Apa Itu Ekonomi Biru yang Diklaim Bisa Jadi Penentu Masa Depan Bumi?

By Ade S, Senin, 12 Mei 2025 | 14:03 WIB
Ilustrasi laut yang menjadi fokus ekonomi biru.
Ilustrasi laut yang menjadi fokus ekonomi biru. (National Geographic)

Nationalgeographic.co.id—Samudra, yang begitu luas meliputi 70% permukaan Bumi, adalah gudang keanekaragaman hayati yang tak ternilai. Lebih dari sekadar ekosistem, lautan juga menjadi penggerak vital bagi ekonomi global melalui beragam aktivitas seperti perikanan, pelayaran, pertambangan, dan banyak industri lainnya.

Namun, peran ekonominya ini seringkali berbenturan dengan kebutuhan mendesak untuk melindungi kehidupan di dalamnya.

Setiap tahun, lautan memberikan kontribusi sekitar AS$2,5 triliun bagi PDB dunia. Bayangkan, jika lautan adalah sebuah negara, ekonominya akan menempati peringkat ketujuh terbesar di dunia.

Ironisnya, sebagian besar aktivitas ekonomi kelautan saat ini bersifat ekstraktif dan menghasilkan polutan, yang justru merusak lautan yang menjadi fondasi keberlangsungan ekonomi itu sendiri.

Kerusakan ini, yang diwujudkan dalam peningkatan kepunahan spesies dan penghangatan perairan, secara inheren mengancam pertumbuhan ekonomi masa depan. Dampaknya meluas, memengaruhi ketahanan pangan, kesehatan manusia, bahkan mengurangi kemampuan vital lautan sebagai penyerap karbon.

Menghadapi tantangan ini, banyak pihak kini menggantungkan harapan pada sebuah konsep yang dikenal luas sebagai "ekonomi biru".

Tiada Ekonomi Sehat Tanpa Lautan yang Sehat

Hingga kini, belum ada satu definisi tunggal yang diterima secara universal mengenai ekonomi biru. Bagi sebagian orang, ini sesederhana merujuk pada semua industri yang terkait dengan kelautan.

Namun, seperti dilansir Dialogue Earth, Bank Dunia memberikan deskripsi yang jauh lebih terperinci dan berorientasi masa depan: "pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian, dan lapangan kerja sambil tetap menjaga kesehatan ekosistem laut."

Jason Scorse, Direktur Center for the Blue Economy di Middlebury Institute of International Studies, berpandangan bahwa untuk benar-benar membawa perubahan, konsep ekonomi biru harus mengadopsi definisi yang menekankan keberlanjutan secara mendalam.

"Banyak organisasi terkemuka benar-benar berusaha mendorong gagasan bahwa ini adalah subkumpulan industri masa depan yang lebih sempit," jelas Scorse, yang menurutnya, "akan ramah iklim dan membantu lautan beregenerasi serta pulih."

Baca Juga: Karbon Biru: Bukan Asia Apalagi Eropa, Pemimpin Ekonomi Biru Datang dari Wilayah Ini

Akar konsep ini sangat kental dengan praktik pengelolaan lingkungan, sesuatu yang telah dipraktikkan oleh masyarakat adat selama berabad-abad demi menjaga keseimbangan alam tempat mereka hidup dan bergantung. Gagasan inti ekonomi biru adalah menggunakan kekuatan ekonomi sebagai alat untuk mencapai tujuan lingkungan tersebut.

Dengan kata lain, ekonomi biru melihat penciptaan lapangan kerja, mitigasi perubahan iklim, inklusi sosial, dan perlindungan keanekaragaman hayati sebagai tujuan yang dapat, dan harus, dicapai secara bersamaan dan saling mendukung.

Sinergi antara ekonomi dan keberlanjutan ini sangatlah jelas. Meskipun ekonomi kelautan potensial menghasilkan sekitar AS$2,5 triliun per tahun, biaya sosial-ekonomi akibat salah urus – misalnya dari penangkapan ikan berlebihan dan polusi – diperkirakan membuat nilai riilnya jauh lebih rendah, mendekati angka AS$1 triliun.

Di sisi lain, High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, sebuah kelompok yang beranggotakan 14 pemimpin dunia saat dibentuk dan kini telah berkembang menjadi 17 anggota (dengan tambahan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis dalam 12 bulan terakhir), meyakini bahwa lautan yang dikelola secara berkelanjutan justru dapat memberikan keuntungan ekonomi yang lebih besar.

Menurut panel ini, pengelolaan yang lebih baik bisa menghasilkan enam kali lebih banyak makanan melalui stok ikan yang pulih dan menciptakan 12 juta lebih banyak lapangan kerja.

Ilustrasi lautan. (Francesco Ungaro/pexels.com)

Panel tersebut juga menemukan bahwa ekonomi biru berpotensi berkontribusi hingga 21% dari total pengurangan emisi yang dibutuhkan dunia untuk membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius pada tahun 2050. Kontribusi ini bisa datang dari perluasan energi angin dan gelombang lepas pantai, peningkatan perlindungan ekosistem pesisir dan laut, serta peningkatan penyimpanan karbon di dasar laut, di antara aktivitas kelautan berkelanjutan lainnya.

Pada intinya, konsep ekonomi biru adalah pengakuan bahwa lautan yang sehat adalah prasyarat mutlak bagi ekonomi yang sehat. Oleh karena itu, keduanya harus dilihat dan dikelola sebagai satu kesatuan yang terintegrasi.

"Ekonomi kelautan berkelanjutan adalah tentang pembangunan ekonomi," tegas Mari Pangetsu, Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia, saat berbicara di Konferensi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2022.

Menerapkan Prinsip dalam Praktik: Apa Saja Sektor Ekonomi Biru?

Agar ekonomi biru benar-benar menjadi kekuatan positif, penting untuk membedakan secara tegas antara industri kelautan yang beroperasi "seperti biasa" dengan industri yang secara aktif bertransformasi menuju keberlanjutan, kata Scorse.

Baca Juga: Ekonomi Biru: Benarkah Investasi Laut Kini Jadi Pusat Strategi Iklim Global?

Sebagai contoh, sebuah industri tidak serta merta menjadi bagian dari ekonomi biru hanya dengan sekadar mengurangi dampak buruknya, misalnya memangkas emisi atau mengurangi tangkapan sampingan, jelasnya. Syarat minimalnya adalah industri tersebut harus menggunakan sumber daya laut secara berkelanjutan, dan idealnya, bahkan turut berperan dalam meregenerasi habitat laut yang rusak.

Kriteria ini secara otomatis menempatkan kegiatan ekstraksi minyak dan gas di luar lingkup ekonomi biru. Sebaliknya, sektor energi angin dan gelombang lepas pantai jelas termasuk di dalamnya. Industri pelayaran konvensional, yang saat ini menyumbang 2,5% emisi global, memang masih jauh.

Namun, berbagai inisiatif dekarbonisasi yang tengah berjalan, misalnya dengan menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, berusaha menggerakkan industri ini mendekat ke arah ekonomi biru.

Sektor perikanan komersial juga dapat bergerak ke arah yang benar, menurut Scorse. Ini mencakup praktik yang beroperasi tanpa subsidi ekonomi yang merusak, mengurangi dampak alat tangkap (seperti penggunaan lampu pada jaring insang untuk menekan tangkapan sampingan), dan mengadopsi kebiasaan penangkapan ikan yang memungkinkan stok pulih (misalnya, membatasi penangkapan di area pemijahan).

Akuakultur kerang dan rumput laut yang berkelanjutan adalah kandidat yang sangat menjanjikan dalam ekonomi biru. Scorse menjelaskan bahwa industri ini mampu menghasilkan makanan dan lapangan kerja dalam jumlah besar – seperti yang telah ditunjukkan oleh proyek budidaya rumput laut yang sudah berjalan selama beberapa dekade di negara-negara seperti Tiongkok, Indonesia, dan Jepang – sambil berpotensi menciptakan habitat pesisir dan membantu mitigasi perubahan iklim.

Ilustrasi laut. (Belle Co/pexels.com)

Sementara itu, bidang konservasi juga semakin menyatu dengan ekonomi biru berkat munculnya sumber pendapatan baru dari perlindungan habitat laut. Ini sangat krusial karena metode konservasi laut tradisional seringkali menimbulkan biaya dalam bentuk hilangnya pendapatan atau mata pencaharian. Namun, dengan menerapkan prinsip ekonomi biru, hal ini dapat berubah.

Sebagai contoh, upaya percepatan restorasi habitat mangrove dan lamun, serta inisiatif global untuk memperluas kawasan lindung laut, kini menawarkan peluang baru. Ini menciptakan lapangan kerja baru dan mendukung mata pencaharian melalui ekowisata dan pasar "karbon biru".

Karbon biru adalah karbon yang secara alami tersimpan di ekosistem laut, dan proyek-proyek karbon biru berusaha menjual penyimpanannya dalam bentuk "kredit" kepada pembeli, seperti perusahaan yang ingin mengimbangi emisi mereka. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) sejauh ini secara resmi hanya mengakui hutan bakau, padang lamun, dan rawa asin sebagai area yang cocok untuk pengelolaan dan perdagangan karbon biru.

Scorse juga menyoroti industri-industri baru lainnya, seperti makanan laut budidaya (juga dikenal sebagai makanan laut berbasis sel atau hasil laboratorium) yang berpotensi mengurangi tekanan pada populasi ikan liar.

Selain itu, ada gerakan besar untuk mengganti "infrastruktur abu-abu" seperti tembok laut dengan "garis pantai alami" yang tidak hanya meningkatkan ketahanan pesisir tetapi juga menciptakan habitat baru dan lapangan kerja baru. "Saya pikir ini akan menjadi industri dengan pertumbuhan besar dalam beberapa dekade mendatang," ujar Scorse.

Baca Juga: Tahun 2025 Diklaim Sebagai Titik Balik Menuju Ekonomi Biru, Ini 4 Alasan Utamanya

Jalan ke Depan

Saat ini, skala ekonomi biru memang masih relatif kecil. "Jika ekonomi kelautan adalah keseluruhan kue, ekonomi biru mungkin hanya 5% dari itu," kata Scorse.

Selain tantangan dalam mengembangkan sektor ini, ada juga tantangan signifikan dalam mewujudkan transisi yang adil. Pertumbuhan pasar akuakultur, misalnya, tidak boleh sampai menyebabkan nelayan tradisional kehilangan mata pencaharian mereka di masa depan. Kendala lain yang nyata adalah pendanaan; banyak inisiatif ekonomi biru, seperti proyek restorasi habitat, seringkali memerlukan modal awal yang besar sebelum dapat menghasilkan keuntungan.

Meskipun demikian, momentum untuk ekonomi biru terus meningkat. Ini diawali dengan beberapa negara yang secara resmi berkomitmen pada prinsip-prinsip ekonomi biru global.

Para pemimpin dunia yang membentuk The High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy pada tahun 2018 telah berjanji untuk mengelola secara berkelanjutan 100% perairan nasional mereka paling lambat tahun 2025, dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan iklim, dan meningkatkan perlindungan laut.

Kini, panel tersebut beranggotakan 17 negara, dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis bergabung dalam 12 bulan terakhir.

Seychelles, Amerika Serikat, dan Uni Eropa juga menunjukkan ambisi yang kuat secara independen melalui cetak biru baru untuk kegiatan ekonomi di perairan mereka.

Inisiatif pendanaan juga mulai berkembang. Dana perwalian multi-donor Bank Dunia, Problue, misalnya, telah membantu puluhan proyek ekonomi biru untuk berjalan. Sementara itu, negara-negara seperti Seychelles, Belize, dan Tiongkok memanfaatkan mekanisme pendanaan inovatif seperti obligasi biru untuk mengumpulkan dana bagi proyek-proyek kelautan.

Beberapa negara juga meluncurkan program "pertukaran utang untuk alam", yang memungkinkan pembatalan sebagian utang luar negeri sebagai imbalan atas investasi nasional dalam proyek-proyek ekonomi biru yang berkelanjutan.

Melihat minat yang meningkat dari investor, UN Sustainable Blue Finance Initiative telah menyusun serangkaian prinsip untuk memandu investasi dan memobilisasi pendanaan yang kredibel di sektor ini.

Langkah-langkah ini hanyalah sebagian dari upaya besar yang diperlukan untuk bertransisi ke ekonomi biru. Ini akan menjadi tantangan monumental. Namun, para pendukungnya sangat yakin bahwa potensi manfaat yang ditawarkan bagi ekosistem laut, ekonomi global, dan stabilitas iklim kita menjadikan ekonomi biru sebagai tujuan yang sangat penting untuk dicapai.

"Tujuannya adalah suatu hari nanti, ekonomi kelautan dan ekonomi biru menjadi satu dan sama," pungkas Scorse.

--

Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!