Banjir bandang yang dahsyat, dengan ketinggian air yang bahkan mampu menenggelamkan pohon kelapa sawit berusia tiga tahun, telah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di perkebunan mereka. Carolyn Lim, pimpinan komunikasi perusahaan, menggambarkan betapa hancurnya tanaman muda mereka akibat terendam air dalam waktu yang lama.
Tidak hanya menghadapi ancaman banjir, Musim Mas juga harus berjuang menghadapi dampak dari periode kekeringan yang semakin panjang dan intens. Para ahli iklim memprediksi bahwa kenaikan suhu global sebesar 2 derajat Celsius dapat menyebabkan penurunan hasil produksi kelapa sawit hingga 30%.
Fluktuasi cuaca yang ekstrem ini jelas mengancam keberlanjutan industri kelapa sawit yang menjadi tulang punggung perekonomian banyak daerah di Indonesia.
Meskipun kelapa sawit dikenal sebagai tanaman yang sangat produktif dan efisien dalam pemanfaatan lahan dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya, industri ini masih belum optimal dalam meningkatkan hasil panen.
Di Indonesia, negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, produksi diperkirakan akan menyusut sebesar 1 juta ton pada tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya.
Penyebab utama penurunan produksi ini adalah "pohon yang semakin tua dan kurang produktif serta industri yang lambat dalam memperkenalkan teknologi baru," ungkap Hicks
Harapan di tengah bencana
Kebakaran hutan besar tahun 2015 yang meluluhlantakkan lebih dari 2,6 juta hektar lahan gambut di Indonesia dan Malaysia, melepaskan emisi setara dengan seluruh negara industri maju Jerman, memunculkan secercah harapan dalam upaya pelestarian hutan.
Tekanan internasional dan kebijakan yang lebih tegas telah berhasil menurunkan laju kehilangan hutan terkait perkebunan kelapa sawit di kedua negara tersebut.
Hukuman yang lebih berat bagi pelaku pembakaran ilegal serta komitmen tegas dari perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever, Mars, dan Nestle untuk tidak melakukan deforestasi, konversi lahan gambut, dan eksploitasi (NDPE) telah menjadi katalisator perubahan.
Komitmen ini muncul sebagai respons atas tekanan publik yang semakin besar terhadap praktik bisnis yang tidak berkelanjutan dalam industri kelapa sawit.
Baca Juga: Minyak Mikroba, Calon Penantang Minyak Sawit yang Diklaim Lebih Ramah Lingkungan