Industri Kelapa Sawit Tengah Dihantam 'Karma', Dipicu Perubahan Iklim?

By Ade S, Jumat, 18 Oktober 2024 | 08:03 WIB
(National Geographic Indonesia/Tuah Sanjaya Ketaren)

Nationalgeographic.co.id—Industri kelapa sawit, yang selama ini mengubah wajah lanskap pedesaan Indonesia dan Malaysia, kini merasakan dampak pahit dari transformasi lingkungan yang telah mereka ciptakan.

Ironisnya, industri yang begitu bergantung pada iklim tropis yang stabil kini harus berhadapan dengan ketidakpastian akibat perubahan iklim. "Para aktivis lingkungan mungkin menyebutnya karma," tulis Robin Hicks di laman Reuters.

Anita Neville, Chief Sustainability and Communications Officer di Golden Agri-Resources (GAR), perusahaan kelapa sawit raksasa yang mengelola lahan seluas 500.000 hektar di Indonesia, mengamati langsung dampak perubahan iklim ini.

Curah hujan yang ekstrem, dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dari biasanya, menjadi momok baru bagi perkebunan kelapa sawit dalam dua tahun terakhir. Pohon-pohon yang dulunya kokoh kini mudah terserang penyakit akibat genangan air, sementara produksi buah pun terancam.

Dampak perubahan iklim tidak hanya berhenti pada tanaman. Populasi kumbang, penyerbuk utama bagi tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi sebesar $4,5 miliar per tahun, juga terpengaruh.

Hujan yang berkepanjangan mengganggu siklus hidup kumbang, memaksa para petani untuk melakukan penyerbukan secara manual yang tentunya lebih mahal dan memakan waktu.

Bencana banjir semakin sering terjadi dan meluas. Jika sebelumnya banjir hanya menjadi peristiwa lokal, kini hampir seluruh wilayah di Indonesia melaporkan kejadian serupa.

"Sepuluh tahun lalu, kami mendengar laporan banjir di satu perkebunan. Sekarang hampir setiap wilayah di Indonesia melaporkan banjir," jelas Hicks mengutip Neville.

Banjir tidak hanya merusak tanaman, tetapi juga menghambat proses panen dan distribusi buah. Tandan buah segar yang tidak dapat dipanen dengan cepat akan membusuk dan menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan.

Sudah dirasakan langsung

Musim Mas, salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia dengan luas perkebunan mencapai 130.000 hektar, telah merasakan langsung dampak dari perubahan iklim ini.

Baca Juga: Industri Sawit Masih Picu Deforestasi, Lahan Gambut Tak Luput Jadi Sasaran

Banjir bandang yang dahsyat, dengan ketinggian air yang bahkan mampu menenggelamkan pohon kelapa sawit berusia tiga tahun, telah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di perkebunan mereka. Carolyn Lim, pimpinan komunikasi perusahaan, menggambarkan betapa hancurnya tanaman muda mereka akibat terendam air dalam waktu yang lama.

Tidak hanya menghadapi ancaman banjir, Musim Mas juga harus berjuang menghadapi dampak dari periode kekeringan yang semakin panjang dan intens. Para ahli iklim memprediksi bahwa kenaikan suhu global sebesar 2 derajat Celsius dapat menyebabkan penurunan hasil produksi kelapa sawit hingga 30%.

Fluktuasi cuaca yang ekstrem ini jelas mengancam keberlanjutan industri kelapa sawit yang menjadi tulang punggung perekonomian banyak daerah di Indonesia.

Meskipun kelapa sawit dikenal sebagai tanaman yang sangat produktif dan efisien dalam pemanfaatan lahan dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya, industri ini masih belum optimal dalam meningkatkan hasil panen.

Di Indonesia, negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, produksi diperkirakan akan menyusut sebesar 1 juta ton pada tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya.

Penyebab utama penurunan produksi ini adalah "pohon yang semakin tua dan kurang produktif serta industri yang lambat dalam memperkenalkan teknologi baru," ungkap Hicks

Harapan di tengah bencana

Kebakaran hutan besar tahun 2015 yang meluluhlantakkan lebih dari 2,6 juta hektar lahan gambut di Indonesia dan Malaysia, melepaskan emisi setara dengan seluruh negara industri maju Jerman, memunculkan secercah harapan dalam upaya pelestarian hutan.

