Pelesiran dan Pelestarian: Mengeja Puspa di Pucuk-pucuk Tertinggi Jawa

By National Geographic Indonesia, Kamis, 16 Maret 2023 | 18:00 WIB
Bromo-Tengger-Semeru adalah kawasan tiga serangkai Destinasi Prioritas. Ketiganya tercakup dalam taman nasional dengan flora fauna dilindungi, dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Network of Biosphere Reserves. Salah satu keunikan tempat ini ialah kaldera Gunung Bromo yang berada dalam kaldera G (Titik Kartitiani/National Geographic Indonesia)

Di beberapa sudut, pengeras suara memancarkan lagu dangdut. Di tiap sudut ada keramaian. Keramaian yang paling ditunggu adalah ritual ujung (atau ojung). Ritual ini bertujuan untuk mengikat tali persaudaraan antar desa. Jadi, tiap desa mengajukan jagoannya masing-masing. Misalnya ada Ngadas, Wonokitri, dan Ranupani.

Para jagoan akan berhadapan, lalu saling menyabet dengan bilah rotan hingga berdarah. Namun, setelah mereka beradu di ring, tak akan ada yang saling dendam. Justru ikatan persaudaraan semakin erat.

Selama upacara, ada banyak sesaji yang digunakan oleh masyarakat. Mulai dari mengolah makanan khas yaitu dodol, buah-buahan, dan aneka sayuran yang disiapkan dengan bergotong royong. Hal yang menarik perhatian saya adalah penggunaan edelweiss atau masyakat menyebutnya sebagai tanalayu.

“Tanalayu merupakan salah satu bunga yang harus ada untuk sesaji. Dulu kami mengambil dari hutan,” kata Pandita Supayadi, dukun di Dusun Wonokitri, Desa Wonokitri Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.

TN memang memberi pengecualian pengambilan edelweiss untuk ritual. Namun lama-lama, masyarakat ternyata memiliki kreativitas untuk membudidayakan.

Sekitar tahun 2012, ada upaya percobaan penanaman edelweiss (Anaphalis longifolia) di dekat danau Ranu Regulo, Desa Ranupani, Kec. Senduro, Kabupaten Lumajang dengan ketinggian 2.200 mdpl. Budaya yang diinisiasi oleh lembaga swadaya masyarakat ini berhasil namun tiba-tiba rusak oleh embun beku (frost).

Ojung atau Ujung. Tradisi puncak Hari Karo, tepatnya pada saat Sadranan. Para jagoan antar desa saling menyabetkan rotan ke tubuh sebagai wujud silaturahmi dan kekerabatan antardesa suku Tengger. (Titik Kartitiani/National Geographic Indonesia )

Selanjutnya, TNBTS bekerja dengan berbagai pihak juga mencoba mengembangkan edelweis di beberapa tempat. Upaya ini dilakukan untuk menjaga kelestarian edelweis di habitat aslinya. Masyarakat tidak lagi mengambil ilegal dijual sebagai suvenir. Upaya pelarangan bukan upaya yang efektif untuk menjaga kelestariannya.

Sampai akhirnya, uji coba budidaya edelweis dilakukan di Dusun Wonokitri, Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan pada tahun 2014. Uji coba ini menggunakan biji yang disemai, kemudian dipindahkan ke lapang. Uji coba ini berhasil hingga TNBTS mendeklarasikan diri sebaga The Land of Edelweiss.

Kini, di Dusun Wonokitri memiliki 1.100 m2 taman edelweiss. Para pelancong dari dalam dan luar negeri mengunjungi lokasi ini untuk melihat cara bunga abadi ini dibudidayakan. Terdapat green house yang digunakan untuk membiakkan edelweis.

Selebihnya adalah berupa taman yang ditanaman dengan edelweis dan beberapa spot untuk berfoto. Pengunjung rata-rata memang remaja, beberapa anak-anak khususnya untuk kunjungan sekolah.

Tiket masuknya pun tidak mahal, hanya Rp10.000 per orang. Dari tiket tersebut, Rp5.000 bisa ditukarkan makanan dan minuman di kafe yang tersedia.