Apa Itu 'Blue Carbon'? Benarkah Lebih 'Sakti' dari 'Green Carbon'?

By Ade S, Jumat, 18 Oktober 2024 | 16:03 WIB
Apa itu blue carbon? Benarkah lebih efektif serap karbon dibanding green carbon? Temukan jawabannya melalui artikel berikut ini. (freepik.com/author/wirestock)

Nationalgeographic.grid.id—Perubahan iklim adalah ancaman nyata yang dihadapi oleh seluruh umat manusia. Untuk mengatasi masalah ini, kita membutuhkan solusi yang inovatif dan efektif.

Salah satu solusi yang menjanjikan adalah dengan memanfaatkan potensi blue carbon. Ekosistem pesisir ternyata memiliki peran yang sangat krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Untuk memahami lebih lanjut tentang apa itu blue carbon dan kontribusinya dalam memerangi perubahan iklim, mari kita simak artikel ini.

Benteng pertahanan alami

Ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun merupakan benteng pertahanan alami yang tak ternilai bagi kawasan pantai di seluruh dunia.

Keberadaannya sangat krusial dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak.

Melalui berbagai fungsi ekologisnya, ekosistem ini berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan badai dan kenaikan permukaan air laut, mencegah erosi garis pantai, menjaga kualitas air pesisir, dan menyediakan habitat bagi beragam biota laut, termasuk spesies-spesies yang terancam punah.

Selain itu, ekosistem ini juga berperan sebagai penyerap karbon yang sangat efisien, membantu mengurangi kadar gas rumah kaca di atmosfer dan memperlambat laju perubahan iklim.

Sayangnya, ekosistem blue carbon (karbon biru) pesisir saat ini tengah menghadapi ancaman serius. Laju kerusakan ekosistem ini tergolong sangat cepat, diperkirakan antara 340.000 hingga 980.000 hektar ekosistem hilang setiap tahunnya.

Merujuk laman the Blue Carbon Initiative, data menunjukkan bahwa hingga saat ini, sekitar 67% hutan mangrove, 35% rawa pasang surut, dan 29% padang lamun telah musnah di seluruh dunia.

Jika tren kerusakan ini terus berlanjut, diperkirakan dalam seratus tahun mendatang akan terjadi kehilangan lebih lanjut sebesar 30-40% rawa pasang surut dan padang lamun, serta hampir seluruh hutan mangrove yang tidak berada di kawasan lindung.

Baca Juga: Blue Carbon: Sedimen Dasar Laut, 'Bintang Utama' Penyerapan Karbon yang Pantang Diusik

Hilangnya ekosistem karbon biru pesisir tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, tetapi juga meningkatkan kerentanan kawasan pantai terhadap bencana alam seperti abrasi dan intrusi air laut.

Lebih jauh lagi, ketika ekosistem ini terdegradasi atau hilang, karbon yang telah tersimpan di dalamnya akan kembali lepas ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida, memperparah masalah perubahan iklim.

Apa saja yang termasuk ekosistem blue carbon?

* Mangrove

Hutan mangrove, dengan akar bakunya yang khas dan tajuknya yang lebat, merupakan ekosistem unik yang tumbuh di perbatasan antara daratan dan lautan. Lebih dari sekadar hutan biasa, mangrove adalah benteng hijau yang memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan mitigasi perubahan iklim.

Sebagai salah satu ekosistem paling produktif di Bumi, mangrove memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon.

Rata-rata, hutan mangrove mampu menyerap karbon dioksida hingga 6-8 ton CO₂e per hektar setiap tahunnya, jauh lebih tinggi dibandingkan hutan tropis lainnya. Kapasitas penyerapan karbon yang tinggi ini menjadikan mangrove sebagai salah satu solusi alami paling efektif dalam memerangi perubahan iklim.

Selain berperan sebagai penyerap karbon yang handal, mangrove juga memberikan berbagai manfaat ekosistem yang sangat berharga. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya, sehingga berkontribusi pada keberlanjutan perikanan.

Akar mangrove yang kompleks juga berperan sebagai penyaring alami, menyerap polutan dan sedimen yang terbawa aliran air, sehingga menjaga kualitas air laut tetap bersih. Tak hanya itu, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, gelombang pasang, dan badai, sehingga mengurangi risiko bencana bagi masyarakat pesisir.

Sayangnya, ekosistem mangrove saat ini tengah menghadapi ancaman serius akibat aktivitas manusia. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, diperkirakan 30-50% hutan mangrove di seluruh dunia telah hilang.

Deforestasi untuk kepentingan pembangunan tambak, permukiman, dan industri merupakan penyebab utama kerusakan hutan mangrove. Padahal, hilangnya hutan mangrove tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati, tetapi juga meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Baca Juga: Proyek 'Blue Carbon' Pertama Australia Sukses 'Hidupkan Kembali' Lahan Kering

Para ahli memperkirakan bahwa emisi karbon akibat degradasi mangrove mencapai sekitar 10% dari total emisi akibat deforestasi global, meskipun luas hutan mangrove hanya sekitar 0,7% dari total luas hutan tropis.

* Rawa tidal

Rawa tidal (atau rawa pasang surut), dengan tanahnya yang lembek dan sering tergenang air asin, mungkin seringkali dianggap sebagai lahan yang tidak produktif. Namun, di balik penampilannya yang sederhana, rawa tidal menyimpan peran yang sangat krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan mitigasi perubahan iklim.

Sebagai ekosistem pesisir yang unik, rawa tidal terbentuk melalui proses sedimentasi yang terus-menerus, menghasilkan lapisan tanah yang kaya akan bahan organik. Sebagian besar karbon yang tersimpan di Bumi, khususnya di kawasan pesisir, tersimpan dalam sedimen rawa tidal.

Kapasitas penyimpanan karbon rawa tidal ini jauh lebih tinggi dibandingkan ekosistem daratan lainnya, dengan rata-rata penyerapan karbon mencapai 6-8 ton CO₂e per hektar setiap tahunnya. Ini berarti rawa tidal berperan sebagai penyerap karbon yang sangat efisien, membantu mengurangi kadar gas rumah kaca di atmosfer dan memperlambat laju perubahan iklim.

Ternyata lamun dan rawa garam menyimpan karbon jauh lebih banyak daripada hutan. Namun, ada tantangan tersendiri di balik fakta tersebut. (John Brew)

Selain sebagai gudang karbon alami, rawa tidal juga memiliki berbagai fungsi ekologis yang sangat penting. Sistem akar tanaman rawa yang rapat berfungsi sebagai penyaring alami, menyerap polutan dan sedimen yang terbawa aliran air dari daratan. Dengan demikian, rawa tidal berperan menjaga kualitas air di kawasan pesisir, melindungi terumbu karang dan padang lamun dari sedimentasi berlebihan.

Rawa tidal juga merupakan habitat yang sangat produktif bagi berbagai jenis biota laut. Baik itu ikan, udang, kerang, atau burung, rawa tidal menyediakan tempat asuhan, mencari makan, dan berkembang biak. Keberadaan rawa tidal yang sehat sangat penting bagi keberlanjutan perikanan dan keanekaragaman hayati pesisir.

Sayangnya, ekosistem rawa tidal saat ini tengah menghadapi ancaman yang serius (hilang dengan laju 1-2% per tahun). Konversi lahan untuk pembangunan kawasan industri, permukiman, dan pertanian, serta kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim menjadi ancaman utama bagi kelestarian rawa tidal.

* Padang lamun

Padang lamun, seringkali dianggap sebagai "hutan bawah laut", merupakan ekosistem pesisir yang sangat produktif dan memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Tumbuhan berbunga ini menancapkan akarnya di dasar laut dan membentuk padang-padang rumput yang luas di sepanjang garis pantai di seluruh dunia, kecuali di Antartika.

Baca Juga: Tiongkok Denda Perusak Lingkungan dengan Kredit 'Blue Carbon', Efektifkah?

Salah satu peran paling penting dari padang lamun adalah sebagai penyerap karbon yang sangat efisien. Karbon yang diserap oleh lamun akan tersimpan dalam sedimen di bawahnya, membentuk lapisan tebal yang dapat mencapai kedalaman hingga empat meter.

Meskipun padang lamun hanya mencakup sebagian kecil dari luas lautan, yaitu kurang dari 0,2%, namun ekosistem ini mampu menyerap sekitar 10% karbon yang terkubur dalam sedimen laut setiap tahunnya, setara dengan 27,4 teragram karbon per tahun.

Kapasitas penyimpanan karbon padang lamun ini jauh lebih tinggi dibandingkan hutan darat, bahkan hingga dua kali lipat per hektarnya. Total cadangan karbon organik dalam ekosistem padang lamun global diperkirakan mencapai angka yang sangat mengagumkan, yaitu 19,9 miliar metrik ton.

Selain sebagai penyerap karbon yang handal, padang lamun juga memiliki berbagai fungsi ekologis lainnya. Sistem akar lamun yang padat berfungsi seperti filter alami, menyaring sedimen dan nutrisi berlebih dari air laut. Hal ini membantu menjaga kualitas air tetap bersih dan mendukung pertumbuhan terumbu karang serta berbagai biota laut lainnya.

Padang lamun juga berperan penting dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang pasang, dan badai. Akar lamun yang kuat mampu mengikat sedimen dasar laut, sehingga mengurangi dampak gelombang dan arus terhadap garis pantai.

Sayangnya, ekosistem padang lamun saat ini tengah menghadapi ancaman yang serius. Berbagai aktivitas manusia seperti pembangunan pesisir, pencemaran, dan perubahan iklim telah menyebabkan kerusakan yang signifikan pada padang lamun di seluruh dunia.

Degradasi kualitas air akibat sedimentasi dan eutrofikasi merupakan ancaman utama bagi kelangsungan hidup padang lamun. Akibatnya, sekitar 29% padang lamun di dunia telah hilang, dan laju kerusakannya terus meningkat setiap tahunnya.

Mengapa ekosistem pesisir dan laut penting untuk mitigasi perubahan iklim?

Ekosistem pesisir, seperti hutan bakau, padang lamun, dan rawa pasang surut, telah lama dikenal sebagai pertahanan alami yang luar biasa. Namun, peran krusial mereka dalam mengurangi perubahan iklim sering kali diabaikan. Sistem ekologi ini memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dan lautan pada tingkat yang jauh melebihi hutan daratan.

Karbon yang diserap oleh ekosistem pesisir ini kemudian disimpan dalam jumlah besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Di atas permukaan, karbon disimpan dalam biomassa tanaman seperti batang, akar, dan daun.

Namun, sebagian besar karbon sebenarnya disimpan di bawah permukaan, terikat dalam tanah organik yang kaya karbon. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hingga 99% karbon biru yang tersimpan dalam ekosistem seperti bakau dan rawa pasang surut disimpan di lapisan tanah, bahkan sedalam enam meter.

Baca Juga: Mengenal (Ulang) Blue Carbon, Benteng Tersembunyi Melawan Perubahan Iklim

Kemampuan penyimpanan karbon ekosistem pesisir sangat mengesankan. Misalnya, satu hektar hutan mangrove dapat menyimpan sekitar 1.494 megagram setara karbon dioksida (Mg CO2eq), sedangkan rawa pasang surut dapat menyimpan sekitar 951 Mg CO2eq. Padang lamun, meskipun tidak seluas mangrove dan rawa pasang surut, juga berperan penting dengan kapasitas penyimpanan sekitar 607 Mg CO2eq per hektar.

Jika kita perhatikan lebih saksama pada lapisan tanah paling atas (meter pertama), mangrove mampu menyimpan sekitar 280 Mg C per hektar, rawa pasang surut sekitar 250 Mg C per hektar, dan padang lamun sekitar 140 Mg C per hektar. Angka-angka ini menunjukkan betapa kaya dan berharganya penyimpanan karbon di ekosistem pesisir.

Bom waktu dari degradasi eksosistem karbon biru

Ketika ekosistem karbon biru mengalami kerusakan atau hilang, karbon yang telah tersimpan selama ribuan tahun di dalam tanah akan teroksidasi dan lepas sebagai karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.

Proses ini ibarat meledakkan sebuah bom waktu karbon, melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah besar yang mempercepat pemanasan global. Studi terbaru menunjukkan bahwa laju kerusakan ekosistem karbon biru saat ini berkontribusi sebesar 0,15 hingga 1,02 miliar ton CO2 per tahun.

Angka ini setara dengan 3 hingga 19% dari total emisi karbon akibat deforestasi global, meskipun luas total ekosistem karbon biru hanya 2 hingga 6% dari luas hutan tropis.

Sebelumnya, perkiraan dampak gas rumah kaca dari konversi ekosistem pesisir cenderung meremehkan masalah ini. Para ilmuwan hanya memperhitungkan hilangnya kapasitas penyerapan karbon, bukan pelepasan karbon yang terjadi akibat degradasi.

Namun, analisis terbaru menunjukkan bahwa kehilangan tahunan dari ketiga ekosistem karbon biru tersebut menghasilkan emisi sebesar 0,45 Petagram (Pg) CO2 per tahun. Angka ini setara dengan emisi tahunan dari pembakaran bahan bakar fosil di Inggris, negara dengan emisi karbon terbesar ke-9 di dunia.

Distribusi global ekosistem karbon biru

Ekosistem karbon biru, seperti hutan mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun, tersebar luas di sepanjang garis pantai hampir seluruh benua di dunia, kecuali Antartika. Ketiga ekosistem ini memiliki peran krusial dalam mitigasi perubahan iklim karena kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar.

Hutan mangrove, dengan akarnya yang khas dan toleransi terhadap air asin, tumbuh subur di zona intertidal pantai tropis dan subtropis. Negara-negara dengan luas hutan mangrove terbesar di dunia antara lain Indonesia, Australia, Meksiko, Brasil, Nigeria, Malaysia, Myanmar, Papua Nugini, Kuba, India, Bangladesh, dan Mozambik.

Hutan-hutan mangrove ini tidak hanya menjadi benteng pertahanan alami terhadap abrasi pantai, tetapi juga merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna.

Rawa pasang surut, ekosistem yang tergenang air secara berkala, dapat ditemukan di garis pantai yang terlindung mulai dari wilayah sub-arktik hingga tropis.

Namun, rawa pasang surut paling luas ditemukan di zona beriklim sedang, terutama di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan di garis lintang yang lebih tinggi di Amerika Selatan serta Afrika. Ekosistem ini memiliki peran penting dalam menjaga kualitas air dan menyediakan habitat bagi berbagai jenis burung migran.

Padang lamun, padang rumput bawah air yang terdiri dari tumbuhan berbunga, tersebar di perairan pesisir seluruh benua kecuali Antartika. Lebih dari 60 spesies rumput lamun telah teridentifikasi, dan di beberapa wilayah tropis, hingga 13 spesies dapat hidup bersama dalam satu ekosistem.

Padang lamun memiliki produktivitas yang tinggi dan berperan penting dalam menjaga kejernihan air serta menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi berbagai jenis biota laut. Lebih dari 60 spesies rumput laut diketahui ada, dan sebanyak 10 hingga 13 di antaranya dapat hidup bersama di lokasi tropis.

Meskipun ekosistem karbon biru memiliki peran yang sangat penting, pemetaan dan pengukuran yang komprehensif terhadap ekosistem ini masih menjadi tantangan. Hingga saat ini, peta regional dan global yang secara detail menunjukkan titik-titik panas karbon biru pesisir belum tersedia secara lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak potensi yang belum terungkap dari ekosistem-ekosistem ini.

Penyebab hilangnya ekosistem karbon biru dan solusinya

Hilangnya ekosistem karbon biru, yang terdiri dari hutan bakau, lamun, dan rawa pasang surut, merupakan ancaman serius bagi planet kita. Aktivitas manusia, seperti konversi lahan untuk akuakultur dan pertanian, eksploitasi hutan mangrove secara berlebihan, serta pembangunan pesisir yang pesat, menjadi penyebab utama kerusakan dan hilangnya ekosistem vital ini. Selain itu, polusi dari daratan dan laut juga turut memperparah kondisi ekosistem karbon biru.

Perubahan iklim semakin memperburuk situasi. Kenaikan permukaan air laut, peningkatan suhu, dan perubahan pola cuaca mengancam kelangsungan hidup ekosistem karbon biru. Padahal, ekosistem ini memiliki peran krusial dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer, sehingga sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim. Setiap tahunnya, jutaan hektar ekosistem karbon biru hilang, melepaskan karbon yang telah tersimpan selama berabad-abad kembali ke atmosfer.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk melindungi dan memulihkan ekosistem karbon biru. Kebijakan dan strategi pengelolaan pesisir yang komprehensif telah dikembangkan di berbagai negara.

Namun, tantangan terbesar adalah mengimplementasikan kebijakan tersebut secara efektif dan konsisten. Selain itu, diperlukan juga inovasi dalam mekanisme pendanaan untuk mendukung upaya konservasi dan restorasi ekosistem karbon biru. Konsep karbon biru menawarkan peluang menarik untuk menggabungkan upaya konservasi dengan tujuan mitigasi perubahan iklim, sehingga dapat menarik minat investor dan pembuat kebijakan.