"Ketiga burung tersebut sudah dipastikan aman jika dilepasliarkan di sini," ungkap Nani.
Sebab ketiga jenis burung tersebut memang secara alami ada di Suaka Margasatwa Muara Angke, khususnya blekok sawah dan kowak malam. Sementara kuntul kerbau ada yang memang menetap di area tersebut, ada pula yang bersifat pengunjung harian dengan wilayah aslinya di wilayah Kepulauan Seribu, Jakarta.
Maklum, Suaka Margasatwa Muara Angke, bersama dengan kelompok hutan Angke-Kapuk lain, yaitu Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Hutan Lindung Angke-Kapuk, dan Hutan Produksi Angke-Kapuk, menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh ketiga jenis burung tersebut.
Luasnya lanskap kelompok hutan Angke-Kapuk tidak hanya memberikan banyaknya makanan bagi para burung tadi, namun juga memungkinkan terjadinya pengayaan genetik satu sama lain.
Sementara, kedua jenis burung yang lain, yaitu tikusan kaki merah (Rallina fasciata) dan kerak kerbau (Acridotheres javanicus), tidak direkomendasikan.
Tikusan kaki merah tidak direkomendasikan karena tidak ada catatan tentang keberadaan burung ini di Suaka Margasatwa Muara Angke, kelompok hutan Angke-Kapuk, bahkan di Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan kerak kerbau tidak direkomendasikan untuk dilepasliarkan karena populasi burung ini di hutan Angke-Kapuk relatif tinggi.
Berkah sedimentasi dan ancaman
Salah satu hal yang menarik dari kelompok hutan Angke-Kapuk, adalah adanya dataran lumpur yang terbentuk di bagian utara hutan lindung seluas 25,3 hektar yang saat ini berfungsi sebagai feeding ground burung air.
Meski sekilas terlihat seperti surga makanan bagi para burung air di kawasan tersebut, sebenarnya ada fakta mengkhawatirkan dari keberadaannya, khususnya bagi manusia.
Sebab, area yang diketahui sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu tersebut terbentuk dari sedimentasi sungai Angke, hingga kemudian meluas sedikit demi sedikit akibat munculnya vegetasi mangrove.
Baca Juga: Pertamina Ecocamp dan Pelepasliaran Elang Bondol di Kepulauan Seribu