Nationalgeographic.co.id - Wae Rebo merupakan desa tua di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jika berkunjung ke sini, Anda akan melihat rumah-rumah tradisional khas Manggarai serta memiliki pengalaman berbaur dengan warga lokal.
Di desa Wae Rebo, berdiri mbaru niang—bangunan tradisional dengan atap kerucut dan arsitektur yang unik. Terdapat tujuh rumah adat mbaru niang di sana. Atap kerucutnya memiliki diameter sekitar 12-15 meter dengan tinggi 8-10 meter yang menjuntai dan hampir menutupi seluruh rumah.
Mbaru niang sendiri terbuat dari beberapa jenis rumput, dan dilapisi ijuk atau serat pohon palem. Bahan-bahan ini dipilih agar rumah mereka kuat menahan serangan angin dan air hujan.
Hingga kini, mbaru niang masih digunakan untuk berkumpul, melakukan ritual, dan berdoa bersama setiap Minggu pagi.
Desa di atas awan
Untuk mencapai Wae Rebo, Anda perlu mendaki selama tiga jam. Namun, jangan khawatir, Anda tidak akan merasa lelah karena pemandangan sekitarnya sangat menakjubkan: hutan hujan hijau yang mengelilinginya merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang indah.
Beragam tanaman seperti anggrek, pohon palem, dan pakis, akan Anda temui sepanjang perjalanan. Tak ketinggalan, suara kicau burung yang merdu pun menuntun langkah Anda menuju Wae Rebo.
Berdiri di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, Wae Rebo kerap disebut sebagai 'desa di atas awan'. Hampir setiap pagi, kabut-kabut tipis menyelimuti desa ini--memberikan kesan magis sekaligus menenangkan.
Keramahan warga lokal
Sesampainya di Wae Rebo, Anda tidak hanya disambut oleh rumah adat dan pemandangan indah, tetapi juga penghuninya yang ramah.
Di Wae Rebo, ada upacara sambutan bernama Waelu. Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan selamat datang kepada turis atau wisatawan dan dipimpin oleh ketua suku. Selain penyambutan, melaui upacara Waelu, Anda juga diberkati dengan doa-doa kebaikan dan keselamatan saat tinggal di Wae Rebo.
Meski berada di lokasi terpencil, tetapi Anda tidak akan bosan di sini. Anda bisa bergabung dan beraktivitas layaknya penduduk lokal.
Baca Juga : Hijaunya Ubud yang Menenteramkan Tubuh dan Jiwa
Sejak pagi hari, warga Wae Rebo mulai sibuk menanam biji kopi dan mengolahnya. Dan meskipun menenun bukan kegiatan utama di sini, tetapi Anda masih bisa menemukan beberapa wanita yang menenun kain songket.
Yang paling menarik, wisatawan diperbolehkan untuk bermalam di mbaru niang, bersosialisasi, dan makan malam bersama penduduk asli. Anda akan tidur di atas tikar dan merasakan bagaimana kehidupan di Wae Rebo. Kehangatan tinggal satu atap dengan penduduk lokal tidak akan bisa Anda lupakan.
Cara menuju ke Wae Rebo
Desa Wae Rebo dapat dicapai menggunakan pesawat menuju Labuan Bajo. Selanjutnya, perjalanan akan ditempuh melalui jalur darat.
Dari Labuan Bajo, Anda harus pergi ke Ruteng—dengan perkiraan waktu tempuh perjalanan sekitar empat jam. Sampai di Ruteng, Anda masih harus pergi ke Denge, desa terdekat dengan Wae Rebo.
Dari Denge ke Wae Rebo, perjalanan tidak dapat dilakukan menggunakan kendaraan, sehingga Anda harus mendaki selama tiga jam. Namun, jangan khawatir, meskipun jalanan sedikit menanjak dan terjal, tetapi Anda akan ditemani oleh pemandangan yang indah.
Di jalur pendakian, juga tersedia tiga pos peristirahatan. Pos pertama bernama Wae Lomba, yang jaraknya kurang lebih satu jam perjalanan dari Denge. Selanjutnya, Anda akan menemukan pos Pocoroko, dan yang terakhir adalah Nampe Bakok. Di pos ketiga, Anda bisa menikmati pemandangan pegunungan sebelum menginjakkan kaki di desa Wae Rebo.
Tertarik untuk mencari informasi lebih lengkap dan beragam mengenai Wae Rebo? Tidak perlu khawatir, pesona.travel menyediakan banyak informasi terkait.
Baca Juga : Melihat Rumah Adat dan Kain Tenun Khas Kampung Adat Prailiu
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR