Industri Kelapa Sawit Tengah Dihantam 'Karma', Dipicu Perubahan Iklim?

By Ade S, Jumat, 18 Oktober 2024 | 08:03 WIB
(National Geographic Indonesia/Tuah Sanjaya Ketaren)

Meskipun demikian, janji yang dibuat pada tahun 2010 untuk mengurangi deforestasi dalam rantai pasokan kelapa sawit secara global masih belum sepenuhnya terpenuhi. "Tidak ada yang memenuhi komitmen," papar Hicks.

Dari 304 perusahaan yang melaporkan penggunaan kelapa sawit dalam rantai pasokannya kepada organisasi nirlaba CDP, hanya 15 perusahaan yang mampu memberikan bukti kuat bahwa rantai pasokannya benar-benar bebas dari deforestasi.

Tekanan besar dari Eropa

Tekanan terbesar untuk mendorong industri kelapa sawit agar meningkatkan kinerja lingkungannya saat ini datang dari Uni Eropa, lebih teparnya Brussles.

Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan berlaku efektif pada bulan Desember mendatang mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk membuktikan, dengan menggunakan data yang akurat dan terperinci, bahwa produk kelapa sawit yang mereka jual tidak berkontribusi pada hilangnya hutan.

Buah sawit hasil dari perkebunan mandiri warga di Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. (National Geographic Indonesia/Ade S)

Aturan yang ketat ini telah memicu protes keras dari para pelaku industri kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia. Mereka berargumen bahwa EUDR akan memberatkan para petani kecil yang tidak memiliki sumber daya dan pengetahuan yang cukup untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Beberapa pihak bahkan berharap adanya perubahan politik di Parlemen Eropa dapat melemahkan atau menunda pemberlakuan peraturan ini. "Sehingga EUDR akan dikurangi sebelum diberlakukan," ungkap Hicks.

Sebuah studi mendalam yang dilakukan oleh Zoological Society of London (ZSL) terhadap 100 perusahaan kelapa sawit pada November lalu mengungkap fakta mengejutkan: hanya 12% dari perusahaan-perusahaan tersebut yang secara terbuka mengungkapkan asal-usul geografis dari pasokan bahan baku mereka, termasuk dari petani kecil independen. Informasi ini sangat krusial untuk memverifikasi komitmen mereka dalam menghindari deforestasi.

Ketidaktransparanan ini menjadi kendala besar dalam upaya memenuhi persyaratan pelacakan yang ketat dalam EUDR. Akibatnya, beberapa perusahaan terpaksa memutus hubungan dengan petani kecil atau mengalihkan pasokan mereka ke pasar-pasar yang memiliki regulasi lingkungan lebih longgar, seperti Cina dan India.

Meskipun perusahaan-perusahaan besar konsumen yang menggunakan minyak sawit dalam produk mereka, seperti Mars, Nestle, dan Unilever, telah menetapkan target pengurangan emisi yang ambisius, para pemasok mereka masih tertinggal jauh di belakang.

Baca Juga: Mungkinkah Konsep Minyak Sawit Berkelanjutan Benar-benar Bisa Terwujud?