Penulis: Fran Smith / Fotografer: Max Aguilera-Hellweg
Nationalgeographic.co.id - Kita semakin memahami rasa ketagihan yang mendorong kebiasaan merugikan—dan bagaimana sains dapat membantu melawannya.
Patrick Perotti mencibir saat ibunya bercerita tentang dokter yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk mengobati kecanduan akibat narkoba.
Perotti, yang berumur 38 tahun dan tinggal di Genoa, Italia, mulai menghirup kokaina saat 17 tahun. Kegemarannya perlahan-lahan menjadi kebiasaan harian, lalu keharusan yang menguasai diri. Dia jatuh cinta, punya anak, dan membuka restoran. Akibat terbebani oleh kecanduannya, keluarga dan bisnisnya ambruk.
Baca Juga : Laut Dunia Semakin Menghangat, Gelombang Kuat Ancam Warga Pesisir
Dia menginap tiga bulan di pusat rehabilitasi dan kambuh 36 jam setelah keluar dari sana. Dia menjalani program lain selama delapan bulan, tetapi pada hari kepulangannya, dia bertemu dengan penjual narkoba dan teler. “Saya mulai sering memakai kokaina,” katanya. “Saya menjadi paranoid, terobsesi, gila. Saya tidak bisa melihat cara untuk berhenti.”
Ketika didesak ibunya untuk menelepon dokter itu, Perotti akhirnya menurut. Dia diberi tahu bahwa dia hanya perlu duduk seperti di kursi dokter gigi dan membiarkan dokter itu, Luigi Gallimberti, memegang perangkat di dekat sisi kiri otaknya, dengan teori bahwa hal itu dapat meredam hasratnya memakai kokaina. “Pilihannya hanya tebing atau Dr. Gallimberti,” dia mengenang.
Gallimberti, psikiater dan ahli toksikologi yang mengobati ketagihan selama 30 tahun, memimpin klinik di Padua. Keputusannya untuk mencoba teknik itu, disebut stimulasi magnetis transkranial (TMS), berasal dari kemajuan drastis dalam sains tentang kecanduan—dan dari rasa frustrasinya dengan pengobatan tradisional. Obat bisa membantu orang berhenti minum alkohol, merokok, atau memakai heroin. Namun, kambuh sering terjadi, dan tak ada obat medis yang efektif untuk kecanduan pada stimulan seperti kokaina. “Amat sulit mengobati pasien seperti ini,” katanya.
Lebih dari 200.000 orang di seluruh dunia meninggal setiap tahun akibat overdosis narkoba dan penyakit terkait narkoba, seperti HIV, menurut United Nations Office on Drugs and Crime, dan jauh lebih banyak lagi yang meninggal akibat merokok dan minum alkohol. Lebih dari satu miliar orang merokok, dan tembakau terlibat dalam lima penyebab kematian terbanyak: penyakit jantung, stroke, infeksi pernapasan, penyakit paru obstruksi kronik, dan kanker paru. Hampir satu dari 20 orang dewasa di seluruh dunia kecanduan alkohol. Belum ada yang menghitung jumlah orang yang kecanduan berjudi dan kegiatan kompulsif lain yang semakin diakui sebagai kecanduan.
Baca Juga : Sejarah Dim Sum, Camilan Khas Kanton yang
Para ilmuwan memperoleh gambaran terperinci, tentang cara kecanduan mengganggu jalur dan proses tubuh yang mendasari hasrat, pembentukan kebiasaan, kesenangan, pembelajaran, pengaturan emosi, dan kognisi. Kecanduan menyebabkan ratusan perubahan dalam anatomi, susunan kimia, dan sinyal antar-sel pada otak, termasuk celah di antara neuron yang bernama sinapsis, yang merupakan mekanisme belajar pada molekul. Dengan memanfaatkan keluwesan otak yang luar biasa, kecanduan mengubah sirkuit saraf untuk mengutamakan kokaina atau heroin atau gin, dengan mengorbankan kepentingan lain seperti kesehatan, pekerjaan, keluarga, bahkan nyawa.
“Boleh dibilang, kecanduan adalah bentuk belajar yang sakit,” kata Antonello Bonci, ahli ilmu saraf di National Institute on Drug Abuse.