Tekanan internasional dan kebijakan yang lebih tegas telah berhasil menurunkan laju kehilangan hutan terkait perkebunan kelapa sawit di kedua negara tersebut.

Hukuman yang lebih berat bagi pelaku pembakaran ilegal serta komitmen tegas dari perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever, Mars, dan Nestle untuk tidak melakukan deforestasi, konversi lahan gambut, dan eksploitasi (NDPE) telah menjadi katalisator perubahan.

Komitmen ini muncul sebagai respons atas tekanan publik yang semakin besar terhadap praktik bisnis yang tidak berkelanjutan dalam industri kelapa sawit.

Baca Juga: Minyak Mikroba, Calon Penantang Minyak Sawit yang Diklaim Lebih Ramah Lingkungan

Meskipun demikian, janji yang dibuat pada tahun 2010 untuk mengurangi deforestasi dalam rantai pasokan kelapa sawit secara global masih belum sepenuhnya terpenuhi. "Tidak ada yang memenuhi komitmen," papar Hicks.

Dari 304 perusahaan yang melaporkan penggunaan kelapa sawit dalam rantai pasokannya kepada organisasi nirlaba CDP, hanya 15 perusahaan yang mampu memberikan bukti kuat bahwa rantai pasokannya benar-benar bebas dari deforestasi.

Tekanan besar dari Eropa

Tekanan terbesar untuk mendorong industri kelapa sawit agar meningkatkan kinerja lingkungannya saat ini datang dari Uni Eropa, lebih teparnya Brussles.

Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan berlaku efektif pada bulan Desember mendatang mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk membuktikan, dengan menggunakan data yang akurat dan terperinci, bahwa produk kelapa sawit yang mereka jual tidak berkontribusi pada hilangnya hutan.

Buah sawit hasil dari perkebunan mandiri warga di Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. (National Geographic Indonesia/Ade S)

Aturan yang ketat ini telah memicu protes keras dari para pelaku industri kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia. Mereka berargumen bahwa EUDR akan memberatkan para petani kecil yang tidak memiliki sumber daya dan pengetahuan yang cukup untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Beberapa pihak bahkan berharap adanya perubahan politik di Parlemen Eropa dapat melemahkan atau menunda pemberlakuan peraturan ini. "Sehingga EUDR akan dikurangi sebelum diberlakukan," ungkap Hicks.

Sebuah studi mendalam yang dilakukan oleh Zoological Society of London (ZSL) terhadap 100 perusahaan kelapa sawit pada November lalu mengungkap fakta mengejutkan: hanya 12% dari perusahaan-perusahaan tersebut yang secara terbuka mengungkapkan asal-usul geografis dari pasokan bahan baku mereka, termasuk dari petani kecil independen. Informasi ini sangat krusial untuk memverifikasi komitmen mereka dalam menghindari deforestasi.

Ketidaktransparanan ini menjadi kendala besar dalam upaya memenuhi persyaratan pelacakan yang ketat dalam EUDR. Akibatnya, beberapa perusahaan terpaksa memutus hubungan dengan petani kecil atau mengalihkan pasokan mereka ke pasar-pasar yang memiliki regulasi lingkungan lebih longgar, seperti Cina dan India.

Meskipun perusahaan-perusahaan besar konsumen yang menggunakan minyak sawit dalam produk mereka, seperti Mars, Nestle, dan Unilever, telah menetapkan target pengurangan emisi yang ambisius, para pemasok mereka masih tertinggal jauh di belakang.

Baca Juga: Mungkinkah Konsep Minyak Sawit Berkelanjutan Benar-benar Bisa Terwujud?

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kompleksitas dalam menghitung emisi, terutama emisi Scope 3 yang mencakup seluruh rantai nilai, termasuk emisi dari perubahan penggunaan lahan dan pertanian di lahan gambut.

Proses pelaporan yang rumit dan memakan waktu juga menjadi penghalang besar. Seorang pelaku industri mengungkapkan bahwa timnya harus bekerja penuh waktu sepanjang tahun hanya untuk menyelesaikan laporan keberlanjutan, sehingga menyisakan sedikit waktu untuk melakukan perbaikan nyata.

Inisiatif yang lebih menjanjikan

Perusahaan lain melaporkan bahwa mereka menghabiskan jutaan dolar setiap tahun untuk pelaporan keberlanjutan, dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk proyek-proyek yang lebih produktif, seperti pertanian regeneratif.

Pertanian regeneratif menawarkan pendekatan yang lebih berkelanjutan dengan menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan, menjaga hutan yang ada, dan mengurangi penggunaan pupuk kimia serta pestisida.

Metode ini tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga meningkatkan kesehatan tanah dan diversifikasi pendapatan petani. Meskipun pertanian regeneratif telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada komoditas seperti kakao dan kopi, penerapannya dalam industri kelapa sawit masih terbatas.

"Industri senilai AS$70 miliar itu masih terkunci dalam model monokultur yang ekstraktif," tgas Hicks.

Namun, terdapat beberapa inisiatif yang menjanjikan. Salah satunya adalah proyek kolaborasi antara IDH, Musim Mas, Unilever, dan Pepsi yang bertujuan mengembangkan rantai pasokan kelapa sawit berkelanjutan di Aceh Tamiang, Sumatra. Daerah ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan merupakan bagian dari Ekosistem Leuser.

Proyek ini bertujuan melindungi 100.000 hektar hutan bernilai tinggi di Indonesia, sekaligus meningkatkan produktivitas 1.500 petani kecil di wilayah tersebut. Proyek ini, yang awalnya dirancang sebagai program tiga tahun, telah diperpanjang dan menjadi model bagi pertanian yang berkelanjutan dan tahan iklim.

Tran Quynh Chi, seorang pakar dari IDH, menekankan pentingnya dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan organisasi konservasi, untuk memastikan keberlangsungan proyek ini.

Beliau juga menyoroti bahwa keberhasilan proyek tidak boleh sepenuhnya bergantung pada petani kecil, melainkan memerlukan komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan.

Baca Juga: Lahan Gambut Makin Menyempit, Paru-paru Asia Tenggara Kian Terjepit

Di sisi lain, perusahaan cokelat Ferrero telah menguji coba sebuah skema inovatif bernama TRAILS di Kalimantan, Malaysia, suatu tempat yang menurut Hicks, "90% lanskap telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit."

Skema ini menggabungkan penanaman kelapa sawit dengan spesies hutan campuran untuk mendukung keanekaragaman hayati. Meskipun masih dalam tahap awal, proyek ini menunjukkan potensi besar dalam menghasilkan kelapa sawit secara berkelanjutan tanpa merusak lingkungan.

Alain Rival, pemimpin proyek TRAILS, optimis bahwa pendekatan agroforestri ini dapat menjadi solusi win-win, yang menguntungkan baik petani maupun lingkungan. Beliau juga menyoroti pentingnya belajar dari praktik pertanian tradisional masyarakat adat, yang telah lama menerapkan teknik ramah lingkungan seperti agroforestri.

Namun, perlu diingat bahwa masyarakat adat ini, menurut Aida Greenbury, penasihat serikat petani kecil independen Indonesia (SPKS), "Sering kehilangan tanah mereka kepada perusahaan perkebunan besar."

Belajar dari Amerika Latin

Joseph D’Cruz, CEO Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), menyarankan agar Indonesia dan Malaysia dapat belajar dari pengalaman negara-negara Amerika Latin, khususnya Guatemala.

Di sana, menurut laporan, berbagai tanaman yang ditanam dalam pola mosaik telah menghasilkan panen yang lebih melimpah. Praktik ini diperkenalkan oleh perusahaan agribisnis besar dan juga telah diadopsi oleh petani kecil. Guatemala juga melaporkan tidak ada deforestasi yang terkait dengan industri kelapa sawit.

"Industri di tempat-tempat seperti Guatemala telah menunjukkan bahwa sektor kelapa sawit memiliki potensi untuk mencapai produktivitas yang lebih tinggi per hektar dengan praktik manajemen yang baik, penggunaan varietas modern yang produktif, dan fokus pada keberlanjutan," ujar D’Cruz.

D’Cruz menegaskan bahwa dengan persentase sertifikasi RSPO mencapai 60%, Guatemala mencatatkan angka tertinggi di dunia. Ini mengindikasikan komitmen kuat negara tersebut terhadap praktik berkelanjutan dalam industri kelapa sawit.

Masih muncul kekhawatiran

Namun, di balik angka sertifikasi yang menggembirakan, terdapat kekhawatiran yang perlu diperhatikan.

Investigasi mendalam yang dilakukan oleh jurnalis dari Mongabay dan media lainnya mengungkapkan bahwa ekspansi pesat perusahaan agribusiness di Guatemala dan negara-negara Amerika Latin lainnya telah memicu sejumlah permasalahan lingkungan dan sosial. Keluhan mengenai dampak negatif perkebunan kelapa sawit terhadap ekosistem dan masyarakat setempat semakin sering terdengar.

Sebuah studi ilmiah yang diterbitkan dalam Journal of Environmental Management semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.

Studi ini tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa sertifikasi RSPO secara efektif mencegah deforestasi atau kerusakan lingkungan skala besar. Temuan ini tentu saja bertentangan dengan klaim industri bahwa sertifikasi merupakan jaminan keberlanjutan.

Menanggapi temuan tersebut, Grepalma, sebuah asosiasi produsen kelapa sawit di Guatemala yang juga merupakan anggota RSPO, membela industri mereka. Grepalma mengklaim bahwa Guatemala merupakan produsen kelapa sawit paling produktif di dunia dan bahwa sebagian besar ekspansi perkebunan terjadi di lahan yang sebelumnya tidak berhutan.

Greenbury mengamini bahwa ekspansi kelapa sawit di Amerika Latin memang lebih sedikit menyebabkan deforestasi dibandingkan di Indonesia. Namun, beliau mengingatkan bahwa kelapa sawit tetap dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, misalnya dengan menggusur pertanian lain ke dalam hutan.

Laporan Chain Reaction Research tahun 2021 mendukung pandangan ini. Laporan tersebut menyimpulkan adanya hubungan langsung antara kelapa sawit dan deforestasi di Amerika Latin tidak sekuat di Asia Tenggara.

"Namun, masih mengancam ekosistem hutan yang berharga. Kelapa sawit juga dapat menggantikan penggunaan lahan lainnya di beberapa negara, mendorong produksi ternak dan tanaman lebih jauh ke dalam kawasan hutan," papar Hicks.

Skeptis

Grant Rosoman, seorang tokoh sentral dalam gerakan lingkungan global, menyuarakan skeptisisme yang mendalam terhadap klaim keberlanjutan yang kerap dilontarkan oleh perusahaan-perusahaan agribusiness, khususnya dalam konteks industri kelapa sawit.

Sebagai penasihat senior untuk solusi hutan di Greenpeace International, Rosoman telah menyaksikan secara langsung bagaimana janji-janji perusahaan untuk menghilangkan deforestasi dari rantai pasokannya seringkali hanya menjadi retorika belaka.

Rosoman mengingatkan kita akan kampanye viral Greenpeace terhadap merek KitKat Nestle pada tahun 2010 yang mengungkap keterlibatan perusahaan dalam deforestasi.

Kejadian ini menjadi bukti nyata bahwa perusahaan-perusahaan besar seringkali mengutamakan keuntungan semata tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial yang luas.

Terkait dengan tren terbaru dalam industri kelapa sawit, yaitu adopsi praktik pertanian regeneratif, Rosoman tetap bersikap hati-hati.

Ia mempertanyakan apakah praktik-praktik seperti penggunaan pupuk organik, pengendalian hama alami, dan agroforestri benar-benar dapat membawa perubahan signifikan atau hanya sekadar upaya untuk memoles citra perusahaan.

Keraguan Rosoman ini didukung oleh temuan penelitian yang dilakukan oleh Dr Jean-Pierre Caliman dari SMART Research Institute. Caliman mengingatkan kita bahwa meskipun agroforestri menawarkan banyak manfaat, termasuk ketahanan pangan bagi petani, praktik ini juga memiliki tantangan tersendiri.

Pada kondisi iklim ekstrem seperti kekeringan, tanaman lain yang ditanam dalam sistem agroforestri dapat bersaing dengan pohon kelapa sawit dalam memperebutkan air, sehingga berpotensi menurunkan produktivitas.

Situasi di Indonesia semakin kompleks dengan meningkatnya kembali laju deforestasi terkait kelapa sawit pada tahun 2023. Setelah mengalami penurunan selama satu dekade, deforestasi akibat perluasan perkebunan kelapa sawit monokultur industri kembali meningkat secara signifikan.

Di tengah kondisi ini, terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia membawa tantangan baru. Prabowo memang telah menyatakan komitmennya untuk mencapai target netral karbon pada tahun 2060.

Hanya saja, menurut Hicks, "Hal ini akan melibatkan peningkatan sektor biofuel, menggunakan kelapa sawit sebagai bahan bakar - memberikan tekanan lebih besar dari sebelumnya pada hutan-hutan penting iklim negara tersebut."