Nationalgeographic.co.id—Sejarah dunia mencatat namanya sebagai Mahmud Ghazni. Pada masa pemerintahannya peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat serta pada masa pemerintahan Mahmud Ghazni banyak kemajuan di bidang pendidikan dan perekonomian.
Mahmud Ghazni adalah seorang yang menguasai Islam dan sangat memiliki pengaruh serta kekuatannya saat peperangan dan kerap menang atas musuhnya hingga khalifah Al-Qadir Billah memberi gelar Yamin addaulah yang artinya orang yang diandalkan pemerintah serta Amin Addaulah yang artinya yang dipercaya pemerintah.
R Rahmawati dalam Peran Mahmud Ghazni Terhadap Perkembangan Peradaban Islam, 388-421 H/ 998-1030 M yang terbit dalam Jurnal Sejarah dan Peradaban Islam, vol. I No.1, 2020, menjelaskan Mahmud Ghazni diketahui selaku umat sholeh serta memiliki janji yang kuat dalam bidang keilmuan serta perkembangan.
Mahmud dari Ghazni (2 November 971–30 April 1030), merupakan penguasa pertama dalam sejarah yang menyandang gelar " sultan," mendirikan Kekaisaran Ghaznawiyah.
Gelarnya menandakan bahwa Khalifah Muslim tetap menjadi pemimpin agama kekaisaran meskipun menjadi pemimpin politik di wilayah yang sangat luas, meliputi sebagian besar wilayah yang sekarang menjadi Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Kirgistan, Afghanistan, Pakistan, dan India utara.
Ghaznawiyah merupakan nama suatu dinasti yang berkedudukan di kota Ghazna serta menguasai wilayah India Utara dan Afghanistan. Dinasti tersebut didirikan Subektegin sebagai panglima dan gubernur Bani Saman yang berasal dari Turki.
Usia Dinasti tersebut lebih dari 200 tahun (366 H/977 M - 582 H/1186 M) di Iran Timur dan di wilayah yang sekarang menjadi Afghanistan, amir Dinasti Gaznawiyah menyandang gelar amir, sekalipun sejarawan menyebut mereka sultan.
Alfataqin merupakan mantan budak penduduk Turki yang mempunyai kedudukan terhormat di kalangan Samaniyun.
Dia diangkat sebagai penguasa di kota Herat dan Ghazna. Pada waktu pamornya baik di mata penduduk serta dapat mendirikan pemerintahan di wilayah Afghanistan, Punjab dan Pakistan.
"Dinasti Ghaznawiyah mengalami kemajuan ketika di bawah pemerintahan Mahmud Ghazni yang bisa terihat pada beberapa aspek," papar Rahmawati.
"Wilayah Dinasti Ghaznawiyah pada masa Sabuktigin diperluas melalui penaklukkan beberapa wilayah di Kusdar dan Sijistan."
"Bahkan menunjukkan kemampuan dalam mempertahankan Iran bagian barat dan Transoxania dari serbuan Bani Saljuk," lanjutnya.
Baca Juga: Bagaimana Peradaban Islam dalam Sejarah Dunia Memperlakukan Ganja?
Ketika Mahmud Ghazni menduduki pucuk pemerintahan, pencapaian puncak terlihat pada kemajuan bidang politik, lalu seperti apa perjalanan kehidupan pribadinya?
Kehidupan Awal
Pada tanggal 2 November 971, Yamin ad-Dawlah Abdul-Qasim Mahmud ibn Sabuktegin, lebih dikenal sebagai Mahmud dari Ghazni, lahir di kota Ghazna (sekarang dikenal sebagai Ghazni), di tenggara Afghanistan.
Ayahnya Abu Mansur Sabuktegin adalah orang Turki, mantan prajurit budak Mamluk dari Ghazni.
Ketika dinasti Samanid, yang berpusat di Bukhara (sekarang di Uzbekistan) mulai runtuh, Sabuktegin merebut kendali kota kelahirannya Ghazni pada tahun 977.
Ia kemudian menaklukkan kota-kota besar Afghanistan lainnya, seperti Kandahar.
Kerajaannya menjadi inti Kekaisaran Gaznawiyah, dan ia dianggap sebagai pendiri dinasti tersebut.
Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil Mahmud dari Ghazni.
Ia memiliki dua adik laki-laki; yang kedua, Ismail, lahir dari istri utama Sabuktegin.
Fakta bahwa ia, tidak seperti ibu Mahmud, adalah seorang wanita merdeka berdarah bangsawan menjadi kunci dalam masalah suksesi ketika Sabuktegin meninggal dalam sebuah operasi militer pada tahun 997.
Naik ke Kekuasaan
Di ranjang kematiannya, Sabuktegin menyerahkan putra sulungnya yang terampil dalam militer dan diplomatik, Mahmud, 27 tahun, demi putra keduanya, Ismail.
Tampaknya ia memilih Ismail karena ia bukan keturunan orang-orang yang diperbudak di kedua belah pihak, tidak seperti kakak dan adiknya.
Ketika Mahmud, yang ditempatkan di Nishapur (sekarang di Iran), mendengar tentang pengangkatan saudaranya ke takhta, ia segera bergerak ke timur untuk menantang hak Ismail untuk memerintah.
Mahmud mengalahkan para pendukung saudaranya pada tahun 998, merebut Ghazni, mengambil takhta untuk dirinya sendiri, dan menempatkan adiknya dalam tahanan rumah selama sisa hidupnya.
Sultan baru tersebut akan memerintah hingga kematiannya sendiri pada tahun 1030.
Memperluas Kekaisaran
Penaklukan awal Mahmud memperluas wilayah Gaznawiyah hingga kira-kira seluas Kekaisaran Kushan kuno.
Ia menggunakan teknik dan taktik militer khas Asia Tengah, terutama mengandalkan kavaleri berkuda yang sangat lincah dan bersenjatakan busur panah.
Pada tahun 1001, Mahmud mengalihkan perhatiannya ke tanah subur Punjab, yang sekarang berada di India, yang terletak di tenggara kekaisarannya.
Wilayah yang menjadi target adalah milik raja-raja Hindu Rajput yang galak tetapi suka bertengkar, yang menolak untuk mengoordinasikan pertahanan mereka terhadap ancaman Muslim dari Afghanistan.
Selain itu, Rajput menggunakan kombinasi infanteri dan kavaleri berkuda gajah, bentuk pasukan yang tangguh tetapi bergerak lebih lambat daripada kavaleri berkuda Gaznawiyah.
Memerintah Wilayah yang Sangat Luas
Selama tiga dekade berikutnya, Mahmud dari Ghazni akan melakukan lebih dari selusin serangan militer ke kerajaan-kerajaan Hindu dan Ismailiyah di selatan.
Pada saat kematiannya, kekaisaran Mahmud membentang hingga ke pesisir Samudra Hindia di Gujarat selatan.
Mahmud menunjuk raja-raja bawahan setempat untuk memerintah atas namanya di banyak wilayah yang ditaklukkan, sehingga memudahkan hubungan dengan penduduk non-Muslim.
Ia juga menyambut baik para prajurit dan perwira Hindu dan Ismailiyah ke dalam pasukannya.
Akan tetapi, karena biaya ekspansi dan peperangan yang terus-menerus mulai membebani perbendaharaan Gaznawiyah di tahun-tahun terakhir pemerintahannya, Mahmud memerintahkan pasukannya untuk menyasar kuil-kuil Hindu dan merampas sejumlah besar emas dari kuil-kuil tersebut.
Kebijakan Dalam Negeri
Sultan Mahmud mencintai buku dan menghormati para cendekiawan.
Di markasnya di Ghazni, ia membangun perpustakaan yang menyaingi perpustakaan istana khalifah Abbasiyah di Baghdad, yang sekarang berada di Irak.
Mahmud dari Ghazni juga mensponsori pembangunan universitas, istana, dan masjid agung, menjadikan ibu kotanya sebagai permata Asia Tengah.
Pertempuran Terakhir dan Kematian
Pada tahun 1026, sultan berusia 55 tahun itu berangkat untuk menyerang negara bagian Kathiawar, di pantai barat India (Laut Arab). Pasukannya bergerak maju ke selatan hingga ke Somnath, yang terkenal dengan kuilnya yang indah untuk Dewa Siwa.
Meskipun pasukan Mahmud berhasil merebut Somnath, menjarah dan menghancurkan kuil, ada berita yang meresahkan dari Afghanistan.
Sejumlah suku Turki lainnya telah bangkit untuk menantang kekuasaan Gaznawiyah, termasuk suku Turki Seljuk, yang telah merebut Merv (Turkmenistan) dan Nishapur (Iran).
Para penantang ini telah mulai menggerogoti pinggiran Kekaisaran Ghaznavid pada saat Mahmud meninggal pada tanggal 30 April 1030. Sultan tersebut berusia 59 tahun.
Peninggalan
Mahmud dari Ghazni meninggalkan warisan yang beragam.
Kekaisarannya bertahan hingga tahun 1187, meskipun mulai runtuh dari barat ke timur bahkan sebelum kematiannya.
Pada tahun 1151, sultan Ghaznavid Bahram Shah kehilangan Ghazni sendiri, melarikan diri ke Lahore (sekarang di Pakistan).
Sultan Mahmud menghabiskan sebagian besar hidupnya berperang melawan apa yang disebutnya "kafir"—umat Hindu, Jain, Buddha, dan kelompok sempalan Muslim seperti Ismailiyah.
Bahkan, kaum Ismailiyah tampaknya menjadi sasaran kemarahannya, karena Mahmud (dan penguasa nominalnya, khalifah Abbasiyah) menganggap mereka sebagai bidah.
Meskipun demikian, Mahmud dari Ghazni tampaknya menoleransi orang-orang non-Muslim selama mereka tidak menentangnya secara militer.
Catatan toleransi relatif ini berlanjut hingga ke kekaisaran Muslim berikut di India: Kesultanan Delhi (1206–1526) dan Kekaisaran Mughal (1526–1857).
Sepeninggalan Mahmud Ghazni, Dinasti Ghaznawiyah menunjukkan tanda-tanda kemunduran.
Peristiwa tersebut dikarenakan penurunan sumber pendapatan negara, bahkan sesudah Tughrul Bek, Dinasti Saljuk menguasai Khurasan dan beberapa wilayah bagian Timur memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Ghaznawiyah.
Pemisahan wilayah ini adalah peristiwa politik yang tidak stabil, dengan demikian sejumlah wilayah mendirikan kerajaan-kerajaan Islam kecil.
Namun, keluarga Turkestan dan Khan serta keluarga Saljuk dari Persia membagi wilayah kekuasaanya di Dinasti Ghaznawiyah.
Sedangkan, kelompok Ghuriyah dari Afghanistan menyerang kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah.
Ketika masa kekuasaan Mas’ud ibnu Mahmud Ghazni, Dinasti Ghaznawiyah mengalami kemunduran luar biasa, sebab wilayah Khawarizm dan Khurasan jatuh ke tangan Saljuk.
Sekitar abad ke-11 M, Mas’ud disibukan dengan peperangan melawan kekuatan Bani Saljuk yang ingin menguasai Afghanistan Barat dan Sijistan.
Sejak tahun 1040-1059 M peperangan berlangsung terus-menerus antara Bani Saljuk dengan Dinasti Ghaznawiyah.
Perdamaian antara Dinasti Saljuk dengan Dinasti Ghaznawiyah terjadi sesudah Bani Ibrahim berkuasa.
Perjanjian tersebut berlangsung selama setengah abad.
Isi perjanjian tersebut ialah Ibrahim harus menyerahkan wilayah Afghanistan Barat kepada Bani Saljuk, sehingga wilayah wilayah kekuasaan Ghaznawiyah hanya mencakup wilayah India Utara dan Afghanistan bagian Timur.