Manusia-Manusia Berkulit Biru yang Terisolasi Akibat Diskriminasi

By Galih Pranata, Minggu, 26 Juni 2022 | 10:00 WIB
Manusia Berkulit Biru, sebuah lukisan karya Walt Spitzmiller yang mengisahkan tentang keluarga Fugate yang terisolasi akibat diskriminasi. (Walt Spitzmiller/Seattle Star)

Nationalgeographic.co.idPada tahun 1820, Martin Fugate, seorang yatim piatu Prancis, menetap di kota Hazard, Kentucky. Di sana, dia bertemu Elizabeth Smith yang dia nikahi dan mulai membangun sebuah keluarga.

"Cerita rakyat menunjukkan bahwa tidak seperti pria lain di wilayah itu, Martin memiliki kulit biru nila," tulis Yewande Ade kepada History of Yesterday dalam artikel berjudul "The Fascinating History Of The People With Blue Skin" yang terbit pada 24 Juni 2022.

Tanpa diketahui pasangan itu dan oleh suatu kebetulan yang aneh, mereka berdua memiliki gen methemoglobinemia resesif. "Itu merupakan kondisi genetik langka yang membuat kulit seseorang menjadi biru," imbuh Ade.

Ia menambahkan: "sangat tidak biasa bahwa mereka berdua memiliki sifat genetik yang langka ini. Namun, kulit Elizabeth putih, tidak seperti suaminya."

Dari tujuh anak yang dimiliki keluarga Fugate, empat di antaranya memiliki kulit biru yang sama dengan ayah mereka. Anak-anak Fugate menjalani kehidupan yang terisolasi begitu lama karena orang-orang terdekat takut bergaul dengan mereka.

Begitu juga, orang-orang menghindari menikah dengan keluarga dan keturunan Fugate karena mereka takut akan memiliki keturunan berkulit biru jika itu terjadi.

Sebagai akibat dari isolasi dan diskriminasi, beberapa keturunan Fugate menikah dan memiliki anak dalam garis keturunan mereka sendiri. Keluarga Fugate menikah dengan sepupu Fugate lainnya. Ini memberi ruang bagi produksi gen "kulit biru" yang berkelanjutan.

Namun, ada anak-anak Fugate lain yang pindah ke berbagai bagian negara dan menikah dengan orang luar. Ini juga meningkatkan kemungkinan mereka melewati gen dan memiliki lebih banyak anak dengan kulit biru.

Meskipun kulit biru tidak menyebabkan kerusakan fisik, itu merupakan sumber trauma psikologis yang konstan bagi anggota keluarga. Para Fugates dan keturunan mereka bertahan hingga usia delapan puluhan dan sembilan puluhan, tetapi terus-menerus malu dan mengalami diskriminasi karena warna kulit mereka.

"Akhirnya, keluarga Fugate tidak punya pilihan selain menerima warna kulit mereka sebagai sesuatu yang tidak biasa," ungkapnya.

 Baca Juga: Sebenarnya Apa Itu Lesung Pipi: Daya Tarik atau Cacat Genetik?

 Baca Juga: Mutasi Genetik Langka dari Keluarga Utah Terlacak hingga Lintas Benua