ke dalam kenyataan.