Nationalgeographic.co.id—Daerah yang dilanda badai, banjir, dan bencana lainnya menciptakan kemungkinan terjadinya penampakan hantu. Hal ini dipicu oleh kondisi seperti trauma psikologis dan paparan bahan kimia beracun di bangunan yang runtuh.
Setelah kebakaran hutan yang dahsyat, badai topan, dan banjir melanda daerah tertentu, Anda akan mendengar kisah hantu setelah bencana. Di seluruh wilayah yang paling parah dilanda bencana alam, kisah penampakan yang menakutkan dan kehadiran hantu tampaknya menggemakan trauma.
“Kesedihan melakukan hal-hal yang hebat pada otak,” kata Leslie Hartley Gise, seorang ahli dalam psikiatri bencana. “Orang-orang melihat dan mendengar orang yang mereka cintai setelah mereka meninggal,” katanya. “Mereka pikir mereka menjadi gila.”
Namun, para psikolog menyarankan bahwa pertemuan supernatural ini dapat mencerminkan bagaimana orang memproses kehilangan yang sangat besar. Misalnya saat bulan pertama pembatasan sosial akibat pandemi COVID-19 di Inggris Raya. Saat itu Spiritualists’ National Union mengalami peningkatan yang mencolok sebesar 325 persen dalam pendaftaran keanggotaan. Spiritualists’ National Union meyakini bahwa arwah orang mati dapat dihubungi.
Setelah kebakaran Maui, banjir Libya, serta gempa bumi dan tsunami Tohoku, pra penyintas melaporkan kejadian yang tidak dapat dijelaskan. Demikian pula, selama pandemi baru-baru ini, pengusir setan dan penyelidik paranormal melaporkan lonjakan klien yang mencari layanan mereka.
Seiring bencana terus mengubah hidup kita, minat yang meningkat terhadap hal-hal gaib ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kepercayaan terhadap hantu juga akan meningkat?
Bagaimana trauma menciptakan kisah hantu?
Pada tingkat biologis, kesedihan dan trauma dapat memicu pelepasan kortisol dan hormon stres lainnya. Keduanya menyebabkan gejala seperti kurang tidur dan kelebihan sensorik. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan halusinasi yang terasa senyata ingatan yang sebenarnya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa banyak orang yang berduka melaporkan melihat atau mendengar orang yang telah meninggal.
Di daerah bencana, rasa tidak nyata semakin kuat. Suara sirene meraung, lampu berkedip, dan pemandangan sekolah dan jalan yang terbengkalai—semuanya membuat kita gelisah. Semua itu juga membuat kita melihat hal-hal yang tidak ada.
Gise mengatakan para penyintas yang tertekan mungkin merasakan derealisasi atau depersonalisasi. “Mereka merasa dunia tidak nyata atau seperti mereka bukan orang yang dulu. Atau mereka melihat ke cermin dan tidak melihat diri mereka sendiri.” Fenomena ini menunjukkan bahwa alih-alih benar-benar melihat hantu, individu mungkin merasa seperti hantu itu sendiri.
Selain itu, keadaan lingkungan yang dibangun setelah bencana dapat memperburuk perasaan ini. Di daerah yang hancur, bangunan yang runtuh dan lokasi industri yang terbakar dapat melepaskan bahan kimia beracun. Misalnya merkuri, arsenik, atau pestisida. Kontaminan ini dapat meresap ke dalam pasokan air dan menyebabkan halusinasi atau bahkan kejang. Halusinasi dan kejang itu didahului oleh perasaan akan datangnya malapetaka.
Baca Juga: The Haunting of Athenodorus, Kisah Hantu Pertama Zaman Yunani Kuno
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR