Tiongkok Denda Perusak Lingkungan dengan Kredit 'Blue Carbon', Efektifkah?

By Ade S, Jumat, 6 September 2024 | 08:03 WIB
China coba inovasi baru: denda perusak lingkungan dengan kredit 'blue carbon'. Efektifkah? Cari tahu pro dan kontra pendekatan unik ini. (Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id—Konsep "ekonomi biru" semakin populer dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, bagaimana jika ekonomi biru tidak hanya sekadar potensi keuntungan, tetapi juga menjadi alat untuk menegakkan hukum lingkungan?

Di Tiongkok, pengadilan mulai menggunakan "kredit karbon biru" sebagai bentuk denda bagi pelaku kejahatan lingkungan.

Pendekatan ini menawarkan perspektif baru dalam penanganan kasus-kasus kerusakan lingkungan.

Namun, apakah sistem ini sudah cukup matang dan adil? Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek dari inovasi terbaru dalam sistem peradilan lingkungan Tiongkok.

Kredit karbon biru di pengadilan Tiongkok 

Untuk pertama kalinya, pengadilan di Xiangshan, Zhejiang, Tiongkok, mengambil langkah inovatif dalam menegakkan hukum lingkungan. Dua nelayan yang tertangkap tangan melakukan penangkapan ikan ilegal selama musim tertutup tidak hanya harus merelakan alat tangkap mereka dan uang hasil kejahatan, tetapi juga diharuskan membayar denda yang cukup besar.

Uniknya, sebagian dari denda tersebut dibayarkan dalam bentuk "kredit karbon biru". Dari total CNY 56.000 (ASD 7.700) kompensasi atas kerusakan fungsi ekosistem dan stok ikan yang harus dibayar, sekitar CNY 19.000 (ASD 2.600) digunakan dalam bentuk "kredit karbon biru" yang mendukung operasi rumput laut komersial.

Apa itu kredit karbon biru? Sederhananya, ini adalah semacam mata uang yang mewakili jumlah karbon dioksida yang berhasil disimpan di ekosistem laut seperti lamun dan mangrove.

Setiap kredit setara dengan satu ton karbon dioksida yang berhasil ditarik dari atmosfer. Dalam kasus ini, terdakwa memilih untuk mendukung budidaya rumput laut sebagai bentuk kompensasi atas kerusakan ekosistem yang mereka sebabkan.

Penggunaan kredit karbon biru dalam kasus ini bukan tanpa alasan. Tiongkok, sebagai negara dengan garis pantai yang panjang, memiliki kekayaan ekosistem laut yang sangat besar. "Ekosistem ini berperan penting dalam menyerap karbon dioksida dan mengurangi dampak perubahan iklim," papar Xia Zhijian di laman dialogue.earth.

Baca Juga: Mengenal (Ulang) Blue Carbon, Benteng Tersembunyi Melawan Perubahan Iklim

Dengan mengharuskan para pelaku kejahatan lingkungan untuk membayar dalam bentuk kredit karbon biru, pengadilan tidak hanya memberikan sanksi yang setimpal, tetapi juga mendorong upaya pelestarian ekosistem laut.

Keputusan pengadilan Xiangshan ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam penerapan konsep keadilan lingkungan di Tiongkok. Sejak tahun 2020, ketika Tiongkok berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060, penggunaan kredit karbon dalam kasus lingkungan semakin sering ditemui.

Namun, penggunaan kredit karbon biru untuk kompensasi kerusakan ekosistem laut masih tergolong baru dan unik sekaligus penuh tantangan.

Salah satunya adalah kurangnya kerangka hukum yang jelas mengenai penggunaan kredit karbon biru dalam konteks peradilan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa konsep ini dapat disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak sesuai.

Kontroversi karbon biru

Tiongkok, sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, memang tengah gencar mengeksplorasi potensi karbon biru. Negara Tirai Bambu melihat potensi besar karbon biru dalam upaya mencapai target netralitas karbon.

Pada tahun 2021, Tiongkok memulai proyek perdagangan karbon biru pertamanya di Zhanjiang, Guangdong. Langkah ini kemudian diikuti oleh beberapa kota lainnya, menunjukkan komitmen serius Beijing dalam mengembangkan pasar karbon biru. Namun, di balik potensi besar ini, tersimpan pula sejumlah kontroversi.

Salah satu isu utama yang menjadi perdebatan adalah metodologi penghitungan karbon biru. Kementerian Sumber Daya Alam Tiongkok telah merilis metodologi yang cukup komprehensif.

Namun, metodologi ini memicu perdebatan di kalangan ilmuwan internasional karena memasukkan kerang dan kelp dalam daftar organisme yang mampu menyerap karbon.

Kerang memang mampu menyerap karbon dioksida saat membentuk cangkang. Namun, proses metabolisme kerang juga melepaskan karbon kembali ke atmosfer.

Hal inilah yang memicu perdebatan sengit di kalangan ahli. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa budidaya kerang justru dapat meningkatkan emisi karbon.

Baca Juga: Jepang Bakal Andalkan 'Blue Carbon' untuk Kurangi Emisi, Sekaligus Restorasi Pesisirnya

Verra, salah satu lembaga verifikasi proyek karbon terbesar di dunia, juga memiliki pandangan yang berbeda. Verra belum memasukkan kerang dalam metodologi penghitungan karbon birunya karena masih banyak ketidakpastian mengenai kemampuan kerang dalam menyimpan karbon secara jangka panjang.

"Kami belum sepenuhnya mengecualikan kelp dari pertimbangan," kata Erdem Koch, manajer hubungan media senior Verra.

“Namun, hingga saat ini, masih banyak ketidakpastian dari komunitas ilmiah tentang keberlanjutan jangka panjang karbon kelp. Penelitian tampaknya menunjukkan bahwa kelp memiliki tingkat pergantian yang tinggi, dan kami tidak mungkin mengkreditkan aktivitas kelp sampai ada lebih banyak kepastian tentang manfaat karbon bersihnya."

Bukan 'free pass' untuk lolos dari jerat hukum

Sejak Tiongkok memperkenalkan standar akuntansi untuk karbon biru, sebuah tren menarik mulai terlihat di pengadilan-pengadilan di negara tersebut. Pelaku kejahatan lingkungan, terutama yang terkait dengan kerusakan ekosistem laut, kini sering dihadapkan pada opsi baru: membeli kredit karbon biru.

Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa jumlah kasus hukum yang melibatkan karbon biru di Tiongkok mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2022.

Para pelaku kejahatan lingkungan seperti penangkapan ikan ilegal dan perusakan habitat laut, kini sering diharuskan untuk membeli kredit karbon biru sebagai bagian dari hukuman mereka.

Menariknya, dalam beberapa kasus, jenis karbon biru yang digunakan sebagai kompensasi cukup beragam. Mulai dari penanaman mangrove hingga budidaya kerang dan rumput laut. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam penerapan konsep karbon biru di pengadilan.

Namun, perlu ditekankan bahwa pembelian kredit karbon biru bukanlah "free pass" bagi para pelaku kejahatan lingkungan. Hukuman utama seperti denda dan bahkan penjara tetap berlaku. Pembelian kredit karbon biru lebih berfungsi sebagai bentuk kompensasi tambahan untuk kerusakan lingkungan yang telah dilakukan.

Profesor Liu Chao adalah dekan hukum di Universitas Huaqiao. Dalam sebuah makalah akademis, ia mengatakan bahwa menjatuhkan hukuman kepada pelaku untuk membeli kredit karbon laut sebagai bentuk perbaikan alternatif adalah pendekatan inovatif dalam wewenang diskresi pengadilan.

Cao Caidan adalah mitra di Yuanda Tiongkok Law Offices di Shanghai. Dia mengatakan kepada Dialogue Earth bahwa mengeksplorasi penggunaan pembelian kredit karbon, alih-alih hanya menjatuhkan denda pidana, merupakan peningkatan dalam praktik peradilan.

Baca Juga: Kunci Pengurangan Karbon Pesisir Ada di Tangan Masyarakat dan Mangrove

Karbon ganda dan ekonomi lokal

Minat yang semakin besar terhadap karbon biru dalam tingkat lokal sistem hukum Tiongkok dalam dua tahun terakhir terkait erat dengan fokus pemerintah pusat pada tujuan karbon gandanya.

Peraturan hukum yang relevan telah masuk agenda sejak tujuan tersebut diumumkan. Dalam dokumen "Pendapat" yang dirilis pada tahun 2021, komite pusat Partai dan Dewan Negara secara eksplisit mengacu pada perlunya undang-undang dan peraturan yang ditingkatkan terkait dengan tujuan karbon ganda.

Pada awal tahun 2023, pengadilan tertinggi Tiongkok mengeluarkan instrumen peraturan pertamanya untuk tujuan tersebut dan menerbitkan informasi tentang kasus-kasus khas. Ini termasuk dua kasus penebangan ilegal, di mana para pelakunya dijatuhi hukuman penanaman restoratif dan pembelian kredit karbon.

Dalam konteks inilah pengadilan menggunakan pembelian karbon biru sebagai alat untuk melindungi stok ikan dan lingkungan pesisir, sama seperti kredit karbon hijau digunakan untuk lingkungan lainnya. Seperti yang ditunjukkan oleh kasus-kasus keadilan karbon biru Tiongkok baru-baru ini, Fujian telah sangat aktif dalam hal ini.

Elemen lain adalah pembangunan ekonomi lokal yang implisit dalam penggunaan kredit karbon biru; budidaya laut, yang memainkan peran besar dalam mata pencaharian masyarakat nelayan pesisir, menyumbang sebagian besar karbon biru yang dibeli dalam kasus-kasus baru-baru ini.

Kantor kejaksaan kabupaten Dongshan memilih desa Xiaxiken sebagai "situs demonstrasi keadilan karbon biru untuk mendukung revitalisasi pedesaan", menurut laporan Fujian Daily.

Sebagai bagian dari kota Zhangzhou, desa ini merupakan lokasi utama untuk membudidayakan kerang dan kelp, termasuk rumput laut merah, tiram, dan abalone, yang semuanya dianggap sebagai sumber daya karbon biru di Tiongkok.

Pada peluncuran situs demonstrasi ini pada Juni 2023, dua orang yang dihukum karena membahayakan lingkungan laut menandatangani perjanjian kredit karbon dengan Xiaxiken. Berdasarkan perjanjian tersebut, para pelaku membayar Xiaxikeng CNY 105.000 (ASD 14.500) untuk 1.860 ton kredit karbon laut.

Surat kabar tersebut menggambarkan kasus tersebut sebagai "penerapan pertama keadilan karbon biru untuk mendukung revitalisasi pedesaan" di Zhangzhou.

Restorasi langsung vs. kredit karbon

Dalam upaya memperbaiki kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia, seringkali muncul pertanyaan: metode mana yang lebih efektif? Apakah langsung memperbaiki kerusakan yang ada, atau cukup dengan membayar kompensasi dalam bentuk kredit karbon?

Pertanyaan ini menjadi semakin relevan di Tiongkok, di mana penggunaan kredit karbon sebagai bentuk hukuman bagi pelaku kejahatan lingkungan semakin populer.

Regulasi terbaru di Tiongkok tahun 2022 tentang kompensasi kerusakan lingkungan secara tegas menempatkan restorasi langsung sebagai prioritas utama dalam upaya memperbaiki kerusakan lingkungan.

Artinya, sebelum beralih ke opsi lain seperti membeli kredit karbon, upaya maksimal harus dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan ke keadaan semula. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan restoratif, di mana pelaku kejahatan diharuskan memperbaiki kerusakan yang telah mereka timbulkan.

Urutan prioritas ini perlu dijelaskan sejak awal, catatan Zheng Ping, seorang dosen di Institut Teknik Shenyang. Zheng mengatakan restorasi langsung sangat penting dalam kasus kerusakan lingkungan yang serius.

Perdagangan karbon hanya dapat digunakan ketika restorasi langsung tidak layak atau tidak dapat memberikan perbaikan penuh, dan ketika alternatif lain tidak praktis. Zheng juga merekomendasikan "memperbaiki cara pengadilan rakyat memberikan arahan saat menerapkan keadilan karbon biru, dalam semangat keadilan restoratif."

Cao Caidan mengatakan: “Membeli kredit karbon pada dasarnya adalah cara alternatif untuk menerima tanggung jawab atas kerusakan lingkungan. Dalam menerapkan keadilan, tanggung jawab untuk memulihkan ekosistem dan lingkungan diprioritaskan."

Selain itu, Cao Caidan juga menegaskan bahwa hakim harus terlebih dahulu melihat apakah layak untuk memperbaiki kerusakan daripada mengubah tanggung jawab menjadi angka kompensasi. Kerusakan seperti hilangnya fungsi ekosistem tidak selalu dapat dikuantifikasi secara moneter, sehingga prioritasnya harus mencoba mengembalikan lingkungan.

Maka dari itu, masih menurut Cao Caidan, "Hakim hanya boleh mempertimbangkan pembelian kredit karbon ketika pelaku telah kehabisan pendekatan lain dan restorasi tidak mungkin dilakukan ... Ini harus menjadi upaya terakhir."

Hukum lingkungan memiliki prinsip dasar, yaitu memberikan prioritas pada perlindungan lingkungan. Namun, dalam praktiknya, pengadilan seringkali lebih fokus pada aspek pidana dari suatu kasus, seperti penahanan atau denda. Padahal, aspek lingkungan yang paling penting adalah bagaimana memulihkan ekosistem yang rusak.

Saat ini, masih belum ada aturan yang sangat jelas mengenai penggunaan kredit karbon biru dalam sistem peradilan. Akibatnya, setiap pengadilan memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan dapat menghambat pengembangan sistem perdagangan karbon biru yang efektif.

Untuk mengatasi masalah ini, para ahli hukum menyarankan agar pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih jelas mengenai penggunaan kredit karbon biru.

Peraturan ini akan memberikan panduan bagi pengadilan dalam menerapkan konsep karbon biru dalam praktik. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan metodologi yang lebih akurat dalam menghitung nilai kredit karbon biru.