Misteri di Balik Penampakan Hantu, Bagaimana Sains Menjelaskannya?

By Ade S, Jumat, 14 Maret 2025 | 10:03 WIB
Ilustrasi hantu. Photo by Lennart Wittstock: https://www.pexels.com/photo/low-angle-view-of-man-standing-at-night-316681/
Ilustrasi hantu. Photo by Lennart Wittstock: https://www.pexels.com/photo/low-angle-view-of-man-standing-at-night-316681/ (Lennart Wittstock/pexels.com)

Nationalgeographic.grid.id—Banyak dari kita mungkin pernah mendengar cerita seram tentang hantu, atau bahkan mungkin merasa pernah mengalami sendiri pengalaman berhadapan dengan makhluk halus.

Meskipun kisah-kisah ini sering kali mencekam dan membuat bulu kuduk berdiri, penting untuk diingat bahwa hingga saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang secara meyakinkan mendukung keberadaan hantu.

Lantas, mengapa keyakinan tentang penampakan hantu tetap kuat di kalangan sebagian orang? Mengapa ada yang yakin telah melihat atau mendengar kehadiran mereka?

Christopher French, seorang profesor emeritus psikologi dari Goldsmiths, University of London, yang juga seorang pakar dalam studi tentang sains paranormal, menjelaskan fenomena ini dalam bukunya.

Menurut French, seperti dilansir laman Live Science, penampakan hantu sering kali merupakan hasil dari "salah tafsir yang jujur terhadap hal-hal yang sebenarnya memiliki penjelasan alami."

Ia menekankan bahwa ketidakmampuan kita untuk menemukan penjelasan atas suatu kejadian tidak serta merta berarti kejadian tersebut tidak memiliki penjelasan rasional.

Sebagai seorang skeptis yang mendalami penjelasan non-paranormal dari pengalaman berhantu, French mengidentifikasi beberapa faktor psikologis dan kondisi medis yang dapat memicu persepsi tentang hantu.

Faktor-faktor tersebut meliputi halusinasi, yaitu persepsi tentang sesuatu yang sebenarnya tidak ada; ingatan palsu, yaitu ingatan tentang peristiwa yang tidak pernah terjadi; dan pareidolia, yaitu kecenderungan otak untuk melihat wajah atau pola bermakna dalam objek mati atau pola acak.

Otak manusia, dengan segala kompleksitasnya, terkadang dapat membuat kesalahan dalam memproses informasi, terutama ketika dihadapkan pada pengalaman yang ambigu.

Kecenderungan ini semakin kuat ketika seseorang memiliki keinginan yang kuat untuk percaya pada keberadaan hantu atau makhluk legenda lainnya.

Selain faktor psikologis, kondisi medis tertentu juga dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami pengalaman yang dianggap berhantu.

Baca Juga: Ilmuwan Singkap ‘Jeritan Menghantui’ dari Peluit Kematian Aztec Kuno

Salah satu bidang studi French adalah gangguan tidur yang dikenal sebagai kelumpuhan tidur. Dalam kondisi ini, seseorang merasa terbangun sepenuhnya namun tidak dapat bergerak, dan sering kali disertai dengan perasaan kehadiran jahat.

"Seolah-olah pikiran Anda bangun, tetapi tubuh Anda tidak," kata French. "Anda memiliki campuran menarik antara kesadaran bangun normal dan kesadaran mimpi, dan isi mimpi masuk ke kesadaran bangun. Hasilnya bisa sangat menakutkan."

Bagi seseorang yang mengalami kelumpuhan tidur tanpa pengetahuan sebelumnya tentang gangguan ini, asumsi bahwa mereka telah mengalami kejadian supranatural bukanlah hal yang irasional.

Menariknya, bahkan dalam kondisi kelumpuhan tidur, penampakan yang sering muncul bukanlah hantu dalam wujud manusia transparan berbadan penuh seperti yang sering digambarkan dalam film. Sebaliknya, kehadiran yang dirasakan lebih sering berupa sosok bayangan yang samar di sudut ruangan.

Evolusi kepercayaan tentang hantu

Gambaran hantu dalam budaya populer seringkali menampilkan sosok manusia tembus pandang berbadan penuh. Namun, menurut Johannes Dillinger, seorang profesor sejarah modern awal di Oxford Brookes University, penampakan semacam ini sebenarnya hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan laporan pengalaman paranormal.

Dillinger melakukan penelitian mendalam untuk memahami jenis hantu yang dipercayai orang selama berabad-abad dalam masyarakat dan budaya Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa gangguan yang paling sering dilaporkan sepanjang sejarah adalah poltergeist yang tidak terlihat.

Dillinger menjelaskan bahwa selama berabad-abad, "banyak sekali hantu yang sebenarnya hanyalah poltergeist, yang berarti mereka tetap tidak terlihat sepanjang waktu." Keberadaan mereka dirasakan melalui suara-suara aneh, terutama di malam hari, yang sulit dijelaskan sumbernya.

Sebelum tahun 1800, kepercayaan tentang hantu berpusat pada gagasan bahwa hantu memiliki urusan penting yang belum selesai di dunia fana.

Namun, urusan yang dimaksud sering kali bersifat sangat konkret. Dillinger mengungkapkan bahwa "hantu biasanya ingin orang menemukan harta karun mereka dan menggunakannya untuk tujuan baik."

Seiring berjalannya waktu, kepercayaan tentang hantu mengalami pergeseran. Abad ke-19 menjadi saksi kebangkitan spiritualisme, sebuah gerakan yang menekankan keyakinan bahwa manusia dapat berkomunikasi dengan hantu dan roh.

Perubahan ini, menurut Science History Institute, menandai transformasi dalam harapan orang terhadap hantu. Jika sebelumnya hantu dianggap menuntut sesuatu dari orang hidup, maka pada abad ke-19, orang hidup mulai berharap untuk dihibur atau ditenangkan oleh orang mati.

Meskipun terjadi evolusi dalam kepercayaan tentang tujuan dan sifat hantu, satu hal yang tetap konstan adalah peran hantu sebagai penjelasan yang mudah diterima untuk suara-suara misterius di kegelapan.

Dillinger menyimpulkan bahwa pada dasarnya, "hantu benar-benar benda yang berbunyi di malam hari."