Sejarah Dunia: Pesta Liar Era Romawi dan Yunani Kuno, Seberapa Buruk?

By Ade S, Minggu, 16 Juni 2024 | 18:03 WIB
Bacchanal dengan tong anggur (c. 1475) oleh Andrea Mantegna. Apakah pesta liar bernuansa seksual benar-benar terjadi pada era Romawi dan Yunani Kuno? Jika, ya, seperti apa wujudnya? (Andrea Mantegna)

Nationalgeographic.co.id—Imajinasi tentang pesta liar yang bernuansa seksual sering kali muncul ketika membicarakan era Romawi dan Yunani Kuno.

Hal ini terutama terjadi karena banyaknya buku atau film yang menggambarkan adegan-adegan tersebut.

Namun, benarkah pesta liar tersebut benar-benar terjadi pada dua era kuno tersebut? Terlebih, benarkah mereka benar-benar menikmati pesta tersebut?

Untuk menemukan jawabannya, mari kita simak ulasan lengkapnya dalam artikel berikut ini.

Ritual Asal Yunani yang Penuh Misteri dan Gairah

Kata "orgy" berasal dari kata Yunani "orgia," yang mengacu pada ritual yang diadakan untuk menghormati dewa seperti Dionysus, di mana pemujaannya merayakan regenerasi alam.

Ritual ini berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai "misteri kultus," yaitu serangkaian ritual yang eksklusif bagi inisiator, baik pria maupun wanita, yang telah bersumpah untuk merahasiakan detail-detailnya.

Di sisi lain, istilah "orgia" merujuk pada gairah dan sensasi. Sementara ritual orgyastik - yang sedikit diketahui karena misteri yang menyelimutinya - dapat melibatkan penggambaran objek dalam bentuk seksual.

Umumnya dilakukan dalam rangkaian pertunjukan ekstatis dan kekerasan yang bertujuan untuk mencapai keadaan kelengar kolektif.

Baru setelah tahun 1800, selama abad ke-19 dan terutama dalam literatur Prancis, kata "orgy" diartikan sebagai praktik seksual kelompok. Umumnya dikaitkan dengan kelebihan alkohol dan makanan.

Flaubert dalam kisahnya Smarh, yang ditulis pada tahun 1839, menggambarkan pesta malam hari, pesta pora yang penuh dengan wanita telanjang, secantik Venus.

Baca Juga: Mengapa Pedofilia Jadi Hal yang Normal pada Era Romawi dan Yunani Kuno?

Pesta Liar Berpadu Makanan Mewah

Pesta seks liar, dalam definisi aslinya, bukanlah hal yang baru. "Perjamuan yang memadukan kenikmatan gastronomi dan erotis sudah sering ditemukan dalam teks-teks klasik," jelas Christian-Georges Schwentzel di laman Ancient Origins.

Sebagai contoh, pada abad ke-4 SM, orator Yunani, Aeschines, dalam pidatonya melawan Timarchus, menuduh musuhnya telah menyerah pada "keburukan yang paling memalukan" dan "semua hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang bangsawan bebas."

Apa sebenarny yang dimaksud dengan "kesenangan terlarang" ini? Timarchus mengundang pemain suling dan wanita-wanita tak bermoral lainnya, dan berpesta bersama mereka.

Kita bisa simpulkan bahwa pemain suling itu tidak hanya diundang sebagai seniman, yang dipilih semata-mata karena bakat musik mereka, tetapi mereka adalah pelacur muda yang siap untuk memenuhi hasrat seksual para tamu.

Selain berfoya-foya dengan pelacur, memakan ikan yang sangat mahal adalah detail yang kerap disinggung oleh para orator abad ke-4 SM. Demosthenes menghubungkan kedua aspek pesta pora ini dalam orasinya yang berjudul "Kedutaan Palsu."

Pada tahun 346 SM, Athena mengutus duta besar ke Raja Philip II dari Makedonia, yang saat itu mengancam Yunani dengan kekuatan militernya. Namun, raja tersebut berhasil menyuap sebagian duta besar Athena, sehingga mereka mendukung ambisi imperialistiknya.

Salah satu utusan yang telah disuap oleh raja Makedonia dituduh oleh Demosthenes menggunakan keuntungan haramnya untuk "pelacur dan ikan," suatu bentuk pesta pora yang memuaskan nafsu makan dan nafsu birahi.

Sarkofagus dengan adegan dionysias dari tahun 210-an Masehi yang ada di Museum Pushkin. (shakko )

Pesta Liar Romawi, Termasuk Caligula

Sama seperti sejarawan Yunani, para sejarawan Romawi juga menggambarkan pesta mewah yang menggabungkan seks dan makanan. Pada dekade 89-80 SM, tiran Sylla menjadi pemimpin politik Romawi pertama yang menyelenggarakan pesta minum erotis.

Baca Juga: Arrichion, Atlet Olimpiade Yunani Kuno yang Jasadnya Diberi Mahkota Juara

Menurut Plutarchus (dalam Life of Sylla), Sylla kemungkinan besar mengambil konsep ini dari Yunani Timur, tempat ia melancarkan kampanye militer. Sylla berpesta pora hingga pagi hari dengan aktor komedi, musisi, dan seniman pantomim.

Menari erotis adalah salah satu keahlian tambahan para pelacur, dan tak jarang pelacur juga menjadi seniman pantomim. Mereka akan menggeliat-geliatkan tubuhnya terkadang sambil mensimulasikan tindakan seksual.

Sejarawan Latin Suetonius menggambarkan Tiberius sebagai arketipe kaisar yang bermoral bejat. Di istananya di Capri, ia menggelar pertunjukan pornografi yang berani.

Dia memiliki sekelompok aktor muda yang melakukan hubungan seksual di depan matanya. Mereka dikenal dengan "spintriae". Sebuah istilah Latin yang kemungkinan besar berasal dari bahasa Yunani sphinkter (anus), menunjukkan seks berantai.

Caligula, penerus Tiberius, menurut Suetonius dalam Life of Caligula, akan tidur dengan saudara perempuannya di depan para tamunya. Inses dan eksibisionis, dia melanggar dua tabu Romawi sekaligus.

Dia juga akan memamerkan istrinya, Caesonia, menunggang kuda, berpakaian seperti prajurit, atau telanjang bulat. Sebagai kaki tangan yang rela mengikuti keinginan suaminya, sang Permaisuri sangat menikmati sesi-sesi khusus ini. Menurut Suetonius, dia "terjerumus ke dalam pesta pora dan kejahatan".

Sekitar 20 tahun kemudian, Kaisar Nero "mengadakan pesta-pesta yang berlangsung dari tengah hari hingga tengah malam," tulis Suetonius. Semua indra perlu dipuaskan dalam pesta panjang ini.

Pesta ini adalah simfoni makanan, musik, dan tubuh lentur - untuk dilihat atau dinikmati. Sementara itu para budak membuat bunga berjatuhan dari langit-langit dan memenuhi udara dengan parfum.

Menurut penulis Historia Augusta (dalam Life of Antoninus Heliogabalus), selama pesta Kaisar Elagabalus sekitar tahun 220 M, para tamu tercekik mati "dan tidak bisa melarikan diri."

Wujud Kecaman Umat Kristen

Namun, pesta-pesta dekaden seperti ini tidak lebih lumrah selama Kekaisaran Romawi dibandingkan dengan zaman sekarang. Tidak ada keraguan tentang arti dari penggambaran pesta liar ini oleh penulis kuno.

Selalu ada tujuan moral: mengutuk "pesta pora", atas nama kesederhanaan dan ketenangan.

Pengkristenan Kekaisaran Romawi semakin memperkuat perspektif moral ini. Contoh yang bagus terdapat dalam karya Santo Agustinus (Khotbah ke-16, tentang pemenggalan kepala Yohanes Pembaptis).

Penggambaran perjamuan Herodes Antipas, penguasa Galilea, dengan makanan yang menumpuk tinggi, menggarisbawahi kerakusan para tamu. Santo Agustinus menambahkan kebobrokan yang seluruhnya merupakan pekerjaan Setan.

Herodes meminta Salome, keponakan buyutnya, untuk menari untuknya. Wanita muda yang jahat itu, setelah memperlihatkan dadanya selama tariannya yang penuh semangat, sebagai imbalannya meminta kepala Yohanes Pembaptis, disajikan di atas piring.