Bencana kelaparan dan kekeringan pada akhir tahun 1620-an dan 1630-an menjadi api pemicu pemberontakan di Shaanxi.
Dipimpin oleh para pemimpin pemberontak seperti Li Zicheng dan Zhang Xianzhong, pemberontakan ini semakin memperlemah Dinasti Ming yang sudah rapuh dan pada akhirnya berkontribusi pada kejatuhannya.
Pemberontakan dan perang
Perang Qing-Ming menandai pertempuran sengit antara dinasti Qing yang didirikan oleh klan Manchu Aisin Gioro di Manchuria (wilayah Tiongkok Timur Laut modern) dan dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok.
Bangsa Manchu, yang sebelumnya dikenal sebagai suku Jurchen, bangkit di bawah kepemimpinan Nurhaci, seorang pemimpin suku yang ambisius. Pada tahun 1618, Nurhaci mengeluarkan dokumen yang berjudul "Tujuh Keluhan".
Dokumen ini berisi daftar ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Ming dan menjadi deklarasi pemberontakan terhadap dominasi mereka.
Keluhan-keluhan ini sebagian besar berakar dari konflik dengan klan Manchu Yehe dan kebijakan Ming yang dianggap menguntungkan Yehe.
Tuntutan Nurhaci agar Ming membayar upeti sebagai solusi atas "Tujuh Keluhan" pada dasarnya adalah deklarasi perang, karena Ming menolak tunduk pada tuntutan tersebut.
Tak lama setelah itu, Nurhaci melancarkan serangan terhadap Ming, mengusir mereka dari wilayah Liaoning di Manchuria selatan.
Di tengah gempuran krisis keuangan dan pemberontakan petani, Dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok semakin terdesak.
Pada tahun 1640, didorong oleh kelaparan, ketidakmampuan membayar pajak, dan hilangnya rasa takut terhadap tentara Ming yang melemah, ribuan petani Tiongkok bersatu dalam kelompok pemberontak besar.
Baca Juga: Kala Kertas Ujian Seorang Sarjana Dinasti Ming Gemparkan Dunia Maya
KOMENTAR