Apa Itu 'Blue Carbon'? Benarkah Lebih 'Sakti' dari 'Green Carbon'?

By Ade S, Jumat, 18 Oktober 2024 | 16:03 WIB
Apa itu blue carbon? Benarkah lebih efektif serap karbon dibanding green carbon? Temukan jawabannya melalui artikel berikut ini. (freepik.com/author/wirestock)

Hilangnya ekosistem karbon biru pesisir tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, tetapi juga meningkatkan kerentanan kawasan pantai terhadap bencana alam seperti abrasi dan intrusi air laut.

Lebih jauh lagi, ketika ekosistem ini terdegradasi atau hilang, karbon yang telah tersimpan di dalamnya akan kembali lepas ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida, memperparah masalah perubahan iklim.

Apa saja yang termasuk ekosistem blue carbon?

* Mangrove

Hutan mangrove, dengan akar bakunya yang khas dan tajuknya yang lebat, merupakan ekosistem unik yang tumbuh di perbatasan antara daratan dan lautan. Lebih dari sekadar hutan biasa, mangrove adalah benteng hijau yang memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan mitigasi perubahan iklim.

Sebagai salah satu ekosistem paling produktif di Bumi, mangrove memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon.

Rata-rata, hutan mangrove mampu menyerap karbon dioksida hingga 6-8 ton CO₂e per hektar setiap tahunnya, jauh lebih tinggi dibandingkan hutan tropis lainnya. Kapasitas penyerapan karbon yang tinggi ini menjadikan mangrove sebagai salah satu solusi alami paling efektif dalam memerangi perubahan iklim.

Selain berperan sebagai penyerap karbon yang handal, mangrove juga memberikan berbagai manfaat ekosistem yang sangat berharga. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya, sehingga berkontribusi pada keberlanjutan perikanan.

Akar mangrove yang kompleks juga berperan sebagai penyaring alami, menyerap polutan dan sedimen yang terbawa aliran air, sehingga menjaga kualitas air laut tetap bersih. Tak hanya itu, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, gelombang pasang, dan badai, sehingga mengurangi risiko bencana bagi masyarakat pesisir.

Sayangnya, ekosistem mangrove saat ini tengah menghadapi ancaman serius akibat aktivitas manusia. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, diperkirakan 30-50% hutan mangrove di seluruh dunia telah hilang.

Deforestasi untuk kepentingan pembangunan tambak, permukiman, dan industri merupakan penyebab utama kerusakan hutan mangrove. Padahal, hilangnya hutan mangrove tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati, tetapi juga meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Baca Juga: Proyek 'Blue Carbon' Pertama Australia Sukses 'Hidupkan Kembali' Lahan Kering