Pada tahun 1542, Henry dan Charles bergabung lagi untuk melawan Prancis—yang secara tradisional merupakan saingan utama Inggris. Pada saat itu, Henry sudah terlalu gemuk untuk menunggang kuda saat memimpin anak buahnya. Sang raja pun harus ditandu di sepanjang garis pertempuran.
Bahkan setelah Charles menandatangani perjanjian dengan Prancis, Henry terus berjuang, yang dalam prosesnya justru membuat dirinya bangkrut. Di akhir perang, yang bisa ia peroleh adalah Pelabuhan Boulogne yang relatif kecil. Namun pelabuhan itu pun segera kembali ke tangan Prancis.
Henry VIII memutuskan untuk memisahkan diri dengan Gereja Katolik
Setelah bertahun-tahun mencoba dan gagal membatalkan pernikahan pertamanya, Henry beralih ke penasihat cerdik, Thomas Cromwell.
Pada tahun 1532, Cromwell meminta Parlemen untuk mengesahkan undang-undang yang menjadikan Henry sebagai kepala Gereja Inggris. Undang-undang itu secara efektif menyingkirkan Inggris dari otoritas paus.
Kekuasaan Henry meningkat secara eksponensial selama dekade berikutnya, begitu pula kekayaannya. Semua biara di Inggris ditutup dan aset mereka dipindahkan ke kas Henry.
Penentang reformasi, seperti teman lama dan penasihat Henry, Thomas More, dieksekusi berdasarkan undang-undang pengkhianatan yang keras.
Henry VIII kerap melakukan eksekusi
Pada akhir tahun 1530-an dan awal tahun 40-an, Henry mengeksekusi beberapa anggota keluarga Polandia dan Courtenay. Mereka diduga berkonspirasi melawannya. Tapi darah bangsawan mereka memberi mereka klaim untuk bersaing atas takhta.
Pada tahun 1541, Henry VIII bahkan memerintahkan eksekusi Margaret Pole yang berusia 67 tahun. Pole pernah menjadi pengasuh putrinya, Mary. Begitu pula dengan Thomas Cromwell yang mengatur pernikahan raja yang gagal dengan Anne of Cleves. Henry menentangnya dan kemudian mengeksekusinya pada tahun 1540.
Baca Juga: Henry VIII, Suami Anne Boleyn yang Suka Otak-atik Aturan Demi Nafsunya