Nationalgeographic.co.id—Dalam lembaran-lembaran sejarah yang penuh dengan kisah para penguasa, nama Caligula seringkali muncul sebagai simbol dari kekejaman dan kekuasaan yang tak terkendali.
Sebagai kaisar ketiga dari Kekaisaran Romawi yang agung, ia memasuki daftar eksklusif para penguasa yang tidak hanya mendapatkan kebencian yang mendalam dari rakyatnya, tetapi juga keabadian dalam ingatan sejarah.
Tetapi, mari kita telaah lebih jauh, apakah citra negatif yang melekat pada Caligula sesuai dengan realitas? Anthony A. Barrett, seorang ahli sejarah yang juga penulis buku "Caligula: The Abuse of Power," memberikan perspektif yang berbeda.
Menurutnya, meskipun Caligula dikenal sebagai kaisar yang kejam, perilakunya mungkin tidak seburuk yang sering digambarkan, terutama jika kita melihatnya dari sudut pandang tindakan-tindakan yang berlebihan dan tidak masuk akal.
Kisah hidup Caligula, yang penuh dengan intrik dan kebrutalan, menawarkan sebuah pelajaran sejarah yang kompleks dan menarik.
Mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali dan meninjau ulang narasi yang telah lama kita dengar tentang masa pemerintahan singkat namun penuh gejolak dari kaisar muda Romawi ini.
Diusir Guru Sendiri
Lahir dengan nama Gaius Julius Caesar Germanicus, dia memiliki latar belakang yang menarik. Ayahnya adalah Jenderal Germanicus, seorang pemimpin yang sangat dihormati di Roma. Namun, nasib Caligula tidak selalu mengikuti jejak ayahnya yang cemerlang.
Setelah kematian ayahnya yang tragis, Caligula menghabiskan masa kecilnya dalam pengasingan. Namun, takdir mempertemukannya kembali dengan Roma sebagai murid Tiberius, kaisar yang paranoid dan telah mengusir Caligula dan keluarganya. Ketika Tiberius meninggal pada tahun 37 Masehi, Caligula yang baru berusia 24 tahun naik takhta sebagai kaisar berikutnya.
Apa yang terjadi selanjutnya menjadi legenda: pemerintahan yang ditandai oleh kekejaman, kemewahan, keanehan, dan intrik politik. Namun, pada awalnya, menurut Barrett, sang kaisar muda tampaknya akan mengikuti jejak ayahnya yang dihormati.
“Tidak ada yang tahu apa-apa tentangnya,” katanya. “Mereka mungkin berpikir mereka bisa mengendalikannya.” Caligula yang muda, memikat, dan tampaknya berbakat memulai masa pemerintahannya dengan wajar.
Baca Juga: Dari Agustus hingga Caligula, Singkap Pesta Penguasa Kekaisaran Romawi
Kejam tapi Masih Berpikir Jernih
Enam bulan setelah naik takhta, Kaisar mengalami perubahan perilaku yang mencolok. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa perubahan ini disebabkan oleh suatu penyakit serius.
Namun, seperti dilansir dari National Geographic, Barrett berargumen bahwa situasinya lebih terkait dengan akhir dari periode awal yang tanpa masalah dan peningkatan tekanan yang dihadapi.
Dia meyakini bahwa ketika sang kaisar mulai menyadari beratnya tanggung jawab administratif dan politik, pemimpin yang masih hijau dan tidak siap tersebut menghadapi kesulitan dalam menjalankan tugasnya.
Karena tidak memiliki pelatihan yang memadai dan keahlian politik yang kurang, Caligula mulai kehilangan pegangan dan dukungan dari rakyat serta Senat.
Dalam waktu singkat, Caligula mulai melancarkan serangan terhadap lawan-lawannya, memulai kampanye militer yang mahal dan kurang dipikirkan dengan matang, serta memberikan perintah untuk membunuh istrinya sendiri.
Rumor yang beredar menyebutkan bahwa kaisar yang dikenal karena kesenangannya itu terlibat hubungan terlarang dengan saudara perempuannya, Julia Livilla dan Agrippina the Younger, yang kelak menjadi ibu dari Kaisar Nero.
Setelah menyadari adanya konspirasi terhadap pemerintahannya, Caligula memutuskan untuk mengasingkan mereka. Tindakannya yang kontroversial, sikapnya yang menantang dan merendahkan Senat, serta perintahnya yang tanpa ampun untuk membunuh, semakin menambah daftar kekejaman yang dilakukannya.
Perilaku Caligula yang tidak konsisten, termasuk tindakannya yang ekstrem seperti memaksa gladiator dengan kecacatan fisik untuk bertarung melawan binatang buas demi hiburan, telah memicu dugaan bahwa dia mungkin mengalami gangguan mood atau kondisi mental lainnya.
Beberapa analisis retrospektif bahkan menuduh berbagai kondisi, mulai dari epilepsi psikotik hingga ensefalitis.
Namun, Barrett berpendapat bahwa Caligula sebenarnya adalah seseorang yang berpikiran jernih. Pandangan ini menunjukkan bahwa kekejamannya bukanlah akibat dari gangguan mental, melainkan merupakan refleksi dari sifatnya yang secara inheren kejam dan sinis.
Baca Juga: Mengeja Ulang Narasi Caligula Kekaisaran Romawi, Benarkah Gila?
“Hingga akhir hayatnya, Caligula membuat keputusan yang rasional,” kata Barrett, membandingkannya lebih dengan Joseph Stalin daripada tokoh Hitler yang gila. “Dia bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan.”
Namun, kenyataan sang monarki adalah kekuasaan mutlak—hak istimewa yang dia gunakan secara strategis dan sesuka hati. Kekuasaan itu pasti akan mempengaruhi siapa pun.
“Ketika dia memasuki kota, kekuasaan penuh dan mutlak langsung diberikan kepadanya dengan persetujuan bulat dari senat dan rakyat,” klaim Suetonius, seorang sejarawan yang dikenal karena biografi-biografinya tentang para Kaisar.
Namun, sejak awal, kekuasaan imperial Caligula telah dicelupkan dalam darah ribuan korban persembahan hewan. “Kegembiraan publik begitu besar,” kata Suetonius, “bahwa dalam tiga bulan berikutnya… lebih dari seratus enam puluh ribu korban dikatakan telah tewas dalam persembahan.”
Fakta Sejarah atau Hanya Gosip?
Pengaruh politik dan gosip telah mencoreng catatan sejarah, membuatnya sulit untuk membedakan fakta dari fitnah.
Tacitus, sejarawan yang dianggap paling kredibel pada masa itu, memang menulis tentang Caligula, namun sayangnya, karya-karyanya tentang kaisar ini telah hilang.
Sumber-sumber yang tersisa sering kali menggambarkan Caligula sebagai sosok yang tidak masuk akal dan aneh, suatu pandangan yang diperkuat oleh Barrett yang menyamakan Suetonius dan Cassius Dio dengan wartawan tabloid yang berburu cerita sensasional.
Perilaku Caligula mungkin memang kejam, tetapi mungkin tidak seburuk yang digambarkan oleh Dio dan Suetonius. Sebagai contoh, klaim Caligula yang ingin diperlakukan sebagai dewa mungkin hanyalah bagian dari praktik umum di provinsi-provinsi Romawi, di mana mereka diwajibkan untuk mengakui kultus kekaisaran. Namun, Barrett menunjukkan bahwa tidak ada bukti konkret, seperti koin, yang mendukung klaim tersebut di Roma atau Italia.
Kemudian, ada cerita terkenal tentang Caligula yang ingin menjadikan kudanya sebagai konsul, suatu rencana yang tidak pernah terlaksana. Barrett berpendapat bahwa cerita ini mungkin hanyalah ejekan Caligula terhadap senator-senator yang ia anggap tidak kompeten dan lemah—sebuah sindiran bahwa bahkan seekor hewan pun bisa menggantikan mereka.