Nationalgeographic.co.id—Di Zhengzhou, Tiongkok, berdiri sebuah bukti monumental tentang zaman kuno. Sebuah patung dengan tinggi 106 meter mengabadikan dua tokoh legendaris dari cerita rakyat Tiongkok.
Mereka adalah Yandi, “Kaisar Api”, dan Huangdi, yang dipuja sebagai “Kaisar Kuning”. Monumen tersebut dibangun untuk mengenang peran mereka sebagai nenek moyang peradaban Tiongkok.
Keberadaan patung-patung tersebut berfungsi sebagai simbol abadi dari zaman mitos yang membentuk lanskap politik dan ekonomi Tiongkok.
Apakah kedua tokoh itu benar-benar ada atau hanya sosok yang ada di dalam cerita rakyat?
Kisah Yandi diselimuti oleh cerita rakyat mitologis. Namun catatan sejarah tertentu tentang Tiongkok kuno dapat ditelusuri kembali ke masa pemerintahan Huangdi.
Dokumentasi tersebut menyebutkan bahwa Huandi memenangkan pertempuran atas Yandi. Peristiwa penting ini memfasilitasi konsolidasi suku-suku Tiongkok yang berbeda, yang berpuncak pada munculnya Tiongkok yang lebih bersatu.
Pengaruh abadi penguasa kuno ini bertahan dalam budaya Tiongkok kontemporer, yang melambangkan peran integral mereka dalam kelahiran Peradaban Tiongkok.
Warisan kedua penguasa besar ini masih hidup dalam masyarakat Tiongkok modern. Keduanya memiliki dampak abadi pada identitas budaya dan narasi sejarah bangsa.
Mitos Yandi: mengungkap teka-teki Kaisar Api
Yandi, juga dikenal sebagai Kaisar Yan, adalah tokoh legendaris dalam sejarah Tiongkok kuno. Sudah lama diperdebatkan apakah Yandi adalah orang yang sama dengan kaisar dewa mitologi lainnya yang dikenal sebagai Shennong.
“Shennong dianggap berjasa menciptakan masyarakat agraris di Tiongkok kuno,” tulis Veronica Parkes di laman Ancient Origins. Hubungan tersebut berasal dari gelar Yandi atau “kaisar api”, yang digunakan untuk menggambarkan kedua tokoh ini.
Baca Juga: Peran Anjing di Tiongkok Kuno: dari Sahabat Manusia hingga Makanan
Ada yang berpendapat bahwa gelar Yandi diberikan kepada Shennong secara anumerta. Tetapi di sisi lain, tampaknya ada konsensus bahwa keduanya adalah satu kesatuan.
Keduanya cenderung disamakan karena penemuan dan pencapaian yang dikaitkan dengan mereka. Misalnya, keduanya dikaitkan dengan diperkenalkannya api sebagai teknik pembukaan lahan dalam pertanian Tiongkok.
Akan tetapi, ada jalan tengah dalam perdebatan ini yang menyatakan bahwa ada lebih dari satu Kaisar Api. Hal ini menunjukkan bahwa ada suksesi Kaisar Api dengan Shennong sebagai yang pertama. Hingga Yandi terakhir menemui kekalahan di tangan Kaisar Kuning.
Jika ada lebih dari satu Yandi, Kaisar Api terakhir mengakhiri kekuasaannya dalam pertempuran ketiga dari serangkaian tiga pertempuran. Dikenal sebagai Pertempuran Banquan, ini adalah pertempuran pertama dalam sejarah Tiongkok.
Pertempuran tersebut dicatat dalam Record of the Grand Historian karya Sima Qian. Pertempuran ini dianggap sebagai pembentukan Suku Huaxia, yang merupakan dasar Peradaban Tiongkok Han.
Setelah tiga pertempuran besar, Yandi kalah dalam pertempuran dan menyerahkan kepemimpinan kepada Kaisar Kuning. Suku Youxiong dan Shennong kemudian bersekutu, membentuk Suku Yanhuang.
Di bawah kepemimpinan Kaisar Kuning, pasukan gabungan yang baru berperang dengan Chi You dalam Pertempuran Zhuolu. Setelah keluar dari pertempuran ini sebagai pemenang, Suku Yanhuang membangun dominasi budaya dan politik mereka di Tiongkok kuno.
Huangdi, Kaisar Kuning: leluhur bersama orang Tiongkok
Huangdi, atau Kaisar Kuning, adalah dewa di Tiongkok sekaligus salah satu Kaisar Tiongkok legendaris dan pahlawan budaya. Masa pemerintahan Huangdi yang diterima secara luas adalah 2697 hingga 2597 SM, atau 2698 hingga 2598 SM. Ia disebut sebagai pencetus negara terpusat setelah mengalahkan Yandi dan mengonsolidasikan Suku Yanhuang.
Huangdi kini secara luas dianggap sebagai Bapak Peradaban Tiongkok dan sebagai leluhur semua orang Tiongkok. Ia juga dipandang sebagai penguasa kosmik dan pelindung seni esoterik dengan sejumlah besar teks yang dikaitkan dengannya. “Termasuk risalah politik,” tambah Parkes.
Tidak seperti Yandi, Huangdi lebih dipandang sebagai tokoh sejarah daripada tokoh mitologi. Karena itu, Record of the Grand Historian karya Sima Qian dimulai dengan Kaisar Kuning. Sima Qian hanya membahas secara singkat tentang para pendahulunya.
Baca Juga: Kuil Gantung, Keajaiban Arsitektur Tiongkok yang Dibangun di Tebing
Banyak cendekiawan setuju bahwa Kaisar Kuning awalnya adalah sosok yang seperti dewa, mirip dengan Yandi. Namun kemudian ia dianggap sebagai sosok yang historis.
Dalam catatan tradisional Tiongkok, Kaisar Kuning dianggap telah meningkatkan penghidupan para pemburu nomaden di sukunya. Ia mengajari mereka cara membangun tempat berlindung, menjinakkan hewan liar, dan menanam lima biji-bijian. Biji-bijian itu adalah kedelai, gandum, sapu lidi, millet ekor rubah, dan rami atau beras (tergantung versinya).
Akan tetapi, dalam catatan lain, Shennong dikatakan telah membawa hal tersebut ke Tiongkok. Dan jika Shennong dan Yandi memang sosok yang sama, hal ini dapat ditelusuri kembali kepadanya.
Huangdi juga dianggap sebagai penemu kereta, perahu, dan pakaian tertentu. Melanjutkan daftar tersebut, ia juga dikatakan telah menemukan kalender modern, astronomi Tiongkok, perhitungan matematika, dan sistem penulisan karakter Tiongkok. Teknik pewarnaan pakaian, penenunan sutra, serta versi primitif dari sepak bola (cuju) pun diperkenalkan oleh Huangdi.
Menghormati kelahiran Peradaban Tiongkok: mengenang Kaisar Kuning
Kaisar Kuning digambarkan memiliki empat wajah dalam budaya populer, yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan keempat arah. Legenda mengatakan bahwa ia hidup pada abad ke-27 SM.
Setelah memerintah selama lebih dari 100 tahun, ia meninggal dan menjadi abadi setelah menyaksikan kemunculan fenghuang atau burung phoenix Tiongkok. Phoenix merupakan burung abadi dari mitologi Tiongkok.
Makam Kaisar Kuning di Provinsi Shaanxi adalah situs suci yang kaya akan sejarah dan legenda. Diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Huangdi, tempat ini menarik pengunjung yang ingin terhubung dengan budaya dan warisan Tiongkok kuno.
Makamnya dikelilingi oleh pemandangan alam yang tenang. Keberadaan makam ini menjadi bukti warisan abadi dari salah satu tokoh paling dihormati di Tiongkok. Terletak di area yang indah, makam ini dikelilingi oleh ribuan pohon cemara. Banyak di antaranya berusia lebih dari seribu tahun.
Selain makam yang terkenal di Provinsi Shaanxi, ada situs lain di Tiongkok yang mengeklaim sebagai makam Kaisar Kuning. Lokasi-lokasi tersebar di seluruh provinsi seperti Henan dan Hubei.
Hal ini mewakili kepercayaan daerah dan hubungan historis dengan Huangdi. Juga menunjukkan dampak budayanya yang abadi di seluruh Peradaban Tiongkok.
Orang Tiongkok modern menyebut diri mereka sebagai “Keturunan Yan dan Kaisar Kuning”. Namun ada beberapa kelompok minoritas di Tiongkok yang memiliki asal-usul mitosnya sendiri yang tidak melibatkan Huangdi.
Pemujaan Kaisar Kuning, karakter penting dalam kisah kelahiran Tiongkok, dilarang di Republik Rakyat Tiongkok hingga berakhirnya Revolusi Kebudayaan. Larangan ini berlangsung hingga tahun 1980-an. Kemudian pemerintah mengubah pendiriannya, menghidupkan kembali “Kultus Kaisar Kuning”.
Saat ini, Huangdi terus menjadi lambang nasionalis yang kuat, yang melambangkan identitas dan persatuan Tiongkok. Kebangkitannya bertepatan dengan pergeseran budaya dan politik yang lebih luas di Tiongkok. Hal ini mencerminkan penghargaan baru terhadap warisan tradisional di tengah upaya modernisasi.
Kebangkitan kembali Kultus Kaisar Kuning menggarisbawahi interaksi dinamis antara tradisi historis dan nasionalisme kontemporer dalam masyarakat Tiongkok.