Terlebih ketika adanya Sekolah Apung, sekolah yang dibangun di atas sungai dan dapat berpindah. Mereka pun semakin giat belajar. Dampaknya, sekolah harus membagi kelas menjadi dua jenis, Paket dan Non-Paket. Kelas Paket berisi anak-anak usia yang lebih tua dan dianggap mampu mengikuti ujian Paket A. Sebanyak enam anak sudah didaftarkan untuk ujian tahun depan.
Baca Juga : Jaich Maa, Rumah Bagi Ekosistem Baru di Dasar Laut yang Gelap
Layaknya bel sekolah, Bu Reny akan setengah berteriak untuk mengumpulkan anak-anak di sekolah. “Kocan, Amel, pakai sandal, nak!” serunya pada kakak beradik yang bermain berlarian di depan hunian mereka. Pagi itu, hanya ada sembilan orang anak yang hadir. Sisanya, ikut orang tua ‘ke laut’, istilah yang digunakan untuk mereka yang mencari ikan di sungai besar.
Anak-anak antusias belajar tentang ciri-ciri makhluk hidup, dilanjutkan dengan berhitung. “Dulu, mereka bahkan tidak tahu apa itu uang. Mereka tidak bisa membaca nominal uang,” tutur Bu Reny.
Bagi sebagian orang, dua tahun adalah waktu yang tidak singkat. Namun bagi anak-anak SAD, dua tahun adalah waktu yang singkat yang mengubah hidup mereka. 17 Agustus 2017 menjadi kali pertama bagi mereka melaksanakan upacara bendera. Mereka tidak tahu apa itu Indonesia dan perayaan kemerdekaan. Semula, mereka tidak mengenal cita-cita. Kini mereka bisa membayangkan pekerjaan lainnya di luar sana. Anggi ingin jadi polwan, Gina ingin jadi perancang busana, Baim ingin jadi tentara, sedangkan Adi ingin menjadi seorang astronaut.
“Sekarang, aku ingin jadi fotografer seperti omnya!” seru Adi.
Tidak Putus Harapan
Banyak yang pesimis akan misi menanamkan pendidikan bagi anak-anak SAD. Namun upaya ini akan terus dilanjutkan. Saat ini, mereka tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada sungai dan hutan. Pembelajaran dasar seperti baca, tulis, dan berhitung, setidaknya mulai mendekati kehidupan mereka. Pengalaman orang tua mereka yang ditipu saat menjual ikan hasil tangkapan atau saat diminta menyetujui dokumen bantuan palsu dari oknum tidak bertanggung jawab, bisa dihindari.
Baca Juga : Berolahraga di Tanjung Lesung, Wisata Sambil Mengolah Tubuh
“Anak-anak adalah kelanjutan hidup mereka bersama,” kata Bu Reny. Dalam usianya yang masih muda, 23 tahun, ia memiliki kesadaran sosial tinggi untuk melakukan hal ini sepenuh hati. Dua minggu sekali, ia akan pulang ke rumahnya di Jambi selama satu atau dua hari untuk bertemu keluarga sambil membawa barang-barang yang diperlukan bagi anak-anak Suku Anak Dalam. Alat tulis, buku, atau pakaian.
“Tidak selamanya, saya bisa terus di sini. Pengajar pun membutuhkan penerus.” Bu Reny akan berangkat ke Australia untuk belajar Social Development di University of Melbourne pada Juli 2019. Penggantinya, Bu Putri, yang dulunya sesekali datang untuk mengajar, mulai ikut tinggal bersama SAD. Mereka tergabung dalam komunitas Sobat Eksplorasi Anak Dalam (SEAD). Organisasi ini digandeng oleh CSR JOB Pertamina-Talisman Jambi Merang untuk menanamkan pendidikan yang didukung oleh fasilitas penghidupan yang layak - seperti hunian sehat dan air bersih, bagi Suku Anak Dalam.
Penulis | : | Amalia Nanda |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR