Nationalgeographic.co.id—Anda tentu pernah mendengar tentang "teori" bahwa petir tidak pernah menyambar tempat yang sama? Atau mungkin Anda pernah mendengar bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mencium bau hujan?
Mitos-mitos seputar hujan dan petir tersebut menggambarkan bagaimana seolah-olah mereka sudah menjadi bagian dari pengetahuan umum kita.
Namun, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pemahaman kita tentang cuaca telah mengalami revolusi. Fenomena yang dulunya dianggap misterius kini dapat dijelaskan secara ilmiah dan rasional.
Merujuk Rain Viewer, artikel ini akan menggali lebih dalam mengenai mitos-mitos seputar curah hujan yang masih beredar di masyarakat, serta menyajikan fakta-fakta ilmiah terkini yang membantah berbagai anggapan keliru tersebut.
1) Manusia bisa mencium bau hujan
Pernahkah Anda merasakan sensasi segar dan menenangkan saat menghirup udara setelah hujan pertama turun setelah kemarau panjang? Aroma khas itu sering kita sebut sebagai "bau hujan".
Namun, tahukah Anda bahwa aroma yang begitu akrab ini sebenarnya adalah hasil dari proses kimia yang kompleks dan melibatkan beberapa senyawa unik? Untuk lebih jelasnya, mari kita telusuri lebih dalam tentang mitos manis yang satu ini.
Pada tahun 1964, dua ilmuwan Australia, Isabel Joy Bear dan Richard Thomas, berhasil mengungkap rahasia di balik aroma khas setelah hujan.
Dalam artikel di Nature, mereka menemukan bahwa selama musim kemarau, tanaman mengeluarkan minyak berwarna kekuningan yang kemudian tersimpan di dalam tanah dan bebatuan. Ketika hujan turun, minyak esensial ini terlarut oleh air dan menguap ke udara, menciptakan aroma yang kita kenal sebagai petrichor.
Nama petrichor sendiri diambil dari bahasa Yunani, "petros" yang berarti batu dan "ichor" yang merujuk pada cairan abadi para dewa. Namun, petrichor bukanlah satu-satunya komponen yang berkontribusi pada aroma hujan.
Dalam penelitian lebih lanjut terungkap bahwa ada senyawa lain yang berperan penting, yaitu geosmin. Geosmin adalah sejenis alkohol yang dihasilkan oleh bakteri tertentu yang hidup di dalam tanah.
Baca Juga: Efek Pulau Panas Perkotaan: Curah Hujan Kota Lebih Tinggi, Rentan Banjir
Selama periode kering, bakteri ini berada dalam keadaan dorman. Namun, begitu terkena air hujan, mereka akan aktif kembali dan melepaskan geosmin ke udara. Molekul geosmin ini memiliki bau yang sangat khas dan mudah terdeteksi oleh indra penciuman manusia.
Jadi, aroma hujan yang kita nikmati sebenarnya adalah hasil dari perpaduan antara petrichor dan geosmin. Keduanya bekerja sama menciptakan sebuah simfoni aroma yang begitu unik dan menenangkan.
Ketika tetesan hujan pertama menyentuh tanah yang kering, minyak esensial dari tanaman dan geosmin yang dilepaskan oleh bakteri akan bercampur dengan udara, menghasilkan aroma yang begitu khas dan sulit dilupakan.
2) Tetesan hujan selalu berbentuk seperti tetsan air mata
Ketika kita membayangkan tetesan hujan, yang pertama kali terlintas di pikiran adalah bentuk bulat sempurna.
Bayangan ini tidak sepenuhnya salah, karena memang saat pertama kali terbentuk di dalam awan, tetesan hujan cenderung berbentuk bulat akibat gaya tarik-menarik antar molekul air. Namun, perjalanan tetesan hujan dari awan menuju permukaan bumi tidak selalu mulus.
Selama perjalanannya, tetesan hujan akan berinteraksi dengan berbagai faktor yang dapat mengubah bentuknya. Faktor-faktor tersebut antara lain:
* Ukuran tetesan: Tetesan hujan yang lebih kecil akan cenderung mempertahankan bentuk bulatnya karena gaya permukaan yang lebih dominan. Sebaliknya, tetesan hujan yang lebih besar akan mengalami deformasi akibat gaya gesek dengan udara dan gaya gravitasi yang lebih kuat.
* Kecepatan jatuh: Semakin cepat tetesan hujan jatuh, semakin besar gaya gesek yang dialaminya. Gaya gesek ini akan membuat bagian bawah tetesan hujan menjadi lebih pipih, sementara bagian atasnya tetap cenderung bulat.
* Kondisi atmosfer: Turbulensi udara, angin, dan suhu juga dapat mempengaruhi bentuk tetesan hujan. Misalnya, pada kondisi udara yang sangat dingin, tetesan hujan dapat membeku menjadi butiran es sebelum mencapai permukaan bumi.
Salah satu prinsip fisika yang dapat membantu kita memahami bentuk tetesan hujan adalah hukum Stokes. Hukum ini menjelaskan bahwa gaya gesek yang dialami oleh suatu benda yang bergerak di dalam fluida (dalam hal ini, udara) bergantung pada ukuran dan kecepatan benda tersebut.
Baca Juga: Mengungkap Penyebab Banyaknya Petir di Bogor hingga Masuk Rekor Dunia
Akibatnya, semakin besar benda dan semakin cepat gerakannya, semakin besar pula gaya gesek yang dialaminya.
Berdasarkan hukum Stokes, kita dapat menyimpulkan bahwa tetesan hujan yang lebih besar akan mengalami gaya gesek yang lebih besar dibandingkan dengan tetesan hujan yang lebih kecil.
Akibatnya, tetesan hujan yang lebih besar cenderung menjadi lebih pipih atau bahkan pecah menjadi tetesan yang lebih kecil selama perjalanannya.
Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa tetesan hujan berbentuk air mata dapat ada, tetapi tidak semua tetesan hujan berbentuk air mata
3) Petir tidak akan menghantam tempat yang sama
Jika Anda perhatikan dengan seksama, bentuk kilat tidaklah lurus sempurna. Sebaliknya, ia sering kali memiliki jalur yang berkelok-kelok dan bergerigi. Hal ini terjadi karena medan listrik di atmosfer tidak homogen. Udara di sekitar kita mengandung partikel-partikel bermuatan listrik yang distribusi dan konsentrasinya tidak merata.
Akibatnya, kilat cenderung mencari jalur dengan hambatan listrik paling rendah untuk mencapai tanah. Jalur ini tidak selalu merupakan garis lurus menuju titik tertinggi, melainkan dapat mengikuti jalur yang lebih kompleks.
Meskipun jalur kilat tidak selalu lurus dan menuju titik tertinggi, namun objek-objek tinggi memang memiliki peluang lebih besar untuk tersambar. Hal ini disebabkan oleh prinsip dasar listrik, yaitu muatan listrik cenderung berkumpul di ujung-ujung konduktor.
Gedung pencakar langit, menara telekomunikasi, dan pohon tinggi merupakan contoh objek yang rentan tersambar petir karena mereka menjulang tinggi dan menjadi titik fokus bagi muatan listrik di atmosfer.
Namun, perlu diingat bahwa kemungkinan disambar petir tidak hanya ditentukan oleh ketinggian suatu objek. Faktor-faktor lain seperti konduktivitas material, kondisi cuaca, dan medan listrik lokal juga ikut berperan.
Misalnya, sebuah gedung pencakar langit yang dilengkapi dengan sistem penangkal petir akan memiliki risiko tersambar yang lebih rendah dibandingkan dengan gedung yang tidak memiliki perlindungan tersebut.
Baca Juga: Selidik Kota Hujan, Meteorolog Ungkap Kenapa Bogor Kerap Diguyur Hujan
Salah satu mitos yang paling populer tentang petir adalah anggapan bahwa petir tidak akan menyambar tempat yang sama dua kali. Namun, kenyataannya jauh berbeda.
Sebagai contoh, gedung Empire State Building di New York City rata-rata disambar petir sekitar 25 kali dalam setahun. Fakta ini membuktikan bahwa petir tidak memiliki "ingatan" dan dapat menyambar tempat yang sama berulang kali.
4) Jangan menggunakan ponsel saat badai
Radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh ponsel memang ada, namun intensitasnya sangat kecil dibandingkan dengan energi yang terkandung dalam sambaran petir.
Petir adalah pelepasan energi listrik yang sangat besar dalam waktu singkat. Energi yang terkandung dalam satu sambaran petir dapat menyalahi ribuan bola lampu dalam waktu bersamaan. Dibandingkan dengan kekuatan petir, radiasi ponsel bagaikan lilin dibandingkan dengan matahari.
Faktor utama yang menentukan apakah suatu objek akan tersambar petir adalah konduktivitas udara di sekitar objek tersebut. Objek-objek tinggi seperti gedung pencakar langit, pohon, dan tiang listrik cenderung menjadi target sambaran petir karena udara di sekitar objek-objek tersebut memiliki konduktivitas yang lebih tinggi.
Ponsel yang kita genggam tidak memiliki kemampuan untuk mengubah konduktivitas udara secara signifikan sehingga tidak akan menarik petir.
Meskipun ponsel tidak akan menarik petir, namun ada risiko lain yang perlu diwaspadai saat menggunakan perangkat elektronik selama badai petir, yaitu lonjakan tegangan.
Saat petir menyambar di sekitar kita, dapat terjadi lonjakan tegangan pada jaringan listrik. Lonjakan tegangan ini dapat merusak perangkat elektronik, termasuk ponsel, bahkan jika perangkat tersebut tidak tersambar langsung oleh petir.