“Bukan saya mas, tapi Yu Jumput!”
Sekitar pertengahan tahun 2003, Yu Jumput wafat. Ia dikenal sebagai orang tua yang banyak mengasuh dan memberi makan anak-anak termasuk Parno saat masih kecil.
Disela-sela acara perkabungan, Parno bertanya pada Muro’ib keponakan Yu Jumput, “Ib! sebelah mana lokasi yang bisa melihat Merapi?”
Mereka berjalan menaiki gigir bukit. Hari itu, Parno menikmati bentangan alam berhias persawahan, gunung Merapi-Merbabu serta Candi Borobudur dengan mata teduhnya.
Saat itu, Parno belum memotretnya, beliau tak pernah membawa pulang kamera milik kantornya. Ia baru memiliki kamera sendiri selepas pensiun.
Pada sekitar akhir 2004, Parno mengajak Dwi Oblo dan rekan-rekannya yang ditemani Eddy Hasbi—seorang pewarta—dan Tarko Sudiarno ke lokasi yang ditunjukkan Muro’ib itu.
Melalui perjalanan itu, foto lanskap berkabut dengan pemandangan siluet Candi Borobudur pun terbit di media nasional pada 1 Januari 2005 dan kemudian menjadi viral.
Punthuk Stumbu menjadi lokasi wisata baru untuk menikmati sunrise Candi Borobudur dari kejauhan. Lokasi yang mampu menggerakkan masyarakat Karangrejo dalam pengelolaan wisata desanya.
Saat kami berjalan-jalan, hampir semua warga menyapa, menyalami dan mengajak Parno berbincang, mereka melakukannya dengan tatapan mata berbinar dan senyuman penuh hormat.
Kini kami pun melakukan napak tilas cikal bakal Punthuk Stumbu lama itu. Lokasinya berada di bawah Punthuk Stumbu dan jalan masuknya berada sedikit ke utara jalan masuk wisata terkini.
Satu lagi yang ajaib dari Parno adalah warung bakminya yang legendaris. Warung bakminya sudah melayani sejak tahun 1990-an, dan sudah berpindah lokasi di beberapa tempat. Buka selepas senja di Kapling Janan, tak jauh dari rumahnya, saat ini warung tersebut dikelola oleh anak dan menantunya, sementara itu Parno lebih asyik memotret dan mengasuh cucu.