Dr Parker mengatakan kehidupan orang albino di Asia dan Afrika jauh lebih sulit daripada Australia, karena matahari dan risiko tinggi kanker kulit, serta stigma sosial yang ada.
Pendidikan dan kemiskinan yang buruk di desa seperti Ciburuy juga membatasi pendidikan bagi anak albino.
"Memiliki penglihatan yang kurang baik akan menyulitkan Anda melihat papan tulis. Anda tidak memiliki alat bantu penglihatan yang dimiliki anak-anak di Australia. Jadi mereka tampaknya tidak mendapatkan pendidikan dasar," katanya.
"Sebagai orang yang tidak berpendidikan, di mana Anda akan bekerja? Anda akan bekerja di lapangan sehingga akan berisiko mengalami kanker kulit dan kulit terbakar dan kemungkinan meninggal di usia muda," paparnya.
Winda Ayu Lestari (Phil Hemingway / ABC News)
Biaya salap pelindung sinar matahari di desa seperti Ciburuy sangat mahal.
Namun Dr Parker mengatakan penganiayaan terhadap orang albino paling parah terjadi di Afrika. Mereka dianggap bukan manusia, bahkan dianggap hantu.
Takhayul di Tanzania misalnya menyebabkan banyak orang albino dibunuh agar bagian tubuh mereka bisa digunakan untuk sihir.
Harapan hidup rata-rata untuk orang albino di Tanzania yaitu sekitar 30 tahun, karena risiko kanker kulit dan serangan dari orang lain.
Dr Parker mengatakan banyak yang harus dipelajari tentang albinisme, dan mengapa insidennya sangat berbeda antara Australia dan negara-negara di Afrika atau Pasifik Selatan.
Albinism Fellowship of Australia kini berencana melakukan penelitian menggunakan media sosial untuk mengidentifikasi jumlah pasti orang albino di Australia.
Nur Hayati bersama anaknya Winda. Dua anaknya yang lain tidak mengalami kondisi albino. (Phil Hemingway / ABC News)
Artikel ini telah tayang di Australiaplus.com. Baca artikel sumber