Oleh Titik Kartitiani
Nationalgeographic.co.id—Jawa Timur menjadi magnet para naturalis, mulai Thomas Stamford Raffless yang menjelajah kawasan Tengger, hingga catatan Franz Wilhelm Junghuhn.
Junghuhn mendaki Semeru pada September 1838 dan tidak sampai puncak. Sebulan kemudian, tepatnya pada Oktober 1838. G.F Clignett tercatat sebagai orang Eropa pertama yang mencapai puncak Semeru. Sejak Clignet mencapai atap Jawa, kisah pendakian Semeru pun berlanjut.
Beberapa pendakian menjadi pendakian yang legendaris. Misalnya, pendakian Soe Hok Gie yang kemudian mengantarkannya “tinggal abadi”sebab meninggal di Puncak Semeru seperti impiannya, 16 Desember 1969.
Ia mengembuskan napas terakhir di puncak Semeru bersama rekannya Idham Lubis. Kisah Soe inilah yang memotivasi saya untuk mendaki Semeru pada tahun 1999.
Saya masih ingat, getar yang saya rasakan ketika membaca prasasti yang menuliskan nama Soe di atas Kalimati, di tempat terjal dengan pasir yang mudah sekali longsor. Pada keremangan pagi, saya seperti mengunjungi kehidupan Soe yang lebih riil. Sebelumnya hanya membaca catatan hariannya di buku Catatan Seorang Demonstran pada masa ketika buku itu masih disebarkan diam-diam.
Setiap pendaki Semeru memiliki preteks masing-masing. Hingga kini, pendakian Semeru sudah tak lagi “menyeramkan”. Fasilitas semua tersedia. Ranupani, sebagai desa terakhir sekaligus pos pendakian ketika akan mendaki Semeru sudah banyak vila yang bisa disewa mulai harga Rp200.000 hingga Rp300.000 per malam.
Sementara dulu, kami menginap di Pondok Pendaki, shelter milik Kehutanan yang memang disediakan untuk pendaki. Shelter ini tidak berbayar dan kami bisa berbagi api unggun dan secangkir kopi dengan pendaki lain tanpa perlu tahu namanya. Semua mendadak menjadi saudara.
“Kuota kami batasi 600 pendaki per hari. Kuota ini selalu penuh pada saat weekend sebelum pandemi,” kata Novita Kusuma Wardhani, Plt Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sementara, kunjungan ke Bromo dengan kuota 1.634 orang/hari.
Antusiasme para pelancong ke kawasan TNBTS memang tinggi. Semeru dan Bromo tak hanya “milik” Indonesia, tapi juga milik dunia. Oleh sebab itu, TNBTS berinovasi untuk memberi alternatif titik wisata lain yang tak kalah menarik.
Sebenarnya, perjalanan ke Semeru atau Bromo tidak selamanya harus mendaki. Kita bisa menikmati pemandangan yang ada di sepanjang perjalanan.
Mengamati masyakarat Tengger merupakan tetirah tersendiri. Saya mengingat tulisan Jeff Roberts, Claiming The High Ground: Tengger Buddhism, 1999. Tulisan ini mengisahkan tentang perjalanan Gubernur Jawa selama musim panas tahun 1815, Thomas Stamford Raffles. Dia berkunjung ke dataran tinggi Tengger sebenarnya untuk mengecek dampak pendapatan pajak tanah.
Namun Raffles secara personal tertarik pada budaya dan ritual masyarakat Tengger. Ia menuliskannya dalam buku The History of Java tentang kepercayaan masyarakat Tengger yang berkelindan antara Hindu, Budha, dan Islam. Dengan demikian, ia menjadi orang Eropa pertama yang mendokumentasikan religiusitas masyarakat Tengger.
Di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, desa yang saya lalui sebelum ke Ranupani merupakan salah satu laboratorium alam yang mengingatkan pada catatan Raffles.
Di sini, saya bisa melihat kebhinekaan masyarakat yang tumbuh tak terusik. Sebuah pemandangan lazim ketika di jalan, ada warga yang memegang tali kekang untuk babi sementara suara pengajian berkumandang dari surau. Mereka hidup dengan damai. Desa ini terletak di ketinggian 2.071 mdpl, hingga nyaris sepanjang hari selepas matahari terbit selalu dilingkupi kabut.
Suku Tengger yang mendiami kawasan TNBTS masih melestarikan ritual yang menarik untuk diikuti. Ritual yang paling terkenal ialah yadnya kasada. Ritual ini sempat menjadi magnet bagi ribuan pelancong, utamanya fotografer, hingga para pemuka Tengger justru mengevaluasi hakekat dari ritual ini. Tahun 2022, ritual ini tertutup untuk wisatawan untuk mempertahankan kesakralan dari ritual yang sudah ratusan tahun diselenggarakan ini.
Namun ada banyak ritual lain yang bisa kita ikuti. Kita datang sebagai peserta, menyatu dengan masyarakat Tengger. Salah satunya upacara karo yang berlangsung cukup lama dan tiap desa punya kalendernya masing-masing. Upacara ini berlangsung pada bulan Karo menurut penanggalan masyarakt Tengger. Bila dicocokan dengan bulan Masehi, sekitar Oktober-September.
Puncak bulan Karo yaitu sadranan. Acara ini terdiri dari kirab yang berakhir di makam para leluhur, kemudian menabur bunga. Saya pernah mengikuti sadranan di Ranupani.
Bila sadranan tiba, sejak pagi, masyarakat sudah mengenakan busana terbagusnya. Ada yang berkain dan kebaya untuk perempuan, sedangkan laki-laki mengenakan udeng (ikat kepala yang diikat khas Tengger). Namun, para remaja ada yang bergaya dengan celana denim dan sepatu wedges. Mereka ikut kirab dengan jarak tempuh 2-3 km, lumayan. Ah, semua bersukaria.
Di beberapa sudut, pengeras suara memancarkan lagu dangdut. Di tiap sudut ada keramaian. Keramaian yang paling ditunggu adalah ritual ujung (atau ojung). Ritual ini bertujuan untuk mengikat tali persaudaraan antar desa. Jadi, tiap desa mengajukan jagoannya masing-masing. Misalnya ada Ngadas, Wonokitri, dan Ranupani.
Para jagoan akan berhadapan, lalu saling menyabet dengan bilah rotan hingga berdarah. Namun, setelah mereka beradu di ring, tak akan ada yang saling dendam. Justru ikatan persaudaraan semakin erat.
Selama upacara, ada banyak sesaji yang digunakan oleh masyarakat. Mulai dari mengolah makanan khas yaitu dodol, buah-buahan, dan aneka sayuran yang disiapkan dengan bergotong royong. Hal yang menarik perhatian saya adalah penggunaan edelweiss atau masyakat menyebutnya sebagai tanalayu.
“Tanalayu merupakan salah satu bunga yang harus ada untuk sesaji. Dulu kami mengambil dari hutan,” kata Pandita Supayadi, dukun di Dusun Wonokitri, Desa Wonokitri Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.
TN memang memberi pengecualian pengambilan edelweiss untuk ritual. Namun lama-lama, masyarakat ternyata memiliki kreativitas untuk membudidayakan.
Sekitar tahun 2012, ada upaya percobaan penanaman edelweiss (Anaphalis longifolia) di dekat danau Ranu Regulo, Desa Ranupani, Kec. Senduro, Kabupaten Lumajang dengan ketinggian 2.200 mdpl. Budaya yang diinisiasi oleh lembaga swadaya masyarakat ini berhasil namun tiba-tiba rusak oleh embun beku (frost).
Selanjutnya, TNBTS bekerja dengan berbagai pihak juga mencoba mengembangkan edelweis di beberapa tempat. Upaya ini dilakukan untuk menjaga kelestarian edelweis di habitat aslinya. Masyarakat tidak lagi mengambil ilegal dijual sebagai suvenir. Upaya pelarangan bukan upaya yang efektif untuk menjaga kelestariannya.
Sampai akhirnya, uji coba budidaya edelweis dilakukan di Dusun Wonokitri, Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan pada tahun 2014. Uji coba ini menggunakan biji yang disemai, kemudian dipindahkan ke lapang. Uji coba ini berhasil hingga TNBTS mendeklarasikan diri sebaga The Land of Edelweiss.
Kini, di Dusun Wonokitri memiliki 1.100 m2 taman edelweiss. Para pelancong dari dalam dan luar negeri mengunjungi lokasi ini untuk melihat cara bunga abadi ini dibudidayakan. Terdapat green house yang digunakan untuk membiakkan edelweis.
Selebihnya adalah berupa taman yang ditanaman dengan edelweis dan beberapa spot untuk berfoto. Pengunjung rata-rata memang remaja, beberapa anak-anak khususnya untuk kunjungan sekolah.
Tiket masuknya pun tidak mahal, hanya Rp10.000 per orang. Dari tiket tersebut, Rp5.000 bisa ditukarkan makanan dan minuman di kafe yang tersedia.
Bunga itu hanya seukuran beras berwarna merah marun, menempel di salah satu pohon yang menjulang setinggi belasan meter. Di antara lebatnya hutan hujan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, mata Yuda Rehata Yudistira, orchidologist (ahli anggrek), tetap bisa menangkap keberadaannya.
“Bulbophyllum comberii, Kak. Ini dari (nama) Comber,” katannya menunjukkan kepada saya.
Butuh beberapa detik untuk mengenali bunga yang ditunjukkan Yuda, tersamar dengan warna kayu dan daunnya sendiri. Ia berjongkok, berusaha memotret detail bunga anggrek yang namanya berasal dari nama penulis buku babon anggrek Jawa, J.B Comber.
Buku karya Comber, Orchids of Java (1990) menjadi “kitab” bagi para penggila anggrek khususnya anggrek Jawa. Bagi Yuda, ibarat isi tanah Jawa tercatat di sana.
Comber sesungguhnya seorang karyawan perusahaan farmasi yang ditempatkan di Jawa. Pada saat libur kerja, ia menjelajah tanah Jawa untuk memotret anggrek alam Jawa. Cintanya pada keluarga Orchidaceae membawanya menyambangi hutan, nurseri, hingga jaringan pemburu dan penyulundup anggrek.
Selama lebih dari 15 tahun, Comber mengumpulkan foto dan deskripsi anggrek Jawa dengan biaya sendiri hingga karyanya menjadi acuan para penggila anggrek. Karya besar ini lahir dari peneliti amatir hingga kita sulit mendeskripsikan lagi, definisi amatir dan profesional ketika melihat karyanya.
Puluhan tahun kemudian, jejak Comber itu diikuti beberapa orchidologist Indonesia. Yuda salah satunya. Ia yang berlatar belakang pendidikan formal electrical engineering, meninggalkan pekerjaannya yang sudah mapan untuk menjadi penggila anggrek.
Bukan hanya mengagumi, ia juga menjadi peneliti amatir. Publikasi ilmiahnya menghiasi jurnal internasional. Menemukan jenis baru yang belum sempat tercatat oleh Comber menjadi kebahagiaan tersendiri baginya.
Perjalanan ini menjadi lebih bermakna bagi saya, ketika saya berada di Desa Pronojiwo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kawasan yang disebut-sebut oleh Comber dalam bukunya atas keberlimpahan anggrek kasut (Paphiopedilum glaucophyllum) yang menjadi incaran para kolektor dunia.
Perjalanan yang dilakukan Yuda dan para penggila anggrek bisa jadi disebut sebagai perjalanan absurd bagi wisatawan umum. Ia bisa berlama-lama hanya menyibak seresah dan lumut untuk menemukan anggrek.
Sepanjang mengikuti perjalanan Yuda dan para penggila anggrek dan burung, saya menyadari satu hal bahwa wisata bisa jadi sangat personal. Pemandangan indah, obyek foto yang tak umum, dan jalur yang kadang tanpa jalur merupakan “kebutuhan” para peminat wisata minat khusus ini.
Didukung oleh kekayaan ragam jenis anggrek, tekat para rimbawan, dan dukungan masyarakat sekitar yang mantan pemburu anggrek, avichidtorism adalah kisah laboratorium anggrek alam yang dibangun dengan cinta dan tekat untuk menyumbang pada pengetahuan. Wahana yang diluncurkan pada akhir 26 Maret 2022 ini diharapkan bisa menjadi alternatif para pengunjung yang mengunjungi TNBTS.
Jalur Khusus di Wisata Minat Khusus
Taman Anggrek Ranu Darungan atau Orchidarium Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sudah mengumpulkan 198 jenis anggrek alam dari 255 jenis anggrek alam yang tercatat di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Anggrek-anggrek tersebut berasal dari anggrek yang diselamatkan dari tebangan pohon Perhutani, terbabat masyakat saat mencari rumput, maupun dari perdangangan tanaman hias. Bukan mengambil dari kawasan.
Taman seluas 1,5 hektare ini memberi kesempatan bagi para pengunjung untuk mengenal dan belajar anggrek bila tak punya kesempatan untuk masuk hutan. Juga ada greenhouse yang digunakan untuk menumbuhkan seedling (bibit anggrek) sebagai pendukung avichidtourism.
Kawasan ini dibangun, tepatnya ditata, di pinggir Danau Linggo Rekisi. Danau seluas 0,25 ha yang dikeliling oleh pohon rekisi (Canarium asperium). Masyarakat kerap menggunakan danau ini untuk memancing.
“Taman anggrek ini berfungsi untuk pengamatan anggrek khususnya bagi para peneliti. Kadang kalau di hutan, kita tak menemukan pada saat mekar. Di sini kita bisa mengamati semua fasenya tanpa harus jauh ke hutan,” kata Toni Artaka, Kepala Resort PTN Wilayah Ranu Darungan.
Wisata sesunggunya berupa paket trekking ke jalur pengamatan anggrek dan burung. Ada 3 jalur yang sudah dipetakan untuk pengunjung beserta jenis-jenis anggrek yang bisa ditemukan. Jalur tersebut sepanjang 3-4 km dengan medan datar.
Saya pernah mencoba salah satunya. Waktu tempuh 4 jam karena saya banyak berhenti untuk memotret anggrek. Baru kali ini saya menemukan hutan dengan keragaman anggrek alam yang tinggi. Hanya beberapa langkah, menemukan belasan jenis dan berbunga sepanjang tahun. Artinya, setiap kali datang, pasti menemukan anggrek yang berbunga.
Di trek Ranu Darungan ini, ada beberapa anggrek yang menjadi bucket list saya untuk melihat di habitat aslinya dan menemukannya di sini. Kelimpahan ragam dan populasi menjadikan kemungkinan besar untuk menemukan anggrek yang berbunga, hal inilah yang menjadikan Ranu Darungan cocok menjadi jalur pengamatan anggrek.
“Kami juga menyediakan jalur khusus sesuai permintaan peneliti jika peneliti ingin melihat satu jenis yang tidak ada di jalur umum,” kata Toni menambahkan. Sebagaimana jalur yang saya ikuti bersama Yuda, ia ingin menemukan Corybas fornicatus.
Anggrek berbentuk seperti helm dengan daun berbentuk hati ini tumbuh di ketinggian 1300 mpdl-1500 mpdl. Tumbuh tersebar di Malaysia, Sumatra, dan Jawa.
Perjalanan menemukan anggrek ini mengesankan. Tim harus melewati kawasan hutan milik Perhutani dengan sepeda motor, melalui jalur air. Bagi para rimbawan, jalur macam ini sudah akrab dengan roda sepeda motornya, bahkan mereka bisa melaluinya dengan sepeda motor bebek.
Jalur offroad ini berhenti di batas vegetasi yang tak mungkin lagi dilalui dengan kendaraan. Lalu kami jalan kaki sekitar 4 jam hingga menemukan satu kuntum sedang berbunga bagus. Satu saja, bunga seukuran kelingking ini sudah membayar lunas perjalanan yang cukup menantang.
Selain itu, momen ini menjadi ingatan sedih ketika sehari kemudian, jalur yang kami lalui tertutup abu. Erupsi tanggal 21 Desember 2021 yang menyebabkan 50-an jiwa meninggal.
Di jalur anggrek ini, saya merasakan paradoks Semeru. Di satu sisi, Semeru adalah keperkasaaan cincin api yang memuntahkan bencana dan melenyapkan desa-desa yang dilaluinya.
Di sisi lain, Semeru adalah rahim kesuburan tanah vulkanik yang menumbuhan hutan hujan termasuk anggrek di dalamnya. Dua sisi inilah yang juga diterima oleh masyarakat di kawasan Semeru sehingga ada ikatan yang menjadikan mereka tinggal dan menuliskan narasi hidup di kaki Semeru. Termasuk narasi sebuah orchidarium dibangun oleh orang-orang yang dulu para pemburu anggrek.
"Saya dulu pemburu anggrek. Bapak saya juga pemburu anggrek. Semua masyarakat di Pronojiwo juga nyari anggrek di hutan,” kata Andy Sami’an, warga Pronojiwo yang kini menjadi tim orchidarium.
Mereka mengambil anggrek di hutan bukan karena sengaja melanggar peraturan melainkan karena mereka tidak tahu bahwa tindakan tersebut merusak alam.
“Bukan hanya masyarakat yang tidak tahu. Kami sendiri, para petugas juga tidak semuanya tahu tentang anggrek. Bahkan membedakan anggrek dengan paku pun belum bisa. Bagaimana kita bisa menjaga sementara kita tidak tahu apa yang kita jaga?” kenang Toni.
Sejak 2016 itulah, Toni dan tim mulai merintis berdirinya orchidarium. Sebagai “Pak Tugas”, sebutan masyarakat untuk para rimbawan, Toni tinggal di masyarakat.
“Saya sudah lama ingin dipindah ke Ranu Darungan. Tahun 2016 saya akhirnya dipindah ke sini,” katanya. Kepindahan Toni ke tempat legendaris anggrek ini menjadi tonggak untuk merealisasikan rencana pembuatan taman anggrek.
Resort PTN Wilayah Ranu Darungan, SPTN Wilayah IV, Bidang PTN Wilayah II, Balai Besar TNBTS memangku kawasan seluas 3.557,41 hektar. Ada 3 penanggung jawab resort ini yaitu Toni Artaka (PEH Muda merangkap Kepala Resort), Teguh Prayitno (PNS-Tenaga Pengaman Hutan Lainnya), dan Doni Catur Saputra (Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri).
Kantor resort berada di tengah-tengah kampung Dusun Darungan, Desa Pronojiwo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Berupa rumah bercat oranye dengan halaman luas.
Rumah itu memiliki ruang tamu sekaligus ruang kerja, rak buku beserta spesimen anggrek di dalam botol alkohol, dapur, kamar mandi yang airnya tentu saja sangat dingin, juga dua kamar tidur. Di salah satu kamar ini, Toni tinggal dari Senin-Jumat dan sewaktu-waktu “tergusur” ketika ada tamu yang menginap.
“Jarak dari rumah saya ke resort sekitar 75 kilometer, jadi saya harus menginap di resort dari Senin sampai Jumat setiap minggunya,” kata Toni. Kecuali ada kegiatan yang penting di resort, maka masa inap di resort bisa bertambah.
Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Toni ketika ada undangan rapat di Kantor Balai (Malang) pada hari Senin atau Jumat, bisa menambah masa tinggal di rumah.
Dari beberapa masyarakat setempat yang seide, Toni “bergerilya” untuk menyampaikan ide pembentukan kelompok tani konservasi, cikal bakal para penjaga anggrek di Ranu Darungan.
Tiap malam, mereka mendatangi warga, datang ke acara kumpul-kumpul untuk mengobrol dan mengumpulkan orang-orang yang sepaham. Lebih sering mereka lakukan pada malam hari. Selepas Isya' hingga tengah malam.
Secangkir kopi, rokok, pisang goreng, ubi, singkong dan keripik menjadi bagian penting dalam proses ini dan proses-proses selanjutnya. Para pemburu yang dulu memburu anggrek, kini menjadi orang terdepan yang menjaga kelestarian anggrek in situ.
Baca Juga: Jejak Majapahit di Bromo: Suku Tengger dan Kehidupan Sosial-Budayanya
Baca Juga: Gunung Semeru dan Soe Hok Gie yang Jatuh Tewas di Pelukannya
Baca Juga: Aktivisme hingga Petualangan: Antara Gie, Pendakian, dan Semeru
Baca Juga: Mengenal Eulophia Lagaligo, Spesies Anggrek Terbaru dari Sulawesi
Avichidtourism juga menawarkan petualangan bagi para pengamat burung. Berbeda dengan pengamatan anggrek yang terus berjalan, para pengamat burung hanya menggunakan trek untuk lewat. Selebihnya, mereka akan bersembunyi di hide, sebuah ruang penyamaran yang dibangun taman nasional. Berupa gubuk berukuran 3x4 m yang ditutup dengan dedaunan dan net kamuflase. Para pengamat akan berdiam di sini, berjam-jam, untuk melihat burung-burung datang.
“Tunggu, mereka akan datang,” kata Khoirul Ismi yang memandu pengamatan burung. Ia memutar rekaman suara burung sambil mengamati dengan binokuler.
Tak sampai setengah jam, dalam kesunyian, burung-burung itu mulai berdatang di depan hide. Di sana sudah tersedia makanan dan air di kolam kecil untuk memanggil burung. Ketika burung-burung itu berdatangan, kesunyian terusik oleh bunyi shutter camera, tanpa mengusik burung yang singgah.
Selama uji coba, tidak ada satwa yang tersakiti. Dengan adanya tenda kamuflase, pengamat burung memantau ada permbiakan beberapa jenis burung. Puyuh gonggong jawa, yang endemik Jawa, sementara ketemu, ternyata mereka melakukan pengembangiakan. Ada lebih dari 5 ekor.
Menurut Waskito Kukuh, ahli burung dari Burungnesia, Malang, keragaman burung di Ranu Darungan cukup tinggi. Secara umum di TNBTS terdata 200-an jenis burung. Sejumlah 20-30 jenis merupakan burung endemik Jawa.
“Ranu Darungan menjadi benteng pertahanan keanekaragaman burung di Pulau Jawa,” kata Kukuh.
Pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat di NKRI. Kepadatan populasi penduduk menghasilkan tekananan luar biasa bagi lingkungan termasuk pada habitat burung. Di Ranu Darungan masih menyediakan tempat berbagi atara manusia, tumbuhan, dan satwa.