“Kuota kami batasi 600 pendaki per hari. Kuota ini selalu penuh pada saat weekend sebelum pandemi,” kata Novita Kusuma Wardhani, Plt Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sementara, kunjungan ke Bromo dengan kuota 1.634 orang/hari.
Antusiasme para pelancong ke kawasan TNBTS memang tinggi. Semeru dan Bromo tak hanya “milik” Indonesia, tapi juga milik dunia. Oleh sebab itu, TNBTS berinovasi untuk memberi alternatif titik wisata lain yang tak kalah menarik.
Sebenarnya, perjalanan ke Semeru atau Bromo tidak selamanya harus mendaki. Kita bisa menikmati pemandangan yang ada di sepanjang perjalanan.
Mengamati masyakarat Tengger merupakan tetirah tersendiri. Saya mengingat tulisan Jeff Roberts, Claiming The High Ground: Tengger Buddhism, 1999. Tulisan ini mengisahkan tentang perjalanan Gubernur Jawa selama musim panas tahun 1815, Thomas Stamford Raffles. Dia berkunjung ke dataran tinggi Tengger sebenarnya untuk mengecek dampak pendapatan pajak tanah.
Namun Raffles secara personal tertarik pada budaya dan ritual masyarakat Tengger. Ia menuliskannya dalam buku The History of Java tentang kepercayaan masyarakat Tengger yang berkelindan antara Hindu, Budha, dan Islam. Dengan demikian, ia menjadi orang Eropa pertama yang mendokumentasikan religiusitas masyarakat Tengger.
Di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, desa yang saya lalui sebelum ke Ranupani merupakan salah satu laboratorium alam yang mengingatkan pada catatan Raffles.
Di sini, saya bisa melihat kebhinekaan masyarakat yang tumbuh tak terusik. Sebuah pemandangan lazim ketika di jalan, ada warga yang memegang tali kekang untuk babi sementara suara pengajian berkumandang dari surau. Mereka hidup dengan damai. Desa ini terletak di ketinggian 2.071 mdpl, hingga nyaris sepanjang hari selepas matahari terbit selalu dilingkupi kabut.
Suku Tengger yang mendiami kawasan TNBTS masih melestarikan ritual yang menarik untuk diikuti. Ritual yang paling terkenal ialah yadnya kasada. Ritual ini sempat menjadi magnet bagi ribuan pelancong, utamanya fotografer, hingga para pemuka Tengger justru mengevaluasi hakekat dari ritual ini. Tahun 2022, ritual ini tertutup untuk wisatawan untuk mempertahankan kesakralan dari ritual yang sudah ratusan tahun diselenggarakan ini.
Namun ada banyak ritual lain yang bisa kita ikuti. Kita datang sebagai peserta, menyatu dengan masyarakat Tengger. Salah satunya upacara karo yang berlangsung cukup lama dan tiap desa punya kalendernya masing-masing. Upacara ini berlangsung pada bulan Karo menurut penanggalan masyarakt Tengger. Bila dicocokan dengan bulan Masehi, sekitar Oktober-September.
Puncak bulan Karo yaitu sadranan. Acara ini terdiri dari kirab yang berakhir di makam para leluhur, kemudian menabur bunga. Saya pernah mengikuti sadranan di Ranupani.
Bila sadranan tiba, sejak pagi, masyarakat sudah mengenakan busana terbagusnya. Ada yang berkain dan kebaya untuk perempuan, sedangkan laki-laki mengenakan udeng (ikat kepala yang diikat khas Tengger). Namun, para remaja ada yang bergaya dengan celana denim dan sepatu wedges. Mereka ikut kirab dengan jarak tempuh 2-3 km, lumayan. Ah, semua bersukaria.