Bagaimana Kopi Bisa Terdampak oleh Perubahan Iklim? Adakah Solusinya?

By Ade S, Selasa, 24 September 2024 | 10:03 WIB
Perubahan iklim mengancam produksi kopi global. Temukan fakta mengejutkan tentang dampaknya dan solusi inovatif untuk masa depan kopi. (freepik.com/author/vecstock)

Nationalgeographic.co.id—Bayangkan pagi Anda tanpa secangkir kopi hangat yang menenangkan. Sulit, bukan? Namun, perubahan iklim mengancam kenikmatan sederhana ini.

Dari perkebunan di dataran tinggi yang diselimuti kabut hingga cangkir di tangan Anda, kopi rentan terhadap dampak buruk pemanasan global. Gelombang panas yang ekstrem, kekeringan berkepanjangan, dan perubahan pola curah hujan yang tak menentu menjadi ancaman nyata bagi para petani kopi.

Pohon-pohon kopi yang biasanya tumbuh subur di iklim tertentu kini kesulitan beradaptasi dengan perubahan suhu yang drastis. Hama dan penyakit tanaman pun semakin mudah menyebar, merusak hasil panen dan mengancam mata pencaharian jutaan petani.

Tidak hanya itu, perubahan iklim juga memengaruhi cita rasa kopi yang kita nikmati. Kenaikan suhu dapat menyebabkan biji kopi matang lebih cepat dan menghasilkan rasa yang kurang kompleks.

Kekurangan air akibat kekeringan dapat membuat biji kopi menjadi pahit dan asam. Perubahan komposisi tanah akibat erosi juga dapat mengurangi kandungan nutrisi yang dibutuhkan tanaman kopi untuk tumbuh optimal.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan minuman favorit jutaan orang ini? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa generasi mendatang masih bisa menikmati secangkir kopi di pagi hari? Temukan jawabannya dalam artikel ini.

Peningkatan suhu yang membuat pohon kopi merana

Dalam suatu wawancara para ahli kopi, Sarada Krishnan dan Hanna Neuschwander, memberikan pandangan yang mengkhawatirkan. Mereka menjelaskan bahwa perubahan iklim berdampak sangat buruk pada produksi kopi.

Krishnan, seorang ahli tanaman dari Global Crop Diversity Trust, mengungkapkan bahwa kopi Arabika, jenis kopi yang paling banyak kita minum (menyumbang sekitar 55% dari kopi global pada tahun 2022-2023), sangat rentan terhadap perubahan iklim.

"Kopi Arabika sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan kekeringan," katanya, seperti dilansir Anadolu. Karena perubahan iklim, tanaman kopi Arabika semakin sulit tumbuh di banyak daerah.

Peningkatan suhu global tidak hanya membuat kita kepanasan, tapi juga berdampak buruk pada tanaman kopi. Krishnan menjelaskan bahwa akibat cuaca yang semakin ekstrem, tanaman kopi menjadi kurang produktif, menghasilkan biji kopi yang berkualitas rendah, dan lebih rentan diserang hama penyakit.

Baca Juga: Pasangan Kopi yang Salah, saat Kenikmatan Malah Menjelma jadi Bencana

Neuschwander memberikan gambaran yang lebih luas. Ia mengatakan bahwa perubahan iklim adalah ancaman terbesar bagi masa depan kopi.

"Laporan terbaru menunjukkan bahwa jika permintaan kopi terus meningkat seperti garis historis dan dampak yang diharapkan dari perubahan iklim terjadi — misalnya, penurunan produktivitas dan penurunan luas area yang cocok untuk penanaman kopi — kita akan menghadapi kekurangan pasokan kopi yang sedang hingga parah dalam waktu kurang dari dua dekade," ujarnya.

Pelestarian spesies kopi liar

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), sebagian besar biji kopi yang kita nikmati berasal dari negara-negara di bagian selatan bumi, seperti Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Sementara itu, mereka yang tinggal di belahan bumi utara seperti Uni Eropa dan Amerika Seriakt adalah konsumen kopi terbesar.

FAO juga menekankan adanya peningkatan konsumsi di negara-negara berkembang dan minat yang lebih besar terhadap kopi spesial serta inovasi produk di negara-negara maju saat ini mendorong pertumbuhan pasar yang berkelanjutan.

Sayangnya, wilayah penanaman kopi juga tidak terhindar dari dampak perubahan iklim yang meluas, seperti yang diungkapkan oleh Krishnan. "Perubahan iklim telah memengaruhi hampir semua wilayah penanaman kopi," ujarnya.

"Dampak spesifik dari perubahan iklim memang akan berbeda-beda di setiap negara. Beberapa wilayah akan mengalami peningkatan suhu, sementara yang lain menjadi lebih kering, lebih dingin, atau lebih lembab," lanjut Neuschwander.

"Namun, nyaris semua daerah penghasil kopi di dunia telah menghadapi ekstrem cuaca baru yang menimbulkan ancaman serius bagi tanaman dan kehidupan manusia."

Konsentrasi gas rumah kaca telah mencapai level tertinggi dalam dua juta tahun dan masih terus bertambah, yang mengakibatkan pemanasan planet sekitar 1,1°C sejak abad ke-19, sesuai dengan data PBB. Dekade terakhir ini merupakan yang "paling panas dalam catatan sejarah."

Krishnan dan Neuschwander menguraikan tantangan khusus yang dihadapi oleh budidaya kopi akibat kekeringan dan peningkatan suhu, termasuk pematangan buah yang terlalu cepat, hasil panen yang tidak berkualitas, dan penurunan kompleksitas rasa.

Dalam menghadapi tantangan ini, Krishnan menyarankan pelestarian spesies kopi liar, dengan menekankan ketahanan mereka terhadap berbagai kondisi ekologis. "Selain dua spesies kopi yang telah dibudidayakan, yaitu kopi Arabika — Coffea arabica — dan kopi Robusta — Coffea canephora, ada banyak spesies kopi liar yang ada."

Baca Juga: Dari Perbudakan hingga Perang, Begini Cara Kopi Mengubah Sejarah Dunia

Beliau menambahkan bahwa penting bagi industri kopi untuk berinvestasi dalam perlindungan sumber daya genetik untuk memastikan ketahanan iklim dan keberlanjutan industri.

Neuschwander pun menjabarkan perubahan penting yang diperlukan untuk menjadikan kopi sebagai komoditas yang berkelanjutan di tengah meningkatnya krisis iklim.

"Para petani memerlukan akses ke pembiayaan, asuransi cuaca, bibit berkualitas yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, serta harga yang lebih adil. Tantangan ini tidak terjadi secara tiba-tiba — mereka merupakan akibat dari kurangnya investasi dalam industri kopi selama bertahun-tahun," papar Neuschwander.

Konsumen perlu turut bergerak

Krishnan dan Neuschwander menekankan peran konsumen dalam membentuk industri kopi yang berkelanjutan.

Krishnan mengajak konsumen untuk mendukung para pemanggang dan pemasok yang menjalin hubungan langsung dengan petani, dengan menyoroti pentingnya peran petani kecil dalam industri ini.

"Konsumen bisa memilih pemanggang dan pemasok yang membeli kopi secara langsung dari petani dan menjaga hubungan erat dengan mereka," Krishnan memberi saran.

"Sejumlah petani kecil beralih dari bertani kopi ke tanaman lain, yang bisa berujung pada kekurangan pasokan kopi di masa depan. Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa petani mendapatkan dukungan berupa alat yang memadai untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dan memperoleh penghasilan yang layak," lanjutnya.

Neuschwander menekankan pentingnya kesediaan konsumen untuk membayar lebih demi kopi mereka, agar petani dapat mengatasi perubahan iklim dan mendapatkan penghasilan yang memadai.

"Mungkin terdengar klise, namun membayar lebih untuk kopi dan tidak hanya memilih yang paling murah memiliki arti yang signifikan," jelas Neuschwander.

"Bagaimana mungkin petani memikirkan menanam pohon peneduh jika mereka tidak mampu menyediakan kebutuhan keluarga? Jika pemanggang kopi bisa menjelaskan tentang asal-usul kopi mereka, daerah atau bahkan nama perkebunan tempat mereka membeli, itu menandakan bahwa uang ekstra yang Anda bayar untuk kopi berpotensi kembali kepada petani—walaupun tidak dijamin."

Baca Juga: Menguarnya Aroma Kopi di antara Tengik Getah Karet Desa Prangat Baru

Departemen Pertanian AS melalui Layanan Pertanian Luar Negeri memprediksi produksi kopi global akan mencapai 171,4 juta kantong (yang masing-masing memiliki berat 60 kilogram) pada tahun 2023-2024.

Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 6,9 juta kantong dari tahun sebelumnya, sementara konsumsi global diperkirakan meningkat menjadi rekor tertinggi, yaitu 169,5 juta kantong.

Stok akhir diperkirakan akan terus menurun hingga mencapai titik terendah dalam 12 tahun, yakni 26,5 juta kantong, menurut lembaga tersebut.

India memberi titik cerah

Di tengah tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak, India muncul sebagai contoh inspiratif dalam dunia kopi. Hanna Neuschwander, seorang ahli kopi, menyoroti bagaimana petani kopi di India telah mengembangkan cara-cara cerdas untuk beradaptasi dengan kondisi yang semakin sulit.

"Petani kopi India sangat inovatif," ujar Neuschwander. Mereka menerapkan teknik pertanian yang disebut agroforestri, yaitu menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan. Misalnya, mereka menanam pohon kopi bersamaan dengan tanaman rempah-rempah yang bernilai tinggi dan jenis tanaman lainnya.

Kenapa metode ini penting? Dengan menanam berbagai jenis tanaman, tanah menjadi lebih subur, air terjaga dengan baik, dan tanaman kopi pun lebih tahan terhadap hama dan penyakit. Selain itu, petani juga mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil panen tanaman lainnya.

"Karena sering menghadapi serangan penyakit, petani kopi India terpaksa terus berinovasi," lanjut Neuschwander. "Mereka harus pintar-pintar memilih jenis tanaman yang cocok ditanam bersama kopi. Meskipun kopi India belum sepopuler kopi dari negara lain, tapi upaya yang dilakukan petani di sana sangat patut diapresiasi."

Hadirnya kopi tanpa biji

Di tengah krisis iklim yang semakin terasa, muncul inovasi baru di dunia kopi. Salah satunya adalah Atomo, sebuah perusahaan asal Seattle yang menawarkan cara baru untuk menikmati secangkir kopi.

Andy Kleitsch, pendiri Atomo, menceritakan bahwa ia terinspirasi untuk membuat kopi yang lebih ramah lingkungan. "Saya melihat bahwa kopi tradisional menghadapi banyak masalah, mulai dari kerusakan lingkungan hingga dampak perubahan iklim," ujar Kleitsch.

Atomo berhasil menciptakan espresso tanpa biji pertama di dunia. Kopi buatan Atomo ini tidak menggunakan biji kopi sama sekali, melainkan bahan-bahan alami lainnya yang kaya akan nutrisi dan mudah didapat. Perusahaan ini berhasil mengidentifikasi 28 senyawa yang memberikan rasa khas kopi, lalu mereplikasinya menggunakan bahan-bahan alami.

"Dengan memanfaatkan senyawa kopi dari bahan daur ulang dan sumber alami yang lebih berkelanjutan, kami menghindari dampak buruk yang biasanya ditimbulkan oleh kopi tradisional terhadap planet. Atomo tidak berkontribusi pada deforestasi, dan bahan-bahan kami tidak memengaruhi hutan hujan," ungkap Kleitsch.

Kleitsch yakin bahwa semakin banyak orang yang akan tertarik dengan kopi tanpa biji. Dirinya meyakini bahwa seiring berjalannya waktu, orang-orang akan semakin sadar akan dampak lingkungan dari kebiasaan minum kopi mereka. Kopi tanpa biji bisa menjadi pilihan yang lebih baik bagi mereka yang ingin menikmati kopi sambil tetap peduli pada lingkungan.