Meskipun perak Jepang masih masuk ke Tiongkok dalam jumlah terbatas, hambatan terbesar terhadap aliran perak berasal dari benua Amerika.
Bersamaan dengan kelangkaan perak, seperti dilansir dari World Civilization, serangkaian peristiwa lain memperparah krisis ekonomi Dinasti Ming.
Lonjakan dramatis nilai perak membuat pembayaran pajak hampir mustahil bagi sebagian besar provinsi. Orang-orang mulai menimbun perak berharga, menyebabkan rasio nilai tembaga terhadap perak anjlok.
Pada tahun 1630-an, seribu koin tembaga masih bernilai satu ons perak. Namun, pada tahun 1640, nilainya turun menjadi setengah ons. Dan pada tahun 1643, nilainya hanya sekitar sepertiga ons.
Bagi para petani, situasi ini merupakan bencana. Mereka diharuskan membayar pajak dengan perak, sedangkan dalam perdagangan lokal dan penjualan hasil panen, mereka hanya menerima koin tembaga yang nilainya terus merosot.
Bencana alam
Pada paruh pertama abad ke-17, Dinasti Ming dilanda serangkaian bencana yang menghancurkan, memicu kelaparan, wabah penyakit, dan pemberontakan yang menelan banyak korban jiwa.
Di utara Tiongkok, cuaca yang luar biasa kering dan dingin melanda, memperpendek musim tanam dan memicu kelaparan yang meluas. Fenomena ini merupakan bagian dari peristiwa ekologis global yang dikenal sebagai Zaman Es Kecil.
Kelaparan diperparah oleh kenaikan pajak, desersi militer yang meluas, sistem bantuan yang menurun, dan bencana alam seperti banjir. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola proyek irigasi dan pengendalian banjir dengan baik memperburuk keadaan.
Akibatnya, banyak nyawa melayang dan kehidupan sehari-hari menjadi kacau balau. Pemerintah pusat, kehabisan sumber daya, hanya mampu memberikan sedikit bantuan untuk meringankan penderitaan rakyat.
Lebih buruk lagi, epidemi yang mematikan melanda Tiongkok dari Zhejiang hingga Henan. Jumlah korban jiwa akibat wabah ini tidak diketahui, namun diperkirakan sangat besar.
Baca Juga: 3 Samurai Non-Jepang: Ada yang Besar di Indonesia, Ada Juga dari Dinasti Ming
KOMENTAR