Dunia 'Sangat Tidak Siap' Menghadapi Letusan Gunung Berapi Masif

By Ricky Jenihansen, Kamis, 25 Agustus 2022 | 16:00 WIB
Gunung Rinjani, Indonesia. (Adobe Stock)

Nationalgeographic.co.id—Para ahli dari Pusat Studi Risiko Eksistensial (CSER) Cambridge University, dan University of Birmingham menilai, dunia "sangat tidak siap" menghadapi letusan gunung berapi masif. Terutama kemungkinan dampak pada rantai pasokan global, iklim dan makanan.

Seperti diketahui, sementara banyak dana dialokasikan untuk mencegah skenario probabilitas rendah seperti tabrakan asteroid, ancaman yang jauh lebih mungkin dari letusan gunung berapi masif hampir diabaikan. Meskipun banyak yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko, kata para peneliti.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di jurnal Nature, mereka mengatakan ada "kesalahpahaman luas" bahwa risiko letusan masif itu rendah. Artikel tersebut dipublikasikan dengan judul "Huge volcanic eruptions: time to prepare."

Komentar itu menggambarkan kurangnya investasi pemerintah saat ini dalam memantau dan menanggapi potensi bencana gunung berapi sebagai "sembrono."

Namun, para peneliti berpendapat bahwa langkah-langkah dapat diambil untuk melindungi terhadap kehancuran gunung berapi. Mulai dari peningkatan pengawasan hingga peningkatan pendidikan publik dan manipulasi magma.

Sementara, sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukannya sudah lama tertunda, menurut para peneliti.

"Data yang dikumpulkan dari inti es pada frekuensi letusan dalam waktu yang dalam menunjukkan ada satu dari enam kemungkinan ledakan berkekuatan tujuh dalam seratus tahun ke depan. Itu adalah pertaruhan," kata rekan penulis artikel dan Peneliti CSER Lara Mani, pakar risiko global.

"Letusan raksasa seperti itu telah menyebabkan perubahan iklim yang tiba-tiba dan runtuhnya peradaban di masa lalu."

Gunung Tambora dianggap sebagai salah satu letusan gunung berapi terdahsyat dalam sejarah tertulis dunia. (Rob Wood /St. Martins Press)

Mani membandingkan risiko letusan raksasa dengan asteroid selebar 1 km yang menabrak Bumi. Peristiwa semacam itu akan memiliki konsekuensi iklim yang serupa.

Tapi, kemungkinan bencana vulkanik terjadi ratusan kali lebih tinggi daripada kemungkinan gabungan tabrakan asteroid atau komet.

"Ratusan juta dolar dialokasikan ke ancaman asteroid setiap tahun, namun ada kekurangan pendanaan global dan koordinasi untuk kesiapsiagaan gunung berapi," kata Mani.

"Ini sangat perlu diubah. Kita benar-benar meremehkan risiko yang ditimbulkan oleh gunung berapi bagi masyarakat kita."

Letusan di Tonga pada bulan Januari adalah yang terbesar yang pernah tercatat secara instrumental.

Para peneliti berpendapat bahwa jika itu berlangsung lebih lama, melepaskan lebih banyak abu dan gas, atau terjadi di daerah yang penuh dengan infrastruktur penting -seperti Mediterania, maka gelombang kejut global bisa sangat menghancurkan.

"Letusan Tonga adalah ekuivalen vulkanik dari asteroid yang baru saja hilang dari Bumi, dan perlu diperlakukan sebagai panggilan untuk sadar," kata Mani.

Para ahli CSER mengutip penelitian terbaru yang mendeteksi keteraturan letusan besar dengan menganalisis jejak lonjakan belerang dalam sampel es purba.

Letusan yang sepuluh hingga seratus kali lebih besar dari ledakan Tonga terjadi setiap 625 tahun sekali, dua kali lebih sering dari yang diperkirakan sebelumnya.

Rekan penulis Mike Cassidy mengatakan, letusan terakhir berkekuatan tujuh skala richter terjadi pada 10 April tahun 1815 di Indonesia, yaitu letusan Gunung Tambora. Cassidy seorang ahli gunung berapi dan peneliti CSER yang berkunjung, sekarang berbasis di University of Birmingham.

"Diperkirakan 100.000 orang meninggal secara lokal, dan suhu global turun rata-rata satu derajat, menyebabkan kegagalan panen massal yang menyebabkan kelaparan, pemberontakan kekerasan dan epidemi dalam apa yang dikenal sebagai tahun tanpa musim panas," katanya.

Gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada 24 Desember 2021, sebelum meletus. (DigitalGlobe/Getty Images)

"Kita sekarang hidup di dunia dengan populasi delapan kali lipat dan tingkat perdagangan lebih dari empat puluh kali lipat. Jaringan global kita yang kompleks dapat membuat kita lebih rentan terhadap guncangan letusan besar."

Kerugian finansial dari letusan berkekuatan besar akan mencapai multi-triliun, dan dalam skala yang sebanding dengan pandemi, kata para ahli.

Mani dan Cassidy menguraikan langkah-langkah yang mereka katakan perlu diambil untuk membantu meramalkan dan mengelola kemungkinan letusan yang mengubah planet, dan membantu mengurangi kerusakan dari letusan yang lebih kecil dan lebih sering.

Ini termasuk penentuan risiko yang lebih akurat. Kami hanya tahu lokasi segelintir dari 97 letusan yang digolongkan sebagai besaran masif pada "Indeks Ledakan Gunung Berapi" selama 60.000 tahun terakhir.

Ini berarti mungkin ada lusinan gunung berapi berbahaya yang tersebar di seluruh dunia dengan potensi kehancuran ekstrem, yang tidak diketahui oleh umat manusia.

   

Baca Juga: Gunung Api Tonga Menimbulkan Gelombang Hampir Secepat Kecepatan Suara

Baca Juga: Studi Terbaru Ungkap Kenapa Gunung Api di Indonesia Sangat Berbahaya

Baca Juga: Studi Terbaru Ungkap Potensi Bahaya Gunung Berapi Terbesar di Dunia

Baca Juga: Gelagar-Gelagar Gunung Api Terdahsyat di Nusantara

     

"Kita mungkin tidak tahu tentang letusan yang relatif baru karena kurangnya penelitian tentang inti laut dan danau, terutama di daerah yang terabaikan seperti Asia Tenggara," kata Cassidy.

"Gunung berapi bisa tertidur untuk waktu yang lama, tetapi masih mampu menghancurkan secara tiba-tiba dan luar biasa."

Pakar CSR mengatakan, pengawasan harus ditingkatkan. Hanya 27% dari letusan sejak tahun 1950 yang memiliki seismometer di dekat mereka, dan hanya sepertiga dari data itu lagi yang dimasukkan ke dalam database global.

"Para ahli vulkanologi telah meminta satelit pemantau gunung berapi khusus selama lebih dari dua puluh tahun," kata Mani. "Kadang-kadang kita harus mengandalkan kemurahan hati perusahaan satelit swasta untuk citra yang cepat."

    

Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo