Nationalgeographic.co.id—Sejarah mencatat Kekaisaran Ottoman memiliki hubungan dengan Asia Tenggara. Sejumlah kerajaan di Asia Tenggara juga mengajukan atau mengklaim sebagai vasal dari Kekaisaran Ottoman.
Secara historis, inisisatif kerajaan-kerajaan Asia Tenggara dalam membangun relasi politik dengan Ottoman sangat berarti, hingga menjadi satu subjek khusus dalam historiografi Islam di kawasan yang secara tradisional disebut “negeri di bawah angin”.
Salah satu hubungan yang tercatat yakni terjadi antara Filipina-Ottoman, mereka mengajukan petisi Muslim Zamboanga, satu dari kelompok muslim Moro yang mendiami wilayah yang kini menjadi bagian selatan Filipina.
Kasus ini menjadi potret proses hubungan Asia Tenggara dengan Ottoman, di mana permintaan petisi tidak dilakukan dalam kerangka gerakan anti-kolonial sepenuhnya, tapi lebih pada pembangunan keagamaan masyarakat, khususnya bidang pendidikan.
Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock dalam Ottoman-Southeast Asia Relations sebagaimana dikutip oleh Jajat Burhanudin menyebut ada satu hal yang menarik, pengajuan petisi itu tidak melibatkan ulama Mekkah, tapi melalui persahabatan seorang tokoh masyararat Zamboanga, Haji Abdullah Nuno, dengan John P. Finley, gubernur daerah tersebut.
"Keduanya bertemu dalam satu visi pembangunan muslim Zamboanga di bawah kolonisasi Amerika; mereka terlibat dalam sejumlah proyek untuk pemajuan pendidikan masyarakat, yang memang sangat tertinggal," tulis Jajat.
"Mereka juga berusaha meningkatan status sosial-ekonomi dengan menekankan anti perbudakan dan domimasi etnis Tionghoa, yang memang sudah berpengalaman dalam perdagangan," lanjutnya.
"Banyak pertemuan dengan muslim lokal diselenggarkan sebagai media sosialisasi dan penanaman nilai baru untuk kemajuan masyarakat Zamboanga."
Membawa semangat nilai progressif, dan diperkuat sikap Abdullah Nuno yang terbuka, Finley berpandangan bahwa imperialisme berikut kolonisasi bukan saja tidak bertentangan dengan penciptaan peradaban, tapi justru bergandengan dan bahkan bisa mewujud dalam wajah humanis yang beradab.
Dengan demikian, kelompok muslim ini berprinsip kemajuan dan hidup setia di bawah kolonisasi Amerika menjadi satu sistem sosial yang diimajinasikan.
Prinsip di atas terus dipegang Finley, bahkan ketika menanggalkan jabatannya sebagai gubernur dan pindah ke Washington. Justru, dia bisa memanfaatkan hubungan diplomatik Amerika dengan Ottoman untuk pengajuan petisi bagi muslim Moro di Filipina, yang dibuat oleh Abdullah Nuno.
Baca Juga: Perjalanan Sutomo yang 'Buang Muka' Terhadap Ottoman, Pilih Hiraukan Ataturk
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa petisi ke Ottoman memang sepenuhnya melibatkan Finley dengan jaringan Amerika-Ottoman yang dimilikinya.
Hal yang terpenting adalah gagasan bahwa pengajuan petisi diklaim sebagai hasil proses panjang keterlibatan Amerika, diwakili dirinya tentu saja, dalam proyek sosial-ekonomi sejak satu dekade sebelumnya.
Maka sejalan dengan harapan Abdullah Nuno untuk menghadirkan guru agama untuk muslim Zamboanga, Finley berangkat ke Istanbul pada Februari 1913, setelah sebelumnya berhasil meyakinkan pihak Gedung Putih untuk meminta Ottoman mengirim guru agama ke muslim Moro, yang dikemas sebagai bagian dari program pendidikan kewargaegaraan sesuai nilai-nilai sipil Amerika.
Setibanya di Istanbul, Finley, atas bantuan wakil Amerika William W. Rockhill, bisa masuk ke lingkaran kekuasaan sultan. Dia betemu Syaikh al-Islam Usmani yang bersedia mengantarkan petisi ke Sultan.
Begitu pula dia setuju mengirim salah seorang pejabat asal Palestina, Sayyid Muhammad Efendi Wajih al-Kilani, dalam kapasitasnya sebagai Syaikh al-Islam di Filipina.
Tidak lama berselang, Finley juga berhasil bertemu Sultan Ottoman yang menitipkan hadiah untuk muslim Filipina seraya menganugrahinya medali Medici tingkat tiga.
Meski berhadapan dengan perubahan peta politik Amerika dan reorganisasi Moro—di mana Frank Carpenter menjadi gubernur Mindanao dan Sulu sebagai wilayah administratif, menggantikan provinisi Moro yang dihapus—Finley tetap bisa berkunjung ke Zamboanga dan memberikan titipan hadiah Sultan ke Abdullah Nuno, tentu tidak sebagai gubernur sebagaimana disetujui Presiden Taft sebelum ke Istanbul.
Pada Januari 1914, Wajih al-Kilani masuk ke Filipina melalui Singapura, bersama sekitar seratus haji yang baru kembali dari Mekkah. Finley dan Abdullah Nuno menyambut antusias kedatangan Syaikh al-Islam ini, dan mengundangnya ke berbagai forum pertemuan dengan masyarakat sejumlah daerah di distrik Zamboanga, termasuk Basilan, di mana Wajih al-Kilani memberi ceramah terkait isu-isu keislaman dan juga sosial.
Untuk poin terakhir ini, dia menekankan perlunya menjadi warga negara yang baik di bawah sistem kolonial Amerika. Meski tidak lama, di mana Wajih al-Kilani (bersama Finley) dilarang bepergian ke luar Zamboanga, bahkan dipaksa kembali ke Istanbul dan, tidak lama setelah berselang (pada 1916), dia meninggal saat berkunjung ke Amerika, kedatangannya di Zamboanga merupakan buah dari permintaan petisi yang menekankan harmoni antara keagamaan muslim dengan nilai-nilai Barat yang direpresentasikan pemerintah kolonial Amerika.
Poin terakhir ini memang nampak pada bahasa dan substansi petisi yang dibawa Finley ke Istanbul. Bahasa yang digunakan dalam petisis adalah Tausug, yang memang umum digunakan di wilayah di bawah pengaruh kesultanan Sulu, termasuk Zamboanga.
Beberapa istilah khusus digunakan mengacu baik kepada petinggi Ottoman maupun Amerika yang, seperti telah disinggung, terlibat dalam pengajuan petisi tersebut.
Baca Juga: Kala Sutomo Kunjungi 'Puing' Ottoman Temui Hadrami-Indonesia dalam Ketiadaan
Gelar kebesaran Maha Sarri Maulana digunakan dalam petisi untuk sultan Ottoman, bersama dengan gelar-gelar kebesaran lain untuk wakil atau utusan sultan, yakni Maha Sarri Tuan dan Maha Muliya Sarri Paduka Tuan.
Dalam hal ini, gelar-gelar tersebut memang digunakan juga dalam protokol resmi kesultanan Sulu, lebih tepatnya untuk raja dan elit politik yang berkuasa.
Bersama dengan itu, bahasa petisi juga menggunakan gelar khusus untuk pejabat Amerika, seperti Paduka Tuan untuk gubernur Moro dan Paduka Tumanggung Bendahara untuk pejabat yang bertanggungjawab dalam pertahanan.
Sementara Finley disebut dengan gelar Paduka Tuanku Maas, yang berarti tuan senior, untuk menghormati pengetahuan dan kebijakannya saat menjabat sebagai gubernur distrik Zamboanga.
Abdullah Nuno menyebut Finley diakui “lebih sebagai ayah dan ibu kita,” suatu ungkapan penghormatan tinggi kepada seorang yang diakui berjasa dalam kehidupan masyarakat.
Terkait dengan substansi petisi, sejumlah isu keagamaan jelas mengemuka, semisal tentang makna Islam, tauhid dan ma’rifat. Bersama dengan itu, isu terkait dengan hukum yang sesuai dengan sistem Amerika juga menjadi satu elemen penting.
Teks petisi mencatat bahwa mereka (Muslim Zamboanga) mengharapkan utusan Ottoman untuk mengamati ucapan dan perbuatan muslim di Moro dan mengajarkan dua hal penting, yakni bagaimana adat dan hukum syari’ah (shara’) bisa dikombinasikan dengan hukum Amerika; dan bagaimana mereka mengikuti firman Allah dan menegakkan agama Islam tanpa menyalahi prinsip dan aturan pemerintah Amerika.
Baca Juga: Nama Sultan dalam Doa: Cerminan Hubungan Ottoman-Hindia Belanda