Nationalgeographic.co.id - Sebuah kerajaan atau kekaisaran, ketika mengalami kegagalan dan kemunduran biasanya dikaitkan dengan kegagalan sang pemimpin. Atau juga dikaitkan dengan kalahnya kekuatan terhadap pihak lawan.
Namun, sebuah penelitian mencoba sudut pandang lain atas peristiwa tersebut. Mereka mengaitkannya dengan perubahan iklim. Tidak hanya itu, para peneliti juga mencoba mengaitkan perubahan iklim dengan peristiwa sejarah.
Penelitian kemudian mempelajari perubahan suhu dan curah hujan di Eropa selama beberapa tahun. Penelitian ini kemudian menggambaran hubungan iklim dengan masyarakat. Ulf Büntgen, seorang paleoklimatolog asal Swiss Federal Institute di Zurich, bersama timnya berkolaborasi dengan para arkeolog untuk membuat pusat data yang terdiri dari 9.000-an potongan kayu dari 2.500 tahun silam.
Baca Juga : Meski Tak Punya Telinga, Tanaman Dapat Mendengar dengan Baik
Sampel ini berasal dari pohon hidup, sisa-sisa bangunan, dan artefak kayu lainnya. Semua sampel yang diteliti ini berasal dari Prancis dan Jerman.
Dengan mengukur luas cincin pertumbuhan tahunan kayu, tim peneliti dapat menentukan suhu dan curah hujan dalam setiap tahun. Untuk mendapatkan suhu tahunan, para peneliti mengukur lingkaran-lingkaran dalam kayu dari pohon konifer yang tumbuh lebih cepat saat musim panas, dan lebih lambat saat musim dingin datang.
Sementara itu, untuk memperoleh data mengenai tingkat curah hujan, para peneliti melihat lebar lingkaran di pohon oak yang tumbuh lebih cepat saat curah hujan tinggi. Mereka juga menggunakan metode lain untuk memastikan tahun-tahun yang diwakili lingkaran-lingkaran itu.
Data menunjukkan iklim memengaruhi budaya dengan cara yang dramatis.
Setelah melakukan kajian mendalam dari data-data tadi, para peneliti menemukan bahwa perubahan iklim yang kita alami saat ini belum pernah terjadi dalam 2.500 tahun terakhir. Karena data yang dikumpulkan dapat menghubungkan pola cuaca dengan tahun tertentu, para peneliti juga dapat memastikan cuaca dengan momen tertentu dalam sejarah. Data menunjukkan iklim memengaruhi budaya dengan cara yang dramatis.
Salah satu contohnya adalah pergeseran tidak biasa terhadap pola cuaca yang ekstrem antara tahun 250 hingga 550, bertepatan dengan periode pergolakan politik dan ekonomi di Eropa. Pola cuaca kembali stabil sekitar tahun 700 sampai 1000, ketika masyarakat kembali berkembang di pinggiran barat laut Eropa. Pada sekitar tahun yang sama, koloni Nordik berkembang di Islandia dan Greenland.
Tidak hanya itu, iklim juga diduga memiliki peran dalam epidemi Black Death yang menewaskan setengah populasi Eropa pada tahun 1347. Selama puluhan tahun menjelang wabah ini, penelitian menunjukkan terjadinya musim panas yang lembab dan cuaca dingin. Kondisi ini memungkinkan terciptanya kondisi kelaparan yang meluas dan memburuknya tingkat kesehatan. Akibatnya, orang-orang mudah terjangkit wabah.
Cuaca basah berkepanjangan hingga 300 tahun yang mendorong persebaran wabah pes pada abad pertengahan, bertepatan dengan kemerosotan Kekaisaran Romawi. Contoh lainnya, kondisi cuaca dingin pada awal abad ke-17 yang bertepatan dengan Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.
Pada masa perang ini banyak orang kemudian meninggalkan Eropa dan bermigrasi ke Amerika. "Mereka pergi bukan karena ada perang, tapi karena cuaca dingin. Namun, kepindahan tidak banyak membantu. Masyarakat telah banyak terkena dampak pergolakan politik dan mereka mendapat penderitaan tambahan dari musim panas yang dingin," ujar Büntgen.
Baca Juga : Dunia Didominasi oleh Serangga, Bagaimana Mereka Bisa Melakukannya?
Lebih lanjut Büntgen menegaskan bahwa penemuan korelasi ini tidak membuat perubahan iklim menjadi penyebab sejumlah peristiwa sejarah. "Ini tidak memberi prediksi apa pun. Namun, ini membantu kita kapan harus mempertimbangkan sesuatu," tutur Büntgen. Dia menambahkan, dengan melihat masa lalu, penelitian ini dapat membantu masyarakat mempersiapkan diri dengan lebih baik mengenai perubahan iklim di masa mendatang.
"Kita perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang sistem iklim masa lalu dan keberagamannya untuk memahami situasi saat ini," pungkasnya.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR