Industri Kelapa Sawit Tengah Dihantam 'Karma', Dipicu Perubahan Iklim?

By Ade S, Jumat, 18 Oktober 2024 | 08:03 WIB
(National Geographic Indonesia/Tuah Sanjaya Ketaren)

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kompleksitas dalam menghitung emisi, terutama emisi Scope 3 yang mencakup seluruh rantai nilai, termasuk emisi dari perubahan penggunaan lahan dan pertanian di lahan gambut.

Proses pelaporan yang rumit dan memakan waktu juga menjadi penghalang besar. Seorang pelaku industri mengungkapkan bahwa timnya harus bekerja penuh waktu sepanjang tahun hanya untuk menyelesaikan laporan keberlanjutan, sehingga menyisakan sedikit waktu untuk melakukan perbaikan nyata.

Inisiatif yang lebih menjanjikan

Perusahaan lain melaporkan bahwa mereka menghabiskan jutaan dolar setiap tahun untuk pelaporan keberlanjutan, dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk proyek-proyek yang lebih produktif, seperti pertanian regeneratif.

Pertanian regeneratif menawarkan pendekatan yang lebih berkelanjutan dengan menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan, menjaga hutan yang ada, dan mengurangi penggunaan pupuk kimia serta pestisida.

Metode ini tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga meningkatkan kesehatan tanah dan diversifikasi pendapatan petani. Meskipun pertanian regeneratif telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada komoditas seperti kakao dan kopi, penerapannya dalam industri kelapa sawit masih terbatas.

"Industri senilai AS$70 miliar itu masih terkunci dalam model monokultur yang ekstraktif," tgas Hicks.

Namun, terdapat beberapa inisiatif yang menjanjikan. Salah satunya adalah proyek kolaborasi antara IDH, Musim Mas, Unilever, dan Pepsi yang bertujuan mengembangkan rantai pasokan kelapa sawit berkelanjutan di Aceh Tamiang, Sumatra. Daerah ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan merupakan bagian dari Ekosistem Leuser.

Proyek ini bertujuan melindungi 100.000 hektar hutan bernilai tinggi di Indonesia, sekaligus meningkatkan produktivitas 1.500 petani kecil di wilayah tersebut. Proyek ini, yang awalnya dirancang sebagai program tiga tahun, telah diperpanjang dan menjadi model bagi pertanian yang berkelanjutan dan tahan iklim.

Tran Quynh Chi, seorang pakar dari IDH, menekankan pentingnya dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan organisasi konservasi, untuk memastikan keberlangsungan proyek ini.

Beliau juga menyoroti bahwa keberhasilan proyek tidak boleh sepenuhnya bergantung pada petani kecil, melainkan memerlukan komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan.

Baca Juga: Lahan Gambut Makin Menyempit, Paru-paru Asia Tenggara Kian Terjepit