Gallimberti merasa terkesan saat membaca artikel koran tentang eksperimen yang dilakukan Bonci dan rekan-rekannya di NIDA dan University of California, San Francisco. Mereka mengukur aktivitas listrik di neuron pada tikus pecandu kokaina dan menemukan bahwa wilayah otak yang terlibat dalam menahan perilaku ternyata terlalu diam. Para peneliti mengaktifkan sel-sel lesu ini pada tikus tersebut. “Minat tikus-tikus itu pada kokaina praktis lenyap,” kata Bonci. Para peneliti meyakini bahwa merangsang wilayah otak manusia yang bertugas menahan perilaku, di korteks prefrontal, dapat meredam hasrat tak terpuaskan pecandu untuk teler.
Gallimberti merasa TMS dapat menjadi cara praktis untuk melakukan itu. Otak kita beroperasi dengan adanya impuls listrik yang melesat di antara neuron setiap kali kita berpikir dan bergerak. Stimulasi otak, yang sudah bertahun-tahun digunakan untuk mengobati depresi dan migrain, memanfaatkan sirkuit itu. Perangkat itu hanya berupa kumparan kawat di dalam tongkat. Saat dijalari arus listrik, tongkat itu menghasilkan denyut magnetis yang mengubah aktivitas listrik di otak. Gallimberti berharap, denyut berulang akan mengaktifkan jalur saraf yang rusak oleh obat, seperti reboot pada komputer yang macet.
Baca Juga : Penampakan Pertama dari Hotel Luar Angkasa yang Akan Diluncurkan Pada 2021
Dia dan rekannya, psikolog neurokognitif Alberto Terraneo, bekerja sama dengan Bonci untuk menguji teknik ini. Mereka merekrut sekelompok pecandu kokaina: Enam belas orang menjalani sebulan stimulasi otak, sementara tiga belas orang mendapat perawatan standar, termasuk obat untuk kecemasan dan depresi. Pada akhir eksperimen, sebelas orang di kelompok stimulasi, tetapi hanya tiga di kelompok satunya, terbebas dari obat.
Para penyelidik menerbitkan temuan ini dalam edisi Januari 2016 jurnal European Neuropsychopharmacology. Ini memicu banjir publisitas, yang memikat ratusan pemakai kokaina ke klinik itu. Perotti datang dalam keadaan gugup dan gelisah. Setelah sesi pertama, katanya, dia merasa tenang. Tak lama kemudian, hasratnya untuk kokaina hilang. Enam bulan kemudian masih lenyap. “Ini perubahan total,” katanya. “Saya merasakan semangat dan hasrat hidup yang sudah lama tak dirasakan.”
Perlu eksperimen besar dengan kendali plasebo untuk membuktikan bahwa perawatan ini berhasil dan manfaatnya langgeng. Tim berencana melakukan kajian lebih lanjut, dan peneliti di seluruh dunia sedang menguji stimulasi otak untuk membantu orang berhenti merokok, minum alkohol, berjudi, lewah makan (binge eating), dan menyalahgunakan opioid. “Teknik ini begitu menjanjikan,” kata Bonci. “Kata para pasien, ‘Dulu kokaina bagian jati diri saya. Sekarang hanya masa lalu yang tak lagi mengendalikan saya.’”
Dulu, konsep memperbaiki struktur otak untuk melawan kecanduan tentu terasa muluk. Tetapi, kemajuan dalam ilmu saraf telah menjungkirkan pemikiran konvensional tentang kecanduan—definisinya, pemicunya, dan mengapa berhenti begitu sulit. Jika membuka buku teks kedokteran 30 tahun silam, kita tentu membaca bahwa kecanduan adalah ketergantungan pada zat dengan toleransi kian tinggi, sehingga memerlukan makin banyak zat itu untuk merasakan efeknya dan menimbulkan sakau yang menyiksa saat pemakaian dihentikan. Ini cukup menjelaskan alkohol, nikotin, dan heroin. Tetapi, tidak pas untuk ganja dan kokaina, yang biasanya tidak menimbulkan gigil, mual, dan muntah seperti sakau heroin.
Model lama juga tidak menjelaskan aspek kecanduan yang mungkin paling jahat: kambuh.
Laporan Surgeon General menegaskan pendapat kalangan ilmiah selama bertahun-tahun: kecanduan itu penyakit, bukan kelemahan moral. Penyakit ini belum tentu dicirikan oleh ketergantungan fisik atau sakau, tetapi oleh pengulangan kompulsif suatu kegiatan meskipun merusak hidup. Pandangan ini menyebabkan banyak ilmuwan menerima gagasan yang dulu dianggap menyimpang, bahwa kecanduan dapat terjadi tanpa narkoba.
Revisi terbaru Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, buku pegangan psikiatri Amerika, untuk pertama kalinya mengakui kecanduan perilaku: judi. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa banyak godaan hidup modern—makanan rendah-gizi, belanja, ponsel—berpotensi adiktif karena memiliki efek dahsyat pada sistem imbalan otak, yaitu sirkuit yang mendasari ketagihan.
“Kita semua adalah detektor imbalan yang canggih,” kata Anna Rose Childress, ahli ilmu saraf klinis di Center for Studies of Addiction di University of Pennsylvania.
Selama bertahun-tahun, Childress dan ilmuwan lain berusaha menguak misteri kecanduan dengan mempelajari sistem imbalan. Dalam sebagian besar penelitian Childress, pecandu narkoba dimasukkan ke tabung mesin pencitraan resonansi magnetis (MRI), yang melacak aliran darah di otak untuk menganalisis aktivitas saraf. Melalui algoritme kompleks dan kode warna, pindaian otak dikonversi menjadi gambar yang menunjukkan sirkuit mana saja yang sangat aktif ketika otak menagih.
Childress duduk di komputer, melihat-lihat galeri gambar otak. “Saya bisa berjam-jam melihat gambar otak, dan memang saya lakukan,” katanya. “Gambar ini anugerah kecil. Bahwa kita bisa memvisualisasikan keadaan otak, itu dahsyat sekaligus berbahaya.
Sistem imbalan, yaitu bagian primitif otak yang tidak terlalu berbeda pada tikus, bertugas untuk memastikan kita mencari hal-hal yang kita perlukan, dan menunjukkan pemandangan, suara, dan bau yang mengarahkan kita ke hal-hal itu. Sistem ini beroperasi di wilayah insting dan refleks, yang terbentuk ketika bertahan hidup tergantung pada kemampuan memperoleh makanan dan seks sebelum kalah cepat dengan pesaing. Tetapi, sistem ini dapat membuat kita tersandung di dunia yang menyajikan peluang siang-malam untuk memenuhi hasrat kita.
Hasrat tergantung pada sederet tindakan otak yang kompleks, tetapi ilmuwan meyakini bahwa pemicunya adalah lonjakan neurotransmiter yang bernama dopamin. Pesuruh kimiawi yang membawa sinyal melintasi sinapsis, dopamin memegang beragam peran di otak. Hal yang paling relevan dalam kecanduan, aliran dopamin memperkuat hal yang disebut ilmuwan sebagai salience, atau tarikan motivasional suatu stimulus. Setiap narkoba yang disalahgunakan memengaruhi kimia otak dengan cara berbeda-beda, tetapi semuanya menaikkan tingkat dopamin jauh di atas rentang alami.
Baca Juga : Belajar Membaca dan Kaitannya dengan Belajar Musik Sejak Dini
Mari kita lihat efek samping aneh dari obat yang meniru dopamin alami dan digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson. Penyakit ini merusak sel yang memproduksi dopamin, terutama memengaruhi gerak. Otak pengganti dopamin dapat meringankan gejala penyakit itu, tetapi sekitar 14 persen pasien Parkinson yang menggunakan obat ini menjadi kecanduan judi, belanja, pornografi, makan, atau obatnya sendiri.
Melalui pembelajaran, sinyal atau tanda pengingat imbalan mulai memicu lonjakan dopamin. Itu sebabnya aroma kue yang sedang dipanggang di oven, bunyi tanda masuk SMS, atau obrolan yang terdengar lewat pintu bar yang terbuka, dapat membetot perhatian seseorang dan memicu hasrat. Childress menunjukkan bahwa, untuk merangsang sistem hadiah pecandu, suatu sinyal tidak perlu tercatat secara sadar oleh si pecandu. Dalam kajian yang diterbitkan dalam PLoS One dia memindai otak 22 pecandu kokaina yang sedang dalam proses penyembuhan, sementara foto pipa kokaina dan pernak-pernik narkoba lain ditampakkan sekilas selama 33 milidetik, sepersepuluh waktu kedipan mata. Mereka tidak secara sadar “melihat” sesuatu, tetapi gambar itu mengaktifkan bagian sirkuit imbalan yang sama dengan yang dirangsang oleh narkoba yang terlihat.
Menurut pandangan Childress, temuan ini mendukung cerita yang didengarnya dari para pasien kokaina yang kambuh, tetapi tak bisa menjelaskan apa penyebabnya. “Mereka berjalan-jalan di lingkungan yang biasanya terdapat sesuatu yang mengingatkan pada kokaina,” katanya. “Mereka seperti dipersiapkan untuk kambuh, sistem hadiah purba itu digelitik. Ketika mereka mulai menyadarinya, proses kambuh sudah seperti bola salju yang menuruni bukit.”
Otak, tentu saja bukan sekadar organ yang memproses imbalan. Otak memuat mesin paling canggih yang dihasilkan evolusi untuk berpikir, menimbang risiko, dan mengendalikan hasrat liar. Mengapa hasrat dan kebiasaan bisa mengalahkan akal, niat baik, dan kesadaran tentang kerugian dari kecanduan?
“Ada iblis tangguh yang mengacau kita,” kata seorang lelaki tegap yang bersuara menggelegar dan mengisap kokaina secara teratur.
Dia sedang berpartisipasi dalam kajian di lab Rita Z. Goldstein, profesor psikiatri dan ilmu saraf, tentang peran pusat kendali eksekutif otak, yaitu korteks prefrontal. Sementara pemindai merekam aktivitas otaknya, dia akan melihat gambar kokaina dengan perintah untuk membayangkan kesenangan atau bahaya yang ditimbulkan setiap gambar. Goldstein dan timnya menguji apakah umpan balik saraf, yang membantu orang mengamati aktivitas otaknya, dapat membantu pecandu lebih mengendalikan kebiasaan kompulsif.
“Saya terus berpikir, kok bisa saya membuang uang sebanyak itu untuk narkoba itu,” kata lelaki itu saat diantar ke mesin MRI.
Pencitraan saraf Goldstein membantu memperluas pemahaman tentang sistem imbalan otak, dengan cara mempelajari kaitan antara kecanduan dengan korteks prefrontal dan wilayah korteks lainnya. Perubahan dalam bagian otak ini memengaruhi pertimbangan, kendali-diri, dan fungsi kognitif lain yang terkait dengan kecanduan. “Imbalan itu penting pada awal siklus kecanduan, tetapi respons terhadap imbalan semakin berkurang seiring gangguan itu berlanjut,” katanya. Pecandu biasanya terus memakai narkoba untuk menghapus penderitaan batin yang dirasakannya saat berhenti memakai.
Baca Juga : Kisah Janda-janda di India yang Ditelantarkan dan Dianggap Sebagai Nasib Buruk
Pada 2002, bekerja sama dengan Nora Volkow, yang kini direktur NIDA, Goldstein menerbitkan hal yang menjadi model kecanduan yang berpengaruh, disebut iRISA, atau pengendalian respons dan penilaian kepentingan yang terganggu. Nama yang sulit untuk konsep yang cukup sederhana. Saat sinyal narkoba semakin menonjol, medan perhatian menyempit. Kemampuan otak untuk mengendalikan perilaku di depan sinyal itu pun berkurang.
Goldstein menunjukkan bahwa secara keseluruhan, materi kelabu di korteks prefrontal pecandu kokaina lebih kecil volumenya (suatu kelemahan struktur yang terkait dengan kelemahan fungsi eksekutif otak) dan hasil tes mereka berbeda dengan orang non-pecandu pada uji psikologis tentang ingatan, perhatian, pengambilan keputusan, dan pemrosesan hadiah non-narkoba seperti uang. Hasil mereka umumnya lebih buruk, meski tidak selalu. Tergantung konteksnya.
Misalnya, pada tugas standar yang mengukur kefasihan—sebutkan hewan ternak sebanyak-banyaknya dalam satu menit!—pecandu mungkin kalah. Tetapi, ketika Goldstein meminta mereka menyebutkan kata-kata yang terkait dengan narkoba, hasil mereka cenderung lebih baik daripada orang lain. Pemakai narkoba kronis biasanya mahir merencanakan dan melaksanakan hal-hal yang melibatkan pemakaian narkoba, tetapi bias ini dapat melemahkan proses kognitif lain, termasuk mengetahui cara dan waktu berhenti memakai. Gangguan perilaku dan otak kadang tidak semenonjol gangguan otak lain, dan lebih dipengaruhi oleh situasi.
“Kami rasa inilah salah satu penyebab kecanduan adalah salah satu gangguan terakhir yang diakui sebagai gangguan otak,” katanya.
Lab Goldstein menemukan bukti menarik bahwa wilayah otak depan mulai sembuh ketika orang berhenti memakai obat. Sebuah kajian tahun 2016 melacak 19 pecandu kokaina yang telah berpantang atau mengurangi pemakaian secara drastis selama enam bulan. Volume materi kelabu mereka tampak membesar secara signifikan di dua wilayah yang terlibat dalam menghambat perilaku dan menilai imbalan.
Marc Potenza melangkah di kasino Venetian yang luas di Las Vegas. Potenza, psikiater yang ramah dan energetik di Yale University dan direktur Program for Research on Impulsivity and Impulse Control Disorders di universitas itu. Dia menuruni eskalator dan melewati lorong panjang ke ruang pertemuan yang tenang di Sands Expo Convention Center. Di sinilah dia akan menyajikan penelitiannya tentang kecanduan judi kepada sekitar seratus ilmuwan dan klinisi.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh National Center for Responsible Gaming, kelompok yang didukung industri yang mendanai penelitian judi yang dilakukan oleh Potenza dan lainnya. Pertemuan itu diadakan pada hari sebelum konvensi raksasa industri judi, Global Gaming Expo. Potenza berdiri di mimbar, berbicara tentang integritas materi putih dan aliran darah korteks pada otak penjudi. Di luar ruangan itu, para peserta pameran sedang memasang poster yang menggembar-gemborkan inovasi yang dirancang untuk mengalirkan dopamin pada generasi milenial. Lebih dari 27.000 produsen permainan, desainer, dan operator kasino akan menghadirinya.
Potenza dan ilmuwan lain mendorong kalangan psikiater untuk menerima konsep kecanduan perilaku. Pada 2013, American Psychiatric Association mengeluarkan judi bermasalah dari bab yang berjudul “Kendali Impuls yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain” dalam Diagnostic and Statistical Manual dan memasukkannya ke bab yang berjudul “Gangguan Terkait Narkoba dan Gangguan Adiktif.” Ini bukan sekadar masalah teknis. “Ini membobol bendungan untuk mempertimbangkan perilaku lain sebagai kecanduan,” kata Judson Brewer, direktur penelitian di Center for Mindfulness di University of Massachusetts Medical School.
Baca Juga : Hujan Terus Mengguyur, Kenali Beberapa Tanda dan Jenis Tanah Longsor
Asosiasi ini mempertimbangkan ma-salah ini selama se-puluh tahun lebih, sementara penelitian terkumpul bahwa judi itu mirip kecanduan narkoba. Hasrat tak terpuaskan, penguasaan pikiran, dan dorongan tak terkendali. Kesenangan instan dan kebutuhan untuk terus menaikkan taruhan untuk merasakannya. Tak mampu berhenti, meskipun sudah berjanji dan bertekad. Potenza melakukan beberapa kajian pencitraan otak pertama tentang penjudi, dan menemukan bahwa citra itu mirip dengan pindaian pecandu obat, yaitu kegiatan yang lambat di bagian otak yang bertugas mengendalikan impuls.
SETELAH KALANGAN psikiatri menerima konsep bahwa kecanduan dapat terjadi tanpa narkoba, para peneliti sedang berusaha menentukan jenis perilaku apa saja yang tergolong kecanduan. Apakah semua kegiatan menyenangkan berpotensi menimbulkan kecanduan? Ataukah kita terlalu memedikalisasi setiap kebiasaan, dari melirik email setiap menit sampai makan cokelat setiap sore?
Di Amerika Serikat, Diagnostic and Statistical Manual kini mencantumkan gangguan bermain gim internet sebagai kondisi yang layak dipelajari lebih jauh, serta juga duka kronis yang melumpuhkan dan gangguan minum kafeina. Kecanduan internet tidak disertakan.
Tetapi, disertakan dalam daftar kecanduan psikiater Jon Grant. Demikian pula belanja dan seks kompulsif, kecanduan makanan, dan kleptomania. “Apa pun yang terlalu menyenangkan, apa pun yang memicu euforia atau menenangkan, bisa menjadi adiktif,” kata Grant, yang memimpin Addictive, Compulsive and Impulsive Disorders Clinic di University of Chicago. Apakah hal tersebut menjadi adiktif tergantung pada kerentanan seseorang, yang antara lain dipengaruhi oleh genetika, trauma, dan depresi. “Tidak semua orang menjadi kecanduan,” katanya.
Mungkin kecanduan “baru” yang paling kontroversial adalah makanan dan seks. Dapatkah hasrat dasar menjadi adiktif? World Health Organization merekomendasikan menyertakan seks kompulsif sebagai gangguan kendali impuls dalam edisi terbaru International Classification of Diseases, yang dijadwalkan terbit 2018. Tetapi, American Psychiatric Association menolak seks kompulsif dalam buku petunjuk diagnosis terbarunya, setelah perdebatan serius tentang apakah masalah itu nyata. Asosiasi itu tidak mempertimbangkan kecanduan makanan.
Baca Juga : Harimau Akan Menghadapi Kepunahan Dalam Sepuluh Tahun Mendatang
Nicole Avena, ahli ilmu saraf di Mount Sinai St. Luke’s Hospital di New York, menunjukkan bahwa tikus akan terus melahap gula jika dibiarkan, lalu tumbuh toleransi, ketagihan, dan sakau, sama seperti yang terjadi saat tikus itu kecanduan kokaina. Avena dan peneliti di University of Michigan baru-baru ini menyurvei 384 orang dewasa: Sembilan puluh dua persen melaporkan hasrat terus-menerus untuk makan makanan tertentu dan berkali-kali gagal berhenti, yakni dua ciri kecanduan. Responden memeringkat piza—biasanya dibuat dengan roti tepung putih dan dibubuhi saus tomat yang sarat gula—sebagai makanan paling adiktif, sedangkan keripik kentang dan cokelat seimbang menjadi juara dua. Avena tidak meragukan bahwa kecanduan makanan itu nyata. “Itu alasan utama orang kesulitan mengatasi obesitas.”
SAINS LEBIH BERHASIL memetakan masalah dalam otak kecanduan daripada mencari cara menanggulanginya. Beberapa obat dapat membantu orang mengatasi kecanduan tertentu. Misalnya, naltrekson dikembangkan untuk mengobati penyalahgunaan opioid, tetapi juga diresepkan untuk membantu mengurangi atau menghentikan minum alkohol, lewah makan, dan judi.
Buprenorfin mengaktifkan reseptor opioid di otak, tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada heroin. Obat itu meredam gejala ketagihan dan sakau yang menyiksa, agar orang dapat keluar dari pola adiktif. “Ini mukjizat,” kata Justin Nathanson, pembuat film dan pemilik galeri di Charleston, South Carolina. Dia memakai heroin bertahun-tahun dan mencoba rehab dua kali, tetapi kambuh. Lalu, seorang dokter meresepkan buprenorfin. “Dalam lima menit saya merasa benar-benar normal,” katanya. Dia sudah 13 tahun tidak menggunakan heroin.
Sebagian besar obat yang digunakan untuk mengobati kecanduan sudah beredar bertahun-tahun. Kemajuan terbaru dalam ilmu saraf belum menghasilkan penyembuhan terobosan. Para peneliti telah menguji puluhan senyawa, tetapi meski banyak yang menjanjikan di lab, uji klinisnya belum menunjukkan tingkat keberhasilan tinggi. Stimulasi otak untuk pengobatan kecanduan, yaitu pengembangan dari temuan terbaru dalam ilmu saraf terbaru, masih pada tahap eksperimen.
Meskipun program 12 langkah, terapi kognitif, dan pendekatan psikoterapi lainnya berhasil mengubah hidup banyak orang, tidak ada yang selalu manjur untuk semua orang, dan tingkat kekambuhan masih tinggi.
Di dunia pengobatan kecanduan, ada dua kubu. Satu kubu meyakini bahwa kesembuhan dicapai dengan memperbaiki kimia atau struktur yang cacat pada otak kecanduan melalui obat atau teknik seperti TMS, dengan dukungan psikososial sebagai tambahan. Kubu lain memandang obat sebagai tambahan, sebagai cara mengurangi ketagihan dan penderitaan sakau, sementara orang melakukan kerja psikologis yang penting bagi kesembuhan dari kecanduan. Kedua kubu ini sepakat tentang satu hal: Pengobatan yang ada sekarang belum memadai.
Brewer mempelajari psikologi Buddha. Dia juga adalah seorang psikiater spesialis di bidang kecanduan. Dia meyakini bahwa harapan terbaik untuk menyembuhkan kecanduan adalah memadukan ilmu pengetahuan modern dan praktik perenungan kuno. Dia menganjurkan hidup berkesadaran, yang menggunakan meditasi dan teknik lainnya untuk menghadirkan kesadaran tentang perbuatan serta perasaan kita, terutama tentang kebiasaan yang mendorong perilaku merugikan.
Dalam filosofi Buddha, hasrat dipandang sebagai akar semua penderitaan. Buddha tidak berbicara soal heroin atau es krim atau kebutuhan lain yang membawa orang ke grup Brewer. Tetapi, ada semakin banyak bukti bahwa hidup berkesadaran dapat mengimbangi banjir dopamin dalam hidup modern. Para peneliti di University of Washington menunjukkan bahwa program yang berdasarkan hidup berkesadaran lebih efektif dalam mencegah kekambuhan kecanduan narkoba daripada program 12 langkah.
Baca Juga : Bencana Alam Hingga Perpecahan Politik, Ancaman Terbesar yang Dihadapi Dunia di 2019
Hidup berkesadaran itu melatih orang untuk memperhatikan rasa ketagihan tanpa bereaksi terhadapnya. Intinya adalah bertahan menghadapi hasrat kuat itu hingga mereda. Hidup berkesadaran juga mendorong orang memerhatikan mengapa mereka merasa tertarik untuk memakai. Brewer dan lainnya menunjukkan bahwa meditasi dapat menenangkan korteks singulat posterior, yaitu ruang saraf yang terlibat dalam jenis perenungan yang dapat menimbulkan lingkaran obsesi.
Brewer berbicara antara istilah ilmiah—hipokampus, insula—dan bahasa Pali, bahasa dalam kitab Buddha. Pada suatu malam, dia berdiri di depan 23 orang yang makan saat stres.
Donnamarie Larievy, konsultan pemasaran dan pembimbing eksekutif, bergabung dengan kelompok hidup berkesadaran mingguan itu untuk menghentikan kebiasaannya makan es krim dan cokelat. Setelah empat bulan, dia menyantap makanan lebih sehat dan sesekali menikmati es krim cokelat, tetapi jarang mendambakannya. “Ini mengubah hidup,” katanya. “Pada intinya, ketagihan saya sudah berkurang.”
Bagi Abels, 28, perajin dan teknisi desain lampu yang memahami cara kerja sirkuit, pengetahuan tentang ilmu saraf membuatnya merasa lega. Dia tidak merasa terjebak oleh biologi atau dibebaskan dari tanggung jawab atas kegiatan minumnya. Alih-alih, rasa malunya berkurang. “Dulu saya selalu berpikir bahwa minum alkohol adalah kelemahan,” katanya. “Saya merasa diberdayakan saat memahami bahwa ini penyakit.”
Dia memanfaatkan semua hal yang ditawarkan pusat medis itu untuk sembuh—obat, psikoterapi, kelompok dukungan, dan kejutan elektromagnetik di kepala. “Otak dapat memulihkan diri,” katanya. “Itu luar biasa.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR