Nationalgeographic.co.id—Dinasti Ming, yang memerintah Tiongkok dari tahun 1368 hingga 1644, menandai era kejayaan budaya dan maritim yang tak tertandingi.
Didirikan oleh Zhu Yuanzhang, atau Kaisar Hongwu, setelah pemberontakan petani yang menggulingkan Dinasti Yuan, Ming menjadi dinasti kekaisaran terakhir di Tiongkok yang dipimpin oleh etnis Han.
Selama hampir tiga abad, Dinasti Ming memancarkan pengaruhnya melalui ekspansi perdagangan yang luas. Pertukaran budaya dengan bangsa Barat berkembang pesat, membuka jalan bagi era penjelajahan dan globalisasi.
Masa ini juga diwarnai dengan kejayaan seni dan budaya, dengan drama, sastra, dan porselen Ming yang mendunia.
Namun, di balik kegemilangannya, Ming tak luput dari keruntuhan. Pada tahun 1644, dinasti ini runtuh, meninggalkan warisan yang kompleks dan pertanyaan yang masih terus dikaji hingga saat ini.
Berbagai teori berusaha menjelaskan penyebab kejatuhannya. Termasuk menjawab pertanyaan yang kerap muncul: "Siapa sebenarnya yang menghancurkan Dinasti Ming?"
Krisis ekonomi parah
Di akhir masa pemerintahan Kaisar Wanli dan dua penerusnya, Dinasti Ming dilanda krisis ekonomi parah. Biang keladinya adalah kelangkaan perak, mata uang utama kekaisaran.
Kekuatan Protestan dari Republik Belanda dan Kerajaan Inggris, dalam upaya melemahkan kekuatan ekonomi global mereka, sering melancarkan serangan dan aksi perompakan terhadap kekaisaran Katolik Spanyol dan Portugal.
Sementara itu, Raja Philip IV dari Spanyol (memerintah 1621–1665) memperketat penindakan terhadap penyelundupan ilegal perak dari Meksiko dan Peru melalui jalur Pasifik menuju Tiongkok. Ia memerintahkan perak hasil tambang Amerika langsung dikirim dari Spanyol ke Manila.
Di sisi lain, pada tahun 1639, rezim baru Tokugawa di Jepang menutup sebagian besar perdagangan luar negerinya dengan kekuatan Eropa. Hal ini menghentikan sumber perak lain yang masuk ke Tiongkok.
Baca Juga: Katolik di Akhir Masa Dinasti Ming: Kala Buku Catatan Pahala-dosa Dikritik
KOMENTAR