Pelesiran dan Pelestarian: Mengeja Puspa di Pucuk-pucuk Tertinggi Jawa

By National Geographic Indonesia, Kamis, 16 Maret 2023 | 18:00 WIB
Bromo-Tengger-Semeru adalah kawasan tiga serangkai Destinasi Prioritas. Ketiganya tercakup dalam taman nasional dengan flora fauna dilindungi, dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Network of Biosphere Reserves. Salah satu keunikan tempat ini ialah kaldera Gunung Bromo yang berada dalam kaldera G (Titik Kartitiani/National Geographic Indonesia)

Bunga itu hanya seukuran beras berwarna merah marun, menempel di salah satu pohon yang menjulang setinggi belasan meter. Di antara lebatnya hutan hujan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, mata Yuda Rehata Yudistira, orchidologist (ahli anggrek), tetap bisa menangkap keberadaannya.

Bulbophyllum comberii, Kak. Ini dari (nama) Comber,” katannya menunjukkan kepada saya.

Butuh beberapa detik untuk mengenali bunga yang ditunjukkan Yuda, tersamar dengan warna kayu dan daunnya sendiri. Ia berjongkok, berusaha memotret detail bunga anggrek yang namanya berasal dari nama penulis buku babon anggrek Jawa, J.B Comber.

Buku karya Comber, Orchids of Java (1990) menjadi “kitab” bagi para penggila anggrek khususnya anggrek Jawa. Bagi Yuda, ibarat isi tanah Jawa tercatat di sana.

Comber sesungguhnya seorang karyawan perusahaan farmasi yang ditempatkan di Jawa. Pada saat libur kerja, ia menjelajah tanah Jawa untuk memotret anggrek alam Jawa. Cintanya pada keluarga Orchidaceae membawanya menyambangi hutan, nurseri, hingga jaringan pemburu dan penyulundup anggrek.

Selama lebih dari 15 tahun, Comber mengumpulkan foto dan deskripsi anggrek Jawa dengan biaya sendiri hingga karyanya menjadi acuan para penggila anggrek.  Karya besar ini lahir dari peneliti amatir hingga kita sulit mendeskripsikan lagi, definisi amatir dan profesional ketika melihat karyanya.

Calanthe speciosa adalah anggrek tanah yang kerap ditemukan di trek pengamatan. Anggrek ini tumbuh di ketinggian 100—1900 meter. (Titik Kartitiani/National Geographic Indonesia )

Puluhan tahun kemudian, jejak Comber itu diikuti beberapa orchidologist Indonesia. Yuda salah satunya. Ia yang berlatar belakang pendidikan formal electrical engineering, meninggalkan pekerjaannya yang sudah mapan untuk menjadi penggila anggrek.

Bukan hanya mengagumi, ia juga menjadi peneliti amatir. Publikasi ilmiahnya menghiasi jurnal internasional. Menemukan jenis baru yang belum sempat tercatat oleh Comber menjadi kebahagiaan tersendiri baginya.

Perjalanan ini menjadi lebih bermakna bagi saya, ketika saya berada di Desa Pronojiwo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kawasan yang disebut-sebut oleh Comber dalam bukunya atas keberlimpahan anggrek kasut (Paphiopedilum glaucophyllum) yang menjadi incaran para kolektor dunia.

Perjalanan yang dilakukan Yuda dan para penggila anggrek bisa jadi disebut sebagai perjalanan absurd bagi wisatawan umum. Ia bisa berlama-lama hanya menyibak seresah dan lumut untuk menemukan anggrek.

Sepanjang mengikuti perjalanan Yuda dan para penggila anggrek dan burung, saya menyadari satu hal bahwa wisata bisa jadi sangat personal. Pemandangan indah, obyek foto yang tak umum, dan jalur yang kadang tanpa jalur merupakan “kebutuhan” para peminat wisata minat khusus ini.