Pemandu kami menjelaskan bahwa sebenarnya kami bisa melihat hamparan matahari terbenam dengan latar Laut China Selatan, termasuk di antaranya Pulau Lengkuas, Pulau Tanjung Tinggi, hingga Gunung, di tempat yang sama. Sayang, kami tiba sedikit terlambat karena matahari sudah terlalu jauh menyembunyikan dirinya.
Selain Specta Sunset, menurut pengelola, beberapa titik menarik lain yang bisa dinikmati di Bukit Peramun antara lain adalah Jembatan Gantung Merah, Batu Kembar, Mobil Terbang, serta Spot Sunset.
Beberapa saat usai menikmati matahari terbenam dan kembali ke pos pengelolaan, kami diberi kabar paling ditunggu-tunggu, beberapa orang anggota Arsel Community Forest Management, komunitas lokal yang mengelola Bukit Peramun, menemukan seekor tarsius.
Rombongan pun segera dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil. Tujuannya agar tarsius tidak merasa ketakutan karena dikelilingi oleh banyak orang. Selain itu, para peserta pun diperingatkan untuk tidak mengeluarkan suara kencang, tidak menyalakan flash, tidak memberi makan, dan wajib menjaga jarak maksimal hanya 1 meter dari tarsius.
Tidak sampai 5 menit tim berjalan kaki, terlihat beberapa petugas sudah menyalakan lampu khusus yang tidak terlalu terang untuk menunjukkan posisi tarsius yang sedang berada di sebuah batang pohon.
Tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus saltator) yang kerap disebut monyet hantu oleh penduduk setempat merupakan spesies endemik Pulau Belitung yang sangat istimewa. Hewan nokturnal ini memiliki mata besar bulat yang membuatnya terlihat unik dan misterius. Sayangnya, keberadaan tarsius Belitung kini terancam punah.
Sebagai karnivora kecil, tarsius Belitung mengandalkan hutan sebagai habitatnya untuk mencari makan serangga, kadal, atau ular kecil. Namun, aktivitas penebangan hutan yang semakin marak telah merusak habitat mereka. Akibatnya, populasi tarsius Belitung terus menurun.
Berdasarkan data Tarsius Center Indonesia pada tahun 2008, diperkirakan hanya ada sekitar seribu individu tarsius Belitung yang tersisa di alam liar. Status konservasinya pun sangat memprihatinkan, terdaftar dalam Appendix II CITES dan dikategorikan sebagai Endangered oleh IUCN Red List.
Pada hari ketiga atau hari terakhir perjalanan saya di Belitung, saya dan rombongan berlayar menuju Pulau Leebong (atau Lebong). Sebuah pulau yang berjarak sekitar 3 kilometer atau sekitar 3 menit jika berlayar dari daratan utama Belitung, tepatnya dari Tanjung Ru.
Pulau seluas 37 hektar ini, dikelilingi oleh hamparan pasir putih yang luas dan air laut yang tenang. Hutan tropis yang masih alami dengan keunikan daun simpor, serta hutan mangrove, menciptakan suasana yang begitu memesona.
Rumah-rumah pantai yang didesain dengan perpaduan kayu jati dan atap alang-alang, mencerminkan arsitektur tradisional Indonesia yang harmonis dengan lingkungan sekitar. Bagi Anda yang tertarik mencoba tidur di rumah pohon atau di rumah di atas laut, Pulau Leebong pun turut menyediakannya.
Salah satu keunikan Pulau Leebong adalah fenomena alam yang terjadi saat air laut surut. Pulau-pulau pasir muncul di tengah laut, memperlihatkan kehidupan bawah laut yang menakjubkan, seperti bintang laut dan kepiting yang berkeliaran. Saya dan tim berkesempatan mengunjunginya di sore hari.
Perjalanan kami ditutup dengan makan malam yang intim nan syahdu di tepi pantai Pulau Lebong. Lengkap dengan beragam sajian makanan laut yang membuat mulut tak henti berucap "ini enak banget!"