Kehidupan di Balik Borobudur: Menjelmakan Warisan Seribu Warsa

By National Geographic Indonesia, Jumat, 17 Maret 2023 | 17:00 WIB
Lukisan bertajuk 'Kehidupan di Borobudur pada abad ke-9' karya Walter Spies. (Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia)

 

Oleh Transpiosa Riomandha 

        

         

Nationalgeographic.co.id—Udara pagi masih terasa menusuk saat kami tiba di Bukit Kendil. Tepat di hadapan kami, terbentang lukisan ilahi yang maha dahsyat: saujana kawasan Borobudur.

Kabut menciptakan lapisan-lapisan siluet alam mempesona. Guratan stupa-stupa Borobudur berkelindan dengan bayangan pepohonan, jalan, rumah, serta pendaran mentari di antara gagahnya Gunung Merapi-Merbabu.

“Kita kurang pagi sedikit Mas, kabutnya sudah naik. Jika lebih pagi kita dapat melihat lebih banyak gunung lagi, langitnya lebih merah dan mataharinya lebih bulat,” terang Suparno yang biasa dipanggil Parno, pada kami. Kami pun menikmati peribadatan fotografis pagi hingga beberapa saat.

Bukit Kendil atau Punthuk Kendil berada di Gupakan, Dusun Kamal desa Giritengah kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, sekitar empat kilometer dari Candi Borobudur.

Letaknya di gigir Menoreh dan dapat dicapai melalui jalan desa yang cukup bagus. Jika beruntung, Anda dapat bersua dengan Tiris, kawan Parno juga. Rumahnya terletak di dekat pintu masuk. Tiris adalah salah satu peternak lebah madu hutan di Giritengah.

“Madunya pahit Mas, dipengaruhi dari bunga-bunga dan pohon-pohon yang dikonsumsi lebah-lebah ini,” kata Tiris sembari membuka salah satu rumah lebah.

Candi Borobudur memiliki 2.672 panel relief sepanjang total empat kilometer. Mahakarya leluhur yang luar biasa ini ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, dan tentunya masuk ke dalam Destinasi Super Prioritas. Borobudur tampak dari kejauhan, kabut pagi menciptakan lapisan-lapisan siluet alam memesona dari Bukit Kendil atau Punthuk Kendil di Dusun Kamal, Giritengah. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Tiris menjual madunya seharga 50 ribu rupiah untuk botol kecil dan 150 ribu rupiah untuk botol besar.

Bagi saya dan fotografer Dwi Oblo, Suparno adalah kamus berjalan yang sangat terbuka bagi para fotografer yang ingin mengabadikan lanskap Borobudur. Beliau hapal sekali kelebihan aneka titik lokasi memotret serta waktu yang tepat untuk mendapatkan foto yang bagus. Pensiunan pegawai Balai Konservasi Borobudur ini sering disebut sebagai penemu Punthuk Stumbu.