Nationalgeographic.co.id—Prometheus, salah satu dewa Yunani yang menantang dan mencuri api Zeus untuk umat manusia, banyak diceritakan dalam sastra atau mitologi Yunani Kuno.
Orang Yunani Kuno merayakan pemberian api oleh Prometheus dari surga ke bumi kepada umat manusia dengan perayaan lomba obor (lampas).
Lomba obor erat kaitannya dengan penghormatan terhadap Prometheus dan dewa-dewa api lainnya di Athena.
Mitos Prometheus awalnya hanya mencuri api dengan menyembunyikannya dalam tangkai adas, tetapi di abad kelima mulai 'berubah' menjadi obor dan menjadi sebab musabab perlombaan obor.
Lomba obor dalam acara tahunan Prometheia dimulai dari altar Prometheus di Akademi dan berlari melalui Kerameikos menuju Gerbang Dipylon, atau 'menuju kota', seperti yang dikatakan oleh Pausanias, dengan jarak sekitar tiga perempat mil (1,2 km).
Garis finish lomba obor yakni di ambang pintu kota. Fakta bahwa tempat akhirnya tidak di dalam kota itu sendiri melambangkan permulaan datangnya api kepada manusia, sementara festival untuk dewa-dewa lain adalah perayaan atas penggunaan api.
Namun ada pendapat lain mengungkap bahwa lomba obor ditujukan untuk mengisi kembali api kota di Prytaneum sebelum perayaan 'phratry' Apatouria di mana obor dinyalakan dari perapian kota ke altar masing-masing tempat.
Perlombaan obor yang diadakan untuk menghormati dewa-dewa lain dimulai dari altar Prometheus atau altar Eros yang berdekatan dan berlanjut lebih jauh ke dalam kota bahkan hingga Altar Athena yang apinya digunakan untuk menerangi pengorbanan besar sebagai tanda puncak perayaan.
Pausanias, seorang penulis Yunani Kuno dalam buku Carol Dougherty yang berjudul Prometheus mengatakan "perlombaan obor dilakukan satu orang saja, tetapi ada pendapat lain yang mengatakan secara tim estafet."
Sementara itu, sejarawan Herodotus membandingkan kurir pos Kekaisaran Persia yang bekerja secara tim estafet untuk mengantar surat dari dengan perlombaan obor Yunani.
Demikian pula, Aeschylus membandingkan pergerakan nyala api dari Troya ke Mycenae dalam pidato terkenal Clytamnestra:
Baca Juga: Mitologi Yunani Kuno Permulaan Sebab 'Kenapa Manusia Menderita?'
"Atlet pemawa obor telah aku atur satu demi satu secara berurutan untuk menyelesaikan lintasannya, ia yang menang adalah yang larinya paling awal sekaligus akhir."
Perlombaan obor juga menghubungkan Prometheus dengan satir, makhluk setengah manusia setengah kuda, dan dewa Dionysus yang dikelilingi 'maenad' atau nimfa-nya.
Bagian atas badan satir serupa manusia bertelinga runcing dengan bawahan tubuh kuda.
Makhluk mitologi ini digambarkan punya alat kelamin besar yang selalu tegang dan lebih mirip alat kelamin milik keledai ketimbang manusia.
Sifat kebinatangannya juga mengerikan dan kelakuannya mirip aspek kunci budaya manusia (makan, minum, hubungan badan). Sosoknya juga muncul dalam konteks kepercayaan, permainan, dan berbagai praktik keagamaan.
Satir merupakan makhluk di batas ambang dunia manusia dan hewan. Mereka membesar-besarkan humor untuk mengkritik lembaga dan ritual manusia.
Mereka adalah tukang lawak yang nakal dan rakus, wajar jika orang Athena menyeret mereka dalam mitos Prometheus.
Ahli sejarah Prancis François Lissarrague menyebut fungsi satir adalah mempertanyakan tingkah laku budaya manusia.
"Sebagai tokoh penipu lokal Athena, mereka punya pandangan unik tentang pemberian api oleh Prometheus untuk orang Athena," ujarnya.
Prometheus, Api, dan Warga Athena Abad ke-5 SM
Perayaan api menjadi inti dari kultus Prometheus, ia dirayakan baik sebagai pencipta perabadan juga sekaligus penghancur.
Baca Juga: Prometheus vs Zeus: Pertarungan Logika dalam Mitologi Yunani Kuno
Pentingnya api dalam kepercayaan Yunani secara umum berguna sebagai simbol ilahi, media komunikasi dengan para dewa, hingga pengorbanan, tapi bagaimana dengan arti Prometheus bagi orang-orang Athena pada abad kelima SM?
Pada seperempat pertama abad kelima, orang Athena punya pengalaman terbaik dan terburuk dengan api.
Menjalani keseharian bergelut dengan invasi Persia, Prometheus menjadi sosok yang sangat 'bermanfaat untuk dipikirkan' bagi orang-orang Athena abad kelima SM.
Beberapa tahun menjelang Perang Persia pertama, Athena adalah sebuah kota yang makmur dan penuh ambisi.
Di bawah kekuasaan Peisistratus, Athena mulai menjalankan program pembangunan yang dilanjutkan oleh anak-anaknya pada paruh kedua abad keenam.
Sebuah Altar untuk Dua Belas Dewa juga dibangun Agora pada tahun 522, dan di seberangnya ada rumah pancuran kecil untuk mengalirkan air melalui pipa-pipa terakota dari jarak yang jauh kepada ratusan orang yang sekarang sering mengunjungi pasar.
Kuil Olympian Zeus yang monumental juga dibangun di tenggara Akronopolis (meskipun tidak pernah selesai), dirancang untuk menyaingi kuil-kuil besar yang dibangun pada waktu itu di Efesus, Miletus, dan di pulau Samos.
Pada awal abad kelima, pembangunan kuil di Akropolis untuk Athena menggunakan marmer Pentelikon, sementara patung Athena terbuat dari perunggu kolosal karya Pheidias.
Begitu besarnya patung itu sehingga tombak dan jambul helmnya dapat terlihat oleh mereka yang berlayar ke Athena dari Sounion.
Athena menjadi kota yang makmur dan canggih adalah bukti kehidupan yang dibawa oleh Prometheus.
Segala keagungan budaya Athena kemudian diluluhlantakkan oleh Persia pada tahun 480/479.
Baca Juga: Mitologi Yunani: 4 Hukuman Tersadis Zeus, Prometheus Paling Menderita
Herodotus menjelaskan "setelah kemenangan Yunani dalam perang Thermopylae, orang-orang Persia dibawah kepemimpinan Xerxes menyerang ke selatan Yunani hingga memukul warga untuk meninggalkan kota."
"Persia menduduki citadel, dan ketika Mardonius, jenderal Xerxes, akhirnya mundur dari Athena pada musim panas tahun 479, kota itu sudah tinggal puingnya saja," lanjutnya.
Herodotus menulis 'dia membakar Athena; jika tersisa tembok, rumah, atau kuil yang tegak berdiri maka dirobohkannya hingga hancur.'
Thucydides mengingat bahwa 'hampir semua tembok rata dengan tanah, yang tersisa hanya yang ditinggali pemimpin Persia.'
Bukti arkeologi mengkonfirmasi laporan-laporan ini. Patung-patung yang sekarang ada di Museum Akropolis menjadi saksi kehancuran.
Rumah-rumah, tembok pertahanan, dan tempat-tempat suci, termasuk Altar Dua Belas Dewa, tempat suci Zeus, dan kuil kecil Apollo di sisi barat Agora, semuanya dirobohkan. Singkatnya, kota itu benar-benar hancur.
Tujuh tahun kemudian, Aeschylus memenangkan hadiah pertama festival Dionysiac dengan tetralogi drama tragedi kekalahan orang Persia di Salamis dan sebuah sandiwara satir Prometheus Fire-Kindler.
Kita mungkin berspekulasi tentang efek sandiwara satir yang didedikasikan untuk pencurian api Prometheus dan kultusnya di Athena yang dipentaskan bersama dengan drama tragedi Persians.
Persians karya Aeschylus adalah satu-satunya tragedi Yunani yang masih ada dan mengangkat tema peristiwa sejarah waktu itu, bukan mitos, dan fokusnya pada penderitaan serta kehancuran Persia mengingatkan kerugian sebanding yang ditanggung Athena pada permulaan perang yang sama.
Sebagian dari kekuatan drama ini berasal dari cara Aeschylus menangkap rasa penderitaan bersama di masa perang yang melampaui pengalaman individu para pemenang dan pecundang.
Tentu saja Perang Persia memiliki pengaruh besar pada Aeschylus; dia sendiri ikut dalam Pertempuran Marathon dan saudaranya meninggal di medan perang.
Baca Juga: Mitologi Yunani: Kisah Zeus yang Ingin Balas Dendam dari Manusia Bumi
Melihat pertunjukan di festival Dionysiac, warga Athena mungkin merasakan pengalaman serupa.
Pertama-tama tontonan menampilkan tragedi kehancuran bangsa Persia dalam perang, seperti bercermin nasib kerugian perang mereka sendiri satu dekade sebelumnya.
Kemudian melalui lensa drama satir, Prometheus Fire-Kindler, warga menyaksikan Prometheus menyalakan obor pertama dan memberikannya kepada para satir.
Penonton diajak membayangkan kebutuhan kota akan penyucian setelah kerusakan perang dan bangkit kembali dengan memanfaatkan sebaik mungkin hadiah Prometheus bagi umat manusia.
Baca Juga: Kisah Prometheus Mitologi Yunani, Asal-usul Lari Estafet Obor