Apa Itu 'Blue Carbon'? Benarkah Lebih 'Sakti' dari 'Green Carbon'?

By Ade S, Jumat, 18 Oktober 2024 | 16:03 WIB
Apa itu blue carbon? Benarkah lebih efektif serap karbon dibanding green carbon? Temukan jawabannya melalui artikel berikut ini. (freepik.com/author/wirestock)

Kemampuan penyimpanan karbon ekosistem pesisir sangat mengesankan. Misalnya, satu hektar hutan mangrove dapat menyimpan sekitar 1.494 megagram setara karbon dioksida (Mg CO2eq), sedangkan rawa pasang surut dapat menyimpan sekitar 951 Mg CO2eq. Padang lamun, meskipun tidak seluas mangrove dan rawa pasang surut, juga berperan penting dengan kapasitas penyimpanan sekitar 607 Mg CO2eq per hektar.

Jika kita perhatikan lebih saksama pada lapisan tanah paling atas (meter pertama), mangrove mampu menyimpan sekitar 280 Mg C per hektar, rawa pasang surut sekitar 250 Mg C per hektar, dan padang lamun sekitar 140 Mg C per hektar. Angka-angka ini menunjukkan betapa kaya dan berharganya penyimpanan karbon di ekosistem pesisir.

Bom waktu dari degradasi eksosistem karbon biru

Ketika ekosistem karbon biru mengalami kerusakan atau hilang, karbon yang telah tersimpan selama ribuan tahun di dalam tanah akan teroksidasi dan lepas sebagai karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.

Proses ini ibarat meledakkan sebuah bom waktu karbon, melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah besar yang mempercepat pemanasan global. Studi terbaru menunjukkan bahwa laju kerusakan ekosistem karbon biru saat ini berkontribusi sebesar 0,15 hingga 1,02 miliar ton CO2 per tahun.

Angka ini setara dengan 3 hingga 19% dari total emisi karbon akibat deforestasi global, meskipun luas total ekosistem karbon biru hanya 2 hingga 6% dari luas hutan tropis.

Sebelumnya, perkiraan dampak gas rumah kaca dari konversi ekosistem pesisir cenderung meremehkan masalah ini. Para ilmuwan hanya memperhitungkan hilangnya kapasitas penyerapan karbon, bukan pelepasan karbon yang terjadi akibat degradasi.

Namun, analisis terbaru menunjukkan bahwa kehilangan tahunan dari ketiga ekosistem karbon biru tersebut menghasilkan emisi sebesar 0,45 Petagram (Pg) CO2 per tahun. Angka ini setara dengan emisi tahunan dari pembakaran bahan bakar fosil di Inggris, negara dengan emisi karbon terbesar ke-9 di dunia.

Distribusi global ekosistem karbon biru

Ekosistem karbon biru, seperti hutan mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun, tersebar luas di sepanjang garis pantai hampir seluruh benua di dunia, kecuali Antartika. Ketiga ekosistem ini memiliki peran krusial dalam mitigasi perubahan iklim karena kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar.

Hutan mangrove, dengan akarnya yang khas dan toleransi terhadap air asin, tumbuh subur di zona intertidal pantai tropis dan subtropis. Negara-negara dengan luas hutan mangrove terbesar di dunia antara lain Indonesia, Australia, Meksiko, Brasil, Nigeria, Malaysia, Myanmar, Papua Nugini, Kuba, India, Bangladesh, dan Mozambik.

Hutan-hutan mangrove ini tidak hanya menjadi benteng pertahanan alami terhadap abrasi pantai, tetapi juga merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna.

Rawa pasang surut, ekosistem yang tergenang air secara berkala, dapat ditemukan di garis pantai yang terlindung mulai dari wilayah sub-arktik hingga tropis.

Namun, rawa pasang surut paling luas ditemukan di zona beriklim sedang, terutama di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan di garis lintang yang lebih tinggi di Amerika Selatan serta Afrika. Ekosistem ini memiliki peran penting dalam menjaga kualitas air dan menyediakan habitat bagi berbagai jenis burung migran.

Padang lamun, padang rumput bawah air yang terdiri dari tumbuhan berbunga, tersebar di perairan pesisir seluruh benua kecuali Antartika. Lebih dari 60 spesies rumput lamun telah teridentifikasi, dan di beberapa wilayah tropis, hingga 13 spesies dapat hidup bersama dalam satu ekosistem.

Padang lamun memiliki produktivitas yang tinggi dan berperan penting dalam menjaga kejernihan air serta menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi berbagai jenis biota laut. Lebih dari 60 spesies rumput laut diketahui ada, dan sebanyak 10 hingga 13 di antaranya dapat hidup bersama di lokasi tropis.

Meskipun ekosistem karbon biru memiliki peran yang sangat penting, pemetaan dan pengukuran yang komprehensif terhadap ekosistem ini masih menjadi tantangan. Hingga saat ini, peta regional dan global yang secara detail menunjukkan titik-titik panas karbon biru pesisir belum tersedia secara lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak potensi yang belum terungkap dari ekosistem-ekosistem ini.

Penyebab hilangnya ekosistem karbon biru dan solusinya

Hilangnya ekosistem karbon biru, yang terdiri dari hutan bakau, lamun, dan rawa pasang surut, merupakan ancaman serius bagi planet kita. Aktivitas manusia, seperti konversi lahan untuk akuakultur dan pertanian, eksploitasi hutan mangrove secara berlebihan, serta pembangunan pesisir yang pesat, menjadi penyebab utama kerusakan dan hilangnya ekosistem vital ini. Selain itu, polusi dari daratan dan laut juga turut memperparah kondisi ekosistem karbon biru.

Perubahan iklim semakin memperburuk situasi. Kenaikan permukaan air laut, peningkatan suhu, dan perubahan pola cuaca mengancam kelangsungan hidup ekosistem karbon biru. Padahal, ekosistem ini memiliki peran krusial dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer, sehingga sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim. Setiap tahunnya, jutaan hektar ekosistem karbon biru hilang, melepaskan karbon yang telah tersimpan selama berabad-abad kembali ke atmosfer.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk melindungi dan memulihkan ekosistem karbon biru. Kebijakan dan strategi pengelolaan pesisir yang komprehensif telah dikembangkan di berbagai negara.

Namun, tantangan terbesar adalah mengimplementasikan kebijakan tersebut secara efektif dan konsisten. Selain itu, diperlukan juga inovasi dalam mekanisme pendanaan untuk mendukung upaya konservasi dan restorasi ekosistem karbon biru. Konsep karbon biru menawarkan peluang menarik untuk menggabungkan upaya konservasi dengan tujuan mitigasi perubahan iklim, sehingga dapat menarik minat investor dan pembuat kebijakan.