Dalam sebuah esai dari Indian North America, Mac Linscott Ricketts mendefinisikan mereka sebagai sosok yang mengubah dunia mitos yang kacau menjadi ciptaan yang teratur seperti sekarang ini.
"Ia adalah pembunuh monster, pencuri cahaya matahari, air, dan sejenisnya untuk kepentingan manusia; ia adalah guru keterampilan dan adat kebudayaan; tetapi ia juga seorang pengganggu yang sangat rakus, sombong, penipu yang licik terhadap teman maupun musuh; pengembara yang gelisah di muka bumi dan pengacau yang seringkali menjadi korban dari tipuannya sendiri dan kecerobohannya," ungkapnya.
Dua tokoh penipu yang paling terkenal adalah Coyote dari Indian Amerika dan Anansi manusia laba-laba dari Afrika Barat. Mereka menghibur orang-orang dengan jenakanya, tapi mereka juga sangat kurang ajar mempertanyakan hal-hal substansial dalam kehidupan sehari-hari yang remeh.
Mereka menyampaikan kebenaran menggunakan tipu muslihat, karenanya omongan yang mereka sampaikan lebih dari sekadar hiburan, namun tertanam dalam menjadi bagian penting pengalaman si penutur.
Tokoh penipu seringkali diceritakan terlibat pencurian dan aksi tipu daya dibanding hal-hal berbau kekerasan, dan Prometheus memerankannya dengan baik dalam cerita Hesiod.
Norman O. Brown telah menunjukkan bahwa bahasa Yunani yang biasanya diterjemahkan sebagai 'mencuri' (kleptein) sebenarnya berarti menghapus secara rahasia atau menipu, dan Prometheus menggabungkan keduanya saat mencuri api suci dari surga dengan menyembunyikannya dalam tangkai adas.
Meskipun cerdik dan pandai, para penipu ini sering kali digambarkan tak becus mengurus kekacauannya sendiri. Kecerdikan dan kebodohan berjalan beriringan, masing-masing menerangi yang lain, dan Carl Kerenyi telah mengamati bahwa sifat positif dan negatif ini diekspresikan dalam tradisi Yunani melalui sepasang saudara, Prometheus dan Epimetheus:
"Setiap kali Prometheus berhasil membuat penemuan, segera penderitaan juga melanda umat manusia. Tidak lama setelah ia menipu Zeus dalam pengorbanan, api suci dicabut dari manusia. Setelah dia dapat mencuri api itu kembali, Prometheus dikenai hukuman yang penuh penderitaan."
"Hanya tersisa Epimetheus yang berarti kecerdikan diganti oleh kebodohan. Kesamaan di anatra mereka berdua hanyalah fakta bahwa kakak beradik ini sepasang saudara. Bisa dikatakan dalam diri mereka terpecah menjadi dualitas: Prometheus yang berpikir terlebih dahulu dan Epimetheus yang berpikir belakangan. Kecerobohannya membawa penderitaan tak terbatas pada umat manusia melalui sosok bikinan para dewa: Pandora."
Meskipun telah berusaha dengan segala upaya dan kecerdasannya, Prometheus dalam cerita Hesiod tidak benar-benar membantu umat manusia melalui tipu dayanya terhadap Zeus (persembahan, api).
Bukan hanya dirinya yang dihukum atas pencurian itu, tetapi Prometheus secara langsung bertanggung jawab atas penderitaan dan terpisahnya manusia dari kehidupan surgawi.
Dalam hal ini, cerita tentang Prometheus, seperti tokoh jahat lainnya, menetapkan dunia manusia "sebagaimana adanya" - bukan seperti yang seharusnya. Dan ia melakukannya, tidak sesuai dengan rencana para dewa. Tokoh jahat sering muncul sebagai tokoh transformasional; mereka berjuang demi manusia untuk menjadikan dunia lebih baik.
Kisah-kisah mengenai para penipu ini memberi wawasan tatanan sosial suatu budaya dengan menyoroti makna dan pentingnya hal-hal yang berada di luar tatanan tersebut.
Mereka cenderung menantang norma sosial dan batasan-batasan, omongan mereka juga mampu membuka membuka pemahaman tentang bagaimana sebuah budaya memandang mereka yang menantang atau memperlembut perbedaan-perbedaan tersebut.
Bergerak leluasa melintasi batas-batas, mereka sebenarnya mewakili sekaligus merayakan kepribadian manusia sendiri dalam keadaan ambang.
Sebaiknya, kompleksitas para tokoh penipu ini dipahami dalam konteks budayanya sendiri. Misalnya Prometheus yang menggoncangkan dunia para dewa dan manusia, tindakannya meruntuhkan sekaligus memperkuat aturan kebiasaan budaya Yunani kuno.
Kisah Prometheus memperlihatkan batas-batas penting dalam budaya Yunani kuno - perbatasan antara manusia dan dewa, antara manusia dan binatang, antara pria dan wanita.
Mitologi Yunani Kuno tersebut juga menggambarkan kehidupan Yunani pada saat itu perihal pengorbanan, pernikahan, pertanian. Akhirnya, fokus cerita mengenai tipu muslihat mewakili sifat ambigu umat manusia sendiri seperti yang dipahami oleh orang Yunani.