Nationalgeographic.co.id—Melepasliarkan hewan ke alam ternyata membutuhkan kajian yang sangat mendalam. Jika tidak, bisa berdampak buruk tidak hanya bagi hewan yang dilepaskan, tetapi juga bagi habitat di mana hewan tersebut dilepasliarkan.
Setidaknya itulah yang dapat disarikan dari percakapan National Geographic Indonesia dengan Nani Rahayu dari Pengendali Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta, Jumat (26/7/2024).
"Kajian ini merupakan salah satu tahap yang harus dilalui sebelum dilakukan pelepasliaran, untuk menentukan kemampuan suatu habitat mendukung kehidupan satwa yang akan dilepasliarkan," tutur Nani di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta.
Nani yang ditemui dalam acara "Road to HKAN 2024: Pelepasliaran Burung, Penanaman Mangrove, dan Action Indonesia Day", menjelaskan beberapa hal yang biasanya termasuk dalam tahapan pengkajian.
Tiga hal yang biasanya masuk dalam tahap pengkajian adalah keaslian jenis, ukuran populasi, dan interaksi burung yang akan dilepasliarkan dengan burung lainnya.
Terkait keaslian jenis, Nani menjelaskan bahwa jika jenis hewan yang dilepasliarkan bukan yang secara alami sudah berada di area tersebut, dalam undang-undang konservasi itu akan dianggap sebagai salah satu faktor yang memengaruhi keutuhan kawasan.
"Jika tidak termasuk, maka spesies tersebut dianggap sebagai spesies asing," papar Nani.
Cakupan wilayah yang dikaji pun tidak terbatas pada satu area tertentu saja, namun bisa saja sampai seluruh wilayah Provinsi Jakarta. "Sebab, jika seandainya spesies tersebut tidak bisa dilepasliarkan di satu area, bisa jadi spesies tersebut justru bisa dilepasliarkan di area lain yang masih berada di wilayah Provinsi Jakarta," jelas Nani.
Bisa berujung pembatalan
Dalam acara yang disebutkan di atas, Nani menjelaskan bahwa pada awalnya ada 5 jenis burung air yang hendak dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Muara Angke. Namun, setelah dikaji, ternyata hanya 3 jenis saja yang memenuhi kriteria.
Tiga jenis burung air yang dimaksud adalah blekok sawah (Ardeola speciosa) sebanyak 9 ekor, kuntul kerbau (Bubulcus ibis) sebanyak 8 ekor, dan kowak malam Kelabu (Nycticorax nycticorax) sebanyak 4 ekor. Semua burung tersebut merupakan hasil program perkembangbiakkan terkontrol lembaga konservasi Jagat Satwa Nusantara, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Baca Juga: Menjaga Kelestarian Jalak Bali Melalui Penangkaran dan Pelepasliaran
"Ketiga burung tersebut sudah dipastikan aman jika dilepasliarkan di sini," ungkap Nani.
Sebab ketiga jenis burung tersebut memang secara alami ada di Suaka Margasatwa Muara Angke, khususnya blekok sawah dan kowak malam. Sementara kuntul kerbau ada yang memang menetap di area tersebut, ada pula yang bersifat pengunjung harian dengan wilayah aslinya di wilayah Kepulauan Seribu, Jakarta.
Maklum, Suaka Margasatwa Muara Angke, bersama dengan kelompok hutan Angke-Kapuk lain, yaitu Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Hutan Lindung Angke-Kapuk, dan Hutan Produksi Angke-Kapuk, menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh ketiga jenis burung tersebut.
Luasnya lanskap kelompok hutan Angke-Kapuk tidak hanya memberikan banyaknya makanan bagi para burung tadi, namun juga memungkinkan terjadinya pengayaan genetik satu sama lain.
Sementara, kedua jenis burung yang lain, yaitu tikusan kaki merah (Rallina fasciata) dan kerak kerbau (Acridotheres javanicus), tidak direkomendasikan.
Tikusan kaki merah tidak direkomendasikan karena tidak ada catatan tentang keberadaan burung ini di Suaka Margasatwa Muara Angke, kelompok hutan Angke-Kapuk, bahkan di Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan kerak kerbau tidak direkomendasikan untuk dilepasliarkan karena populasi burung ini di hutan Angke-Kapuk relatif tinggi.
Berkah sedimentasi dan ancaman
Salah satu hal yang menarik dari kelompok hutan Angke-Kapuk, adalah adanya dataran lumpur yang terbentuk di bagian utara hutan lindung seluas 25,3 hektar yang saat ini berfungsi sebagai feeding ground burung air.
Meski sekilas terlihat seperti surga makanan bagi para burung air di kawasan tersebut, sebenarnya ada fakta mengkhawatirkan dari keberadaannya, khususnya bagi manusia.
Sebab, area yang diketahui sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu tersebut terbentuk dari sedimentasi sungai Angke, hingga kemudian meluas sedikit demi sedikit akibat munculnya vegetasi mangrove.
Baca Juga: Pertamina Ecocamp dan Pelepasliaran Elang Bondol di Kepulauan Seribu
Ya, Anda tidak salah dengar, "sedimentasi". Kata yang menjadi momok bagi warga Jakarta, khususnya yang tinggal di dekat sungai atau di pesisir karena bisa memicu banjir, ternyata menjadi berkah bagi para burung air. "Selalu ada positif dan juga negatifnya," ucap Nani.
Sedimentasi ini sendiri, selain menakutkan bagi manusia, juga memberi dampak bagi hutan mangrove, yaitu berkurangnya salinitas (kadar garam). Hal ini disebabkan oleh Muara Angke yang berbatasan langsung dengan Sungai Angke. Maka, jika Sungai Angke meluap, jumlah air tawarnya pun meningkat. Hal inilah yang memicu salinitas tidak optimal.
"Untungnya, alam mempunyai mekanisme penyesuaian sendiri," papar Nani, "Makanya di sini yang tumbuh itu jenis pidada merah (Sonneratia caseolaris), yang toleran terhadap salinitas yang kurang."
Di sisi lain, meski memanjakan para burung dengan banyaknya makanan yang dibawanya, sedimentasi juga mengancam lewat sampah-sampah yang terbawa oleh arus sungai.
Bersama dengan pencemaran lainnya, sampah hadir sebagai ancaman antropogenik yang paling membahayakan para burung. Nani mengungkapkan sebuah penelitian yang dilakukan pada 2021, yang menemukan adanya kandungan mikroplastik pada salah satu spesies burung.
Road to HKAN 2024
Acara "Road to HKAN 2024: Pelepasliaran Burung, Penanaman Mangrove, dan Action Indonesia Day" sendiri digelar oleh Jagat Satwa Nusantara berkolaborasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dalam rangka menuju peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) mendatang yang akan diperingati setiap tanggal 10 Agustus 2024.
Selain pelepasliaran ketiga jenis burung air hasil program perkembangbiakkan terkontrol lembaga konservasi Jagat Satwa Nusantara TMII, seperti yang sudah dijelaskan di atas, acara ini melibatkan aksi penanaman mangrove.
"Kegiatan ini tidak hanya mencerminkan komitmen kami sebagai lembaga konservasi terhadap pelestarian alam, tetapi juga menunjukkan pentingnya berkolaborasi antara berbagai pihak dalam menjaga keberlanjutan ekosistem kita," jelas Ery Erlangga selaku Direktur Utama PT Dyandra Mitra Indah sebagai pengelola Jagat Satwa Nusantara, dalam kesempatan yang sama.
Menurut Ery, pelepasan burung air dan penanaman mangrove ini merupakan langkah yang baik untuk memperkuat habitat alami di Suaka Margasatwa Muara Angke.
"Kami mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung dan berpartisipasi dalam upaya pelestarian ini, demi masa depan lingkungan Jakarta yang lebih baik," ungkap Ery.
"Mari kita bersama-sama merayakan Hari Konservasi Alam Nasional dan Action Indonesia Day 2024 dengan tindakan nyata dan kepedulian terhadap alam."