Prometheus si Penipu Jenaka Tapi Kurang Ajar dalam Mitologi Yunani

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 24 Agustus 2024 | 16:00 WIB
(Ilustrasi) Prometheus, dewa Yunani yang menantang dan mencuri api Zeus untuk umat manusia. (Ancient Origins)

Nationalgeographic.co.id—Mitologi Yunani Kuno hingga sastra dan seni modern dilimpahi dengan mitos tentang Prometheus, dewa Yunani yang menantang dan mencuri api Zeus untuk umat manusia.

Sebagai pemberontak, pengkhianat, pahlawan, dan pelindung umat manusia, Prometheus menjadi simbol kondisi hidup manusia yang memiliki potensi untuk inovasi brilian dan sekaligus menanggung penderitaan yang teramat pedih.

Carol Dougherty dalam bukunya Prometheus menjelaskan bahwa beberapa tradisi menghadirkan Prometheus sebagai pencipta sejati umat manusia. "Sebenarnya esensi dari mitos Prometheus jauh lebih luas lagi.

Mitos ini bahkan membantu orang-orang dari zaman Hesiod yang hidup abad ke-8 SM hingga saat ini untuk mengeksplorasi, mempertanyakan, dan menantang batas kondisi manusia," paparnya.

Secara umum mitologi Yunani Kuno mudah dibawa ke dalam teks dan konteks yang baru atau berbeda sama sekali, tapi melebihi semua itu Prometheus adalah mitos yang luar biasa fleksibel.

Teks Klasik: Sumber Mitos

Sama dengan mitologi Yunani Kuno lainnya, kisah Prometheus diceritakan ulang secara selektif dan sebagian. Begitu juga dengan puisi epik Homer, Iliad, yang hanya menceritakan peristiwa sepuluh hari dari kesepuluh Perang Troya.

The Odyssey juga hanya menceritakan kisah satu pahlawan yang pulang seusai perang lalu kembali ke rumah. Tidak ada puisi yang menceritakan Perang Troya dari awal hingga akhir.

Pada kedua puisi itu, Anda tidak akan menemukan kisah pemerkosaan Helen, pengorbanan Iphigenia, ekspedisi ke Troy, atau kematian Achilles. Sebaliknya, setiap puisi mengasumsikan tradisi naratif yang kaya dan kompleks dengan improvisasi-improvisasi kreatif di dalamnya.

Saking fleksibelnya mitos Prometheus, ia bisa diadopsi dalam berbagai masa dan budaya. Film Hollywood Troy (2004) menjadi contoh kontemporer dari fenomena ini. Seperti yang dilakukan Homer, pembuat Troy mengadaptasi mitos kuno agar sesuai dengan selera dan minat audiens kontemporer.

Mitos memiliki kekuatan khusus lantaran mampu membawa unsur kekayaan budaya untuk diolah menjadi narasi yang tidak hanya penting namun juga menarik bagi penikmatnya.

Baca Juga: Prometheus Mencuri Api, Unsur Sakral Berbagai Budaya Yunani Kuno

Mitos tidak selalu identik dengan agama, bahkan jika ada tokoh dalam cerita agama yang ikut bermain dalam mitos, mereka berangkat dari alasan sekuler yang jelas.

Teks sastra yang mengacu pada mitos Yunani banyak menampilkan tokoh Ilahiah yang mengemban misi heuristik alih-alih religius. Bersama mereka inilah, kita diajak merenungkan isu-isu penting dalam kehidupan.

Sebagai sistem komunikasi yang dinamis dan bukan sebagai kumpulan cerita statis, mitos memainkan peran penting dalam suatu budaya dari waktu ke waktu. Terutama sekali, mitos mampu membantu budaya mengakomodasi dan menegosiasikan perubahan dengan cara yang produktif.

Ahli teori sastra Prancis, Roland Barthes, berkata mengenai hubungan mitos dan sejarah: 

"Apa yang diberikan dunia kepada mitos adalah sebuah kenyataan sejarah, ini semua dengan cukup lama diolah oleh manusia; dan sebagai imbalannya, mitos mengembalikannya dengan gambaran alami dari kenyataan ini." 

Begitu juga mitos Prometheus terus menerus dikisahkan dalam dalam berbagai konteks sejarah yang sangat berbeda – Yunani kuno dan klasik, tahun-tahun setelah Revolusi Prancis, dan Inggris akhir abad kedua puluh.

Setiap kali mitos Prometheus disajikan, seperti yang dikatakan Barthes, kenyataan sejarah yang spesifik memberikannya jenis realitas yang sangat berbeda.

Namun, pada akhirnya, kekuatan mitos yang sebenarnya adalah membuat konteks sejarah tertentu itu tampak alami di setiap saat.

Prometheus si Penipu

Prometheus dengan kecerdikan dan tipu muslihatnya memiliki banyak kesamaan dengan tokoh-tokoh penipu di hampir setiap mitologi dan folklor masyarakat - kadang-kadang sebagai dewa, kadang-kadang sebagai binatang. 

Para penipu ini adalah tokoh ambigu yang aneh-aneh, mereka biasanya dapat menjelma dalam berbagai wujud, dan sering kali menjadi penghubung antara dunia ilahi dan dunia manusia.

Baca Juga: Tipu Daya Prometheus dan Ritual Pengorbanan Sapi dari Yunani Kuno

Dalam sebuah esai dari Indian North America, Mac Linscott Ricketts mendefinisikan mereka sebagai sosok yang mengubah dunia mitos yang kacau menjadi ciptaan yang teratur seperti sekarang ini.

"Ia adalah pembunuh monster, pencuri cahaya matahari, air, dan sejenisnya untuk kepentingan manusia; ia adalah guru keterampilan dan adat kebudayaan; tetapi ia juga seorang pengganggu yang sangat rakus, sombong, penipu yang licik terhadap teman maupun musuh; pengembara yang gelisah di muka bumi dan pengacau yang seringkali menjadi korban dari tipuannya sendiri dan kecerobohannya," ungkapnya.

Dua tokoh penipu yang paling terkenal adalah Coyote dari Indian Amerika dan Anansi manusia laba-laba dari Afrika Barat. Mereka menghibur orang-orang dengan jenakanya, tapi mereka juga sangat kurang ajar mempertanyakan hal-hal substansial dalam kehidupan sehari-hari yang remeh.

Mereka menyampaikan kebenaran menggunakan tipu muslihat, karenanya omongan yang mereka sampaikan lebih dari sekadar hiburan, namun tertanam dalam menjadi bagian penting pengalaman si penutur.   

Tokoh penipu seringkali diceritakan terlibat pencurian dan aksi tipu daya dibanding hal-hal berbau kekerasan, dan Prometheus memerankannya dengan baik dalam cerita Hesiod.

Norman O. Brown telah menunjukkan bahwa bahasa Yunani yang biasanya diterjemahkan sebagai 'mencuri' (kleptein) sebenarnya berarti menghapus secara rahasia atau menipu, dan Prometheus menggabungkan keduanya saat mencuri api suci dari surga dengan menyembunyikannya dalam tangkai adas.

Meskipun cerdik dan pandai, para penipu ini sering kali digambarkan tak becus mengurus kekacauannya sendiri. Kecerdikan dan kebodohan berjalan beriringan, masing-masing menerangi yang lain, dan Carl Kerenyi telah mengamati bahwa sifat positif dan negatif ini diekspresikan dalam tradisi Yunani melalui sepasang saudara, Prometheus dan Epimetheus: 

"Setiap kali Prometheus berhasil membuat penemuan, segera penderitaan juga melanda umat manusia. Tidak lama setelah ia menipu Zeus dalam pengorbanan, api suci dicabut dari manusia. Setelah dia dapat mencuri api itu kembali, Prometheus dikenai hukuman yang penuh penderitaan."

"Hanya tersisa Epimetheus yang berarti kecerdikan diganti oleh kebodohan. Kesamaan di anatra mereka berdua hanyalah fakta bahwa kakak beradik ini sepasang saudara. Bisa dikatakan dalam diri mereka terpecah menjadi dualitas: Prometheus yang berpikir terlebih dahulu dan Epimetheus yang berpikir belakangan. Kecerobohannya membawa penderitaan tak terbatas pada umat manusia melalui sosok bikinan para dewa: Pandora."  

Meskipun telah berusaha dengan segala upaya dan kecerdasannya, Prometheus dalam cerita Hesiod tidak benar-benar membantu umat manusia melalui tipu dayanya terhadap Zeus (persembahan, api).

Bukan hanya dirinya yang dihukum atas pencurian itu, tetapi Prometheus secara langsung bertanggung jawab atas penderitaan dan terpisahnya manusia dari kehidupan surgawi. 

Dalam hal ini, cerita tentang Prometheus, seperti tokoh jahat lainnya, menetapkan dunia manusia "sebagaimana adanya" - bukan seperti yang seharusnya. Dan ia melakukannya, tidak sesuai dengan rencana para dewa. Tokoh jahat sering muncul sebagai tokoh transformasional; mereka berjuang demi manusia untuk menjadikan dunia lebih baik.

Kisah-kisah mengenai para penipu ini memberi wawasan tatanan sosial suatu budaya dengan menyoroti makna dan pentingnya hal-hal yang berada di luar tatanan tersebut.

Mereka cenderung menantang norma sosial dan batasan-batasan, omongan mereka juga mampu membuka membuka pemahaman tentang bagaimana sebuah budaya memandang mereka yang menantang atau memperlembut perbedaan-perbedaan tersebut.

Bergerak leluasa melintasi batas-batas, mereka sebenarnya mewakili sekaligus merayakan kepribadian manusia sendiri dalam keadaan ambang. 

Sebaiknya, kompleksitas para tokoh penipu ini dipahami dalam konteks budayanya sendiri. Misalnya Prometheus yang menggoncangkan dunia para dewa dan manusia, tindakannya meruntuhkan sekaligus memperkuat aturan kebiasaan budaya Yunani kuno.

Kisah Prometheus memperlihatkan batas-batas penting dalam budaya Yunani kuno - perbatasan antara manusia dan dewa, antara manusia dan binatang, antara pria dan wanita.

Mitologi Yunani Kuno tersebut juga menggambarkan kehidupan Yunani pada saat itu perihal pengorbanan, pernikahan, pertanian. Akhirnya, fokus cerita mengenai tipu muslihat mewakili sifat ambigu umat manusia sendiri seperti yang dipahami oleh orang Yunani.