Revisi terbaru Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, buku pegangan psikiatri Amerika, untuk pertama kalinya mengakui kecanduan perilaku: judi. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa banyak godaan hidup modern—makanan rendah-gizi, belanja, ponsel—berpotensi adiktif karena memiliki efek dahsyat pada sistem imbalan otak, yaitu sirkuit yang mendasari ketagihan.
“Kita semua adalah detektor imbalan yang canggih,” kata Anna Rose Childress, ahli ilmu saraf klinis di Center for Studies of Addiction di University of Pennsylvania.
Selama bertahun-tahun, Childress dan ilmuwan lain berusaha menguak misteri kecanduan dengan mempelajari sistem imbalan. Dalam sebagian besar penelitian Childress, pecandu narkoba dimasukkan ke tabung mesin pencitraan resonansi magnetis (MRI), yang melacak aliran darah di otak untuk menganalisis aktivitas saraf. Melalui algoritme kompleks dan kode warna, pindaian otak dikonversi menjadi gambar yang menunjukkan sirkuit mana saja yang sangat aktif ketika otak menagih.
Childress duduk di komputer, melihat-lihat galeri gambar otak. “Saya bisa berjam-jam melihat gambar otak, dan memang saya lakukan,” katanya. “Gambar ini anugerah kecil. Bahwa kita bisa memvisualisasikan keadaan otak, itu dahsyat sekaligus berbahaya.
Sistem imbalan, yaitu bagian primitif otak yang tidak terlalu berbeda pada tikus, bertugas untuk memastikan kita mencari hal-hal yang kita perlukan, dan menunjukkan pemandangan, suara, dan bau yang mengarahkan kita ke hal-hal itu. Sistem ini beroperasi di wilayah insting dan refleks, yang terbentuk ketika bertahan hidup tergantung pada kemampuan memperoleh makanan dan seks sebelum kalah cepat dengan pesaing. Tetapi, sistem ini dapat membuat kita tersandung di dunia yang menyajikan peluang siang-malam untuk memenuhi hasrat kita.
Hasrat tergantung pada sederet tindakan otak yang kompleks, tetapi ilmuwan meyakini bahwa pemicunya adalah lonjakan neurotransmiter yang bernama dopamin. Pesuruh kimiawi yang membawa sinyal melintasi sinapsis, dopamin memegang beragam peran di otak. Hal yang paling relevan dalam kecanduan, aliran dopamin memperkuat hal yang disebut ilmuwan sebagai salience, atau tarikan motivasional suatu stimulus. Setiap narkoba yang disalahgunakan memengaruhi kimia otak dengan cara berbeda-beda, tetapi semuanya menaikkan tingkat dopamin jauh di atas rentang alami.
Baca Juga : Belajar Membaca dan Kaitannya dengan Belajar Musik Sejak Dini
Mari kita lihat efek samping aneh dari obat yang meniru dopamin alami dan digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson. Penyakit ini merusak sel yang memproduksi dopamin, terutama memengaruhi gerak. Otak pengganti dopamin dapat meringankan gejala penyakit itu, tetapi sekitar 14 persen pasien Parkinson yang menggunakan obat ini menjadi kecanduan judi, belanja, pornografi, makan, atau obatnya sendiri.
Melalui pembelajaran, sinyal atau tanda pengingat imbalan mulai memicu lonjakan dopamin. Itu sebabnya aroma kue yang sedang dipanggang di oven, bunyi tanