Melestarikan Makam Tokoh Agama Jadi Pendorong Adaptasi Kenaikan Air Laut di Bedono

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 14 Juni 2024 | 12:00 WIB
Situs wisata ziarah makam Syekh Abdullah Mudzakir di Dusun Tambaksari, Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah. Makam tokoh agama ini telah ditinggikan warga beberapa kali karena kenaikan permukaan air laut. (Siti Aliyuna Pratisti)

Nationalgeographic.co.id - Syekh Abdullah Mudzakir menetap di Dusun Tambaksari, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah pada 1900. Kiai tersebut dikenal sebagai penyiar agama Islam di Demak, yang mewariskan ilmunya kepada para kiai muda.

Setelah bertahun-tahun menjadi pemuka agama, Syekh Mudzakir wafat di usia 81 tahun pada 1950. Dia dimakamkan di Dusun Tambaksari dan menjadi simbol berkah bagi warga setempat.

Menurut penduduk setempat, penamaan Desa Bedono masih berhubungan dengan sejarah Syekh Mudzakir. Secara harfiah, Bedono berasal dari kata ambet yang berarti aroma dan ono yang berarti ada. Keberadaan kiai itu meninggalkan aroma yang membuat kawasan yang gersang menjadi subur untuk dihuni.

Meski telah wafat, kehadiran Syekh Mudzakir punya dampak besar dan masih terasa hari ini. Salah satunya, menginspirasi masyarakat untuk beradaptasi dengan kenaikan muka laut yang terus menenggelamkan desa.

"Di Desa Bedono, khususnya di Tambaksari ini punya langkah adaptasi yang menarik," terang Siti Aliyuna Pratisti, peneliti alumni Kajian Lintas Agama (ICRS), Universitas Gadjah Mada.

"Awalnya tidak ada yang menarik perhatian untuk ke makam Kiai Muzakir. Secara komunitas, hanya warga desa saja yang tahu profil pemuka agama ini," lanjut Aliyuna. "Kalaupun ada yang datang, ketika haul saja dari santri-santri dari Semarang misalnya, karena awalnya tidak jadi pusat destinasi ziarah."

Dalam penelitian bertajuk "Dimensi Keagamaan Dalam Migrasi Lingkungan: Studi Kasus Dua Komunitas Muslim di Pesisir Utara Jawa" di jurnal Masyarakat dan Budaya, Aliyuna mengungkapkan dimensi keagamaan sangat kuat bagi warga Dusun Tambaksari. Penelitian ini merupakan bagian dari disertasinya.

Lebih lanjut, dimensi keagamaan dengan ketokohan Syekh Mudzakir, menjadi alasan warga setempat tetap bertahan. Air laut yang terus masuk ke kawasan penduduk dan mulai menggenangi sekitar kawasan makam Syekh Mudzakir, membuat warga beradaptasi.

Kisah Abrasi Bedono

Kehidupan Desa Bedono mulai menggeliat pada dekade 1930-an. Sejarah mencatat bahwa kolonialisme Belanda sudah memetakan Desa Bedono yang dikenal sebagai daerah paling subur di wilayah Demak. Desa itu awalnya adalah penghasil bahan makanan pokok.

Seperti kawasan pesisir utara Jawa lainnya, tanah Bedono cenderung aluvial. Kegemburan tanahnya membuat pertumbuhan pertanian meningkat antara dekade 1960 hingga 1980-an.

Baca Juga: Kenaikan Muka Laut Pesisir Utara Jawa, Agama Jadi Landasan Adaptasi Warga Desa Pantai Bahagia

Akan tetapi, situasi berubah pada 1990-an. Pada masa ini, abrasi mulai memakan bibir pantai Desa Bedono. Tercatat, sekitar 739,2 hektare hilang pada 1997, menjadi 551,673 hektare pada 2017, dan 482,8 hektare pada 2022.

Dusun Tambaksari dan Rejosari adalah yang paling terdampak parah sampai mengubah kawasan secara signifikan. Tanah tenggelam berada di kedalaman dari sekitar 0,3 hingga 1,7 meter di bawah permukaan laut.

Warga memanfaatkan kayu sisa rumah yang terkena abrasi di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Januari lalu. Abrasi yang terus terjadi membuat rumah dan lahan warga lambat laun terancam menghilang. (Raditya Mahendra Yasa / Kompas)

Ada banyak faktor yang menyebabkan masuknya air laut ke kawasan pemukiman Desa Bedono. Ekuatorial dalam laporan tahun 2010, pemicunya adalah pembangunan Pelabuhan Tanjung Mas di Kota Semarang. Pembangunan ini mengurangi dan menghentikan tanah sedimen pesisir pantai Desa Bedono, berdasarkan analisis Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2009.

Reklamasi ini memicu perubahan aliran arus gelombang yang langsung menghantam dusun terluar di Bedono. "Itu juga yang terjadi di Timbulsloko, desa yang sangat terkenal karena sudah tenggelam. Itu ada di sebelah Bedono," terang Aliyuna. Abrasi ini, kemudian, mendorong warga Bedono bermigrasi ke desa terdekat, seperti Purwasari, Sidogemah, dan Gemulak.

Dalam penelitian Aliyuna, disebutkan bahwa pada relokasi perdana pada 1997, warga Tambaksari melaksanakan istigasah, ritual doa bersama meminta untuk meminta kesalamatan. Warga berupaya mengurangi rasa khawatir dan takut akan abrasi yang mulai menenggelamkan dusun.

"Keajaiban" Mendiang Syekh Mudzakir

Di Dusun Tambaksari, tidak semua warga bermigrasi. Ada yang memutuskan untuk tetap tinggal dengan alasan untuk merawat makam Syekh Mudzakir.

Sementara itu, kebanyakan warga yang bermigrasi lebih memilih pindah ke kawasan desa yang masih dekat dengan Tambaksari dengan alasan yang sama. "Jarak yang dekat memungkinkan warga untuk tetap terhubung dengan makam Kiai," jelas Aliyuna.

Inilah yang membuat kasus adaptasi abrasi Desa Bedono unik. Selain di Bedono, Aliyuna juga menemukan pola yang mirip di Desa Pantai Bahagia, seperti yang dilaporkan sebelumnya.

"Pola yang unik, karena proses migrasi lingkungan mereka berdasarkan dimensi keagamaan yang secara signifikan menentukan keputusan mereka, sekaligus jejaring sosial," Aliyuna berpendapat.

Baca Juga: Apa Itu Banjir Rob? Bagaimana Langkah Adaptasi dan Mengurangi Dampaknya?

Meski tidak terkenal, bagaimanapun, sosok ini bertempat dalam kenangan Desa Bedono. Warga terus mengupayakan makam Syekh Mudzakir tidak tenggelam dengan meninggikan situs ziarah, dan memperbaiki sarananya.

Sampai akhirnya, keajaiban muncul dari media sosial. "[Tahun] 2013 itu ada video viral yang mengatakan ada makam terapung di Bedono," terang Aliyuna. Makam yang dimaksud dalam video tersebut ternyata adalah makam Syekh Mudzakir. "Dari viral itu, banyak yang datang, mitos berkembang dengan sendirinya."

Ragam mitos ini muncul bukan dari warga Tambaksari atau tempat lainnya di Desa Bedono, melainkan peziarah dari luar desa. Mitos menyebutkan makam Syekh Mudzakir tidak bisa tenggelam karena dilindungi mangrove di dekatnya, atau secara ajaib naik dengan sendirinya.

Kenyataannya, makam tersebut ditinggikan oleh warga sendiri demi melestarikan situs bersejarah dan penting bagi Desa Bedono. Peninggian ini sudah dilakukan beberapa kali, seiring semakin meningkatnya ketinggian air laut.

ara peziarah berdoa di makam Mbah Mudzakkir yang terletak di Dukuh Tambaksari Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah, (Ari Widodo / Kompas.com)

Warga maupun peziarah kerap datang untuk membaca surah Yasin dari Al-Qur'an, atau melakukan ritual lainnya seperti Kliwonan yang dilakukan secara tradisi Islam di Jawa, Apitan (perayaan syukur atas berkah) atau disebut sedekah laut, dan peringatan wafat Syekh Mudzakir.

Peningkatan Keagamaan Warga Bedono

Ada satu temuan menarik yang Aliyuna jumpai dari Desa Bedono, selain apa yang dituliskan dalam makalahnya. Ia menemukan bahwa praktik keagamaan masyarakat sekitar semakin intens mencerminkan ajaran Al-Qur'an dan sunah.

"Kalau datang ke Bedono sekarang, itu enggak ada lagi sedekah laut seperti tahun 2000-an awal," singkap Aliyuna. Sedekah laut adalah tradisi Islam-Jawa yang sangat kental dan masih dipraktikkan oleh masyarakat pesisir utara Jawa. Di Desa Bedono, praktik ini mulai ditinggalkan sekitar 2015.

"Ada upaya jadi tujuan wisata, yaitu menampilkan citra Islami," lanjut Aliyuna. Sebagai ucapan rasa syukur atas hasil tangkapan laut, masyarakat nelayan mengganti kebiasaan sesajen yang biasa digunakan dalam sedekah laut. Kebiasaan ini diganti dengan apitan. Bagi warga yang masih ingin melakukan sedekah laut dengan melarung sesajen, dapat dilakukan di desa sebelah.

Karena semakin ramai situs makam Syekh Mudzakir, warga Desa Bedono mendapatkan pemasukan dari wisata ziarah ini. Sumber pemasukan ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, dan langkah adaptasi. Warga yang tinggal di lingkungan yang tanahnya telah tenggelam, dapat memperbaiki rumahnya dengan meninggikan bangunan.

Pemasukan dari wisata ziarah ini juga yang memotivasi warga untuk tidak bisa tinggal jauh dari makam Syekh Mudzakir. Terkadang, mereka yang telah terpencar karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, masih saling berjumpa dalam kegiatan keagamaan dan sosial.

Pertemuan-pertemuan ini mengatur pembahasan tentang rencana adaptasi berikutnya yang harus dilakukan, termasuk menyelamatkan situs makam Syekh Mudzakir yang menjadi simbol adaptasi mereka. Dengan demikian, kegiatan silaturahmi penduduk dusun-dusun yang telah tergerus kenaikan air laut, tetap terjaga sembari bergotong royong menentukan keputusan bersama.

Baca Juga: Riset Ungkap Perubahan Lahan Jabotabek dan Dampaknya ke Teluk Jakarta