Herodotus menjelaskan "setelah kemenangan Yunani dalam perang Thermopylae, orang-orang Persia dibawah kepemimpinan Xerxes menyerang ke selatan Yunani hingga memukul warga untuk meninggalkan kota."
"Persia menduduki citadel, dan ketika Mardonius, jenderal Xerxes, akhirnya mundur dari Athena pada musim panas tahun 479, kota itu sudah tinggal puingnya saja," lanjutnya.
Herodotus menulis 'dia membakar Athena; jika tersisa tembok, rumah, atau kuil yang tegak berdiri maka dirobohkannya hingga hancur.'
Thucydides mengingat bahwa 'hampir semua tembok rata dengan tanah, yang tersisa hanya yang ditinggali pemimpin Persia.'
Bukti arkeologi mengkonfirmasi laporan-laporan ini. Patung-patung yang sekarang ada di Museum Akropolis menjadi saksi kehancuran.
Rumah-rumah, tembok pertahanan, dan tempat-tempat suci, termasuk Altar Dua Belas Dewa, tempat suci Zeus, dan kuil kecil Apollo di sisi barat Agora, semuanya dirobohkan. Singkatnya, kota itu benar-benar hancur.
Tujuh tahun kemudian, Aeschylus memenangkan hadiah pertama festival Dionysiac dengan tetralogi drama tragedi kekalahan orang Persia di Salamis dan sebuah sandiwara satir Prometheus Fire-Kindler.
Kita mungkin berspekulasi tentang efek sandiwara satir yang didedikasikan untuk pencurian api Prometheus dan kultusnya di Athena yang dipentaskan bersama dengan drama tragedi Persians.
Persians karya Aeschylus adalah satu-satunya tragedi Yunani yang masih ada dan mengangkat tema peristiwa sejarah waktu itu, bukan mitos, dan fokusnya pada penderitaan serta kehancuran Persia mengingatkan kerugian sebanding yang ditanggung Athena pada permulaan perang yang sama.
Sebagian dari kekuatan drama ini berasal dari cara Aeschylus menangkap rasa penderitaan bersama di masa perang yang melampaui pengalaman individu para pemenang dan pecundang.
Tentu saja Perang Persia memiliki pengaruh besar pada Aeschylus; dia sendiri ikut dalam Pertempuran Marathon dan saudaranya meninggal di medan perang.
Baca Juga: Mitologi Yunani: Kisah Zeus yang Ingin Balas Dendam dari Manusia Bumi
Melihat pertunjukan di festival Dionysiac, warga Athena mungkin merasakan pengalaman serupa.
Pertama-tama tontonan menampilkan tragedi kehancuran bangsa Persia dalam perang, seperti bercermin nasib kerugian perang mereka sendiri satu dekade sebelumnya.
Kemudian melalui lensa drama satir, Prometheus Fire-Kindler, warga menyaksikan Prometheus menyalakan obor pertama dan memberikannya kepada para satir.
Penonton diajak membayangkan kebutuhan kota akan penyucian setelah kerusakan perang dan bangkit kembali dengan memanfaatkan sebaik mungkin hadiah Prometheus bagi umat manusia.
Baca Juga: Kisah Prometheus Mitologi Yunani, Asal-usul Lari Estafet Obor