Nationalgeographic.co.id—Kita seringkali diajarkan sebuah kebenaran yang seolah tak terbantahkan: pada saat ekuinoks, yakni peristiwa astronomi ketika matahari melintasi garis khatulistiwa, durasi siang dan malam di seluruh penjuru Bumi akan sama persis.
Pemahaman ini telah tertanam kuat dalam benak kita, seakan menjadi sebuah aksioma yang tak perlu dipertanyakan lagi.
Namun, jika kita merenung lebih dalam, apakah kita pernah merasa ada sedikit keraguan yang menggelitik? Apakah mungkin terdapat nuansa yang tersembunyi di balik fenomena alam yang begitu sering kita dengar ini? Temukan jawabannya dalam artikel ini.
Durasi siang dan malam yang sama?
Hari ini, 23 September 2024, kita memasuki babak baru dalam perputaran musim.
Di Belahan Bumi Utara, dedaunan mulai berubah warna dan udara menjadi lebih sejuk, menandai dimulainya musim gugur secara astronomis. Sementara itu, di Belahan Bumi Selatan, bunga-bunga bermekaran dan hari-hari menjadi lebih panjang, menyambut datangnya musim semi.
Peristiwa pergantian musim ini terjadi beriringan dengan fenomena alam yang menarik, yakni equinox. Kata "equinox" sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti "malam yang sama". Pada saat ekuinoks, matahari akan berada tepat di atas garis khatulistiwa Bumi. Akibatnya, panjang siang dan malam di seluruh dunia akan hampir sama.
Tahun ini, pada tanggal 23 September, titik di mana matahari bersinar tepat di atas kepala saat tengah hari berada di Samudra Atlantik, sekitar 743 kilometer di sebelah selatan-barat Monrovia, Liberia. Fenomena ini juga terjadi pada tanggal 21 Maret lalu, menandai pergantian musim di belahan bumi yang berlawanan.
"Meskipun disebut 'malam yang sama', kenyataannya panjang siang dan malam tidak selalu persis sama di seluruh tempat pada saat ekuinoks," ujar Joe Rao di laman Space.com.
Definisi yang tak sesuai kenyataan
Definisi ekuinokssebagai waktu ketika siang dan malam memiliki panjang yang sama adalah penyederhanaan yang umum. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Baca Juga: Equinox Jelas Punya Dampak, Apakah Seseram di Pesan Berantai?
Jika kita bayangkan Bumi sebagai bola sempurna tanpa atmosfer dan Matahari sebagai titik cahaya, maka pada saat ekuinoks, Matahari memang akan menghabiskan waktu yang sama di atas dan di bawah cakrawala.
Namun, Bumi kita memiliki atmosfer. Atmosfer ini berperan seperti lensa raksasa yang membiaskan cahaya Matahari. Akibatnya, kita melihat Matahari seolah-olah sedikit lebih tinggi dari posisi sebenarnya, terutama saat Matahari terbit atau terbenam.
Fenomena pembiasan atmosfer ini menciptakan ilusi optik yang menarik. "Saat kita melihat Matahari yang seolah-olah baru saja menyentuh cakrawala, sebenarnya Matahari sudah sepenuhnya berada di bawah cakrawala," ungkap Rao.
Jadi, saat kita mengukur panjang siang, kita sebenarnya sedang mengukur waktu di mana sebagian dari Matahari masih terlihat, meskipun seluruh bagiannya sudah berada di bawah cakrawala.
Faktor lain yang membuat siang lebih panjang daripada malam adalah definisi kita tentang matahari terbit dan terbenam. Kita biasanya menganggap matahari terbit saat tepi atas matahari pertama kali terlihat di atas cakrawala, dan matahari terbenam saat tepi atas matahari terakhir kali terlihat di atas cakrawala.
Namun, atmosfer Bumi memiliki kemampuan untuk membiaskan cahaya matahari. Pembiasan ini membuat cahaya matahari membengkok saat memasuki atmosfer, sehingga kita melihat matahari seolah-olah berada pada posisi yang sedikit lebih tinggi dari posisi sebenarnya.
Atmosfer kita, terutama lapisan bawahnya yang padat, memiliki efek yang sangat signifikan terhadap pembiasan cahaya matahari. Ketika matahari berada dekat dengan cakrawala, pembiasan atmosfer menjadi sangat kuat.
Akibatnya, kita dapat melihat matahari meskipun sebagian besar bagiannya sudah berada di bawah cakrawala. "Fenomena inilah yang membuat matahari terbit tampak lebih awal dan matahari terbenam tampak lebih lambat dari yang seharusnya," papar Rao.
Sebagai contoh, seperti dilansir BMKG, di kota Jakarta, pada hari ekuinoks, matahari terbit sekitar pukul 05:42 pagi dan terbenam sekitar pukul 17:48. Artinya, panjang siang hari di kota tersebut adalah 12 jam 6 menit, bukan 12 jam seperti yang kita harapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh pembiasan atmosfer cukup signifikan untuk menambah durasi siang hari.
Fenomena pembiasan atmosfer juga sangat terlihat di daerah kutub. Saat ekuinoks, matahari seharusnya sudah sepenuhnya menghilang di bawah cakrawala di kutub.
Namun, karena pembiasan atmosfer, kita masih dapat melihat sebagian cakram matahari berada di atas cakrawala selama beberapa waktu. Bahkan, di beberapa daerah kutub, matahari dapat terlihat mengambang di atas cakrawala selama beberapa hari setelah ekuinoks.
Baca Juga: Menelusuri Asal Usul Penggunaan Simbol Kelinci di Hari Raya Paskah
Selain membuat matahari terbit lebih awal dan terbenam lebih lambat, pembiasan atmosfer juga menyebabkan bentuk matahari tampak terdistorsi saat berada dekat cakrawala. "Bagian bawah matahari akan terangkat lebih tinggi daripada bagian atasnya, sehingga matahari tampak seperti oval," jelas Rao.
Mitos enam bulan gelap di Kutub Utara
Kita sering mendengar mitos bahwa di wilayah Arktik, khususnya di sekitar Kutub Utara, mengalami enam bulan siang yang terang benderang dan enam bulan malam yang gelap gulita.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada beberapa faktor yang membuat durasi siang dan malam di wilayah kutub lebih kompleks dari yang kita bayangkan.
Salah satu faktor utama yang membuat mitos enam bulan gelap ini tidak sepenuhnya benar adalah adanya fenomena senja. Senja adalah periode peralihan antara siang dan malam, saat cahaya matahari masih menerangi langit meskipun matahari sudah terbenam atau belum terbit. Ada tiga jenis senja, yaitu:
* Senja sipil: Ini adalah periode ketika sebagian besar aktivitas luar ruangan masih dapat dilakukan tanpa bantuan cahaya buatan. Senja sipil berakhir ketika matahari berada sekitar 6 derajat di bawah cakrawala.
* Senja bahari: Pada saat senja bahari, cakrawala laut mulai sulit dibedakan. Kebanyakan orang menganggap malam telah tiba saat senja bahari berakhir. Senja bahari berakhir ketika matahari berada sekitar 12 derajat di bawah cakrawala.
* Senja astronomi: Ini adalah periode ketika langit benar-benar gelap dari cakrawala ke cakrawala. Senja astronomi berakhir ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah cakrawala.
Kembali ke mitos enam bulan gelap di Kutub Utara, kenyataannya adalah wilayah ini tidak mengalami kegelapan total selama enam bulan penuh. Meskipun matahari memang tidak terlihat selama sekitar enam bulan di Kutub Utara, namun selama periode tersebut, masih ada cahaya senja yang menerangi langit.
Sebagai contoh, di Kutub Utara, senja sipil berakhir sekitar awal November. Artinya, hingga awal November, masih ada cukup cahaya untuk melakukan aktivitas luar ruangan tanpa perlu menyalakan lampu. Bahkan, senja bahari baru berakhir pada akhir November, yang berarti cakrawala masih terlihat cukup jelas hingga akhir bulan tersebut.
"Jadi, durasi kegelapan total di Kutub Utara sebenarnya jauh lebih pendek daripada enam bulan, lebih tepatnya hanya 11 minggu," pungkas Rao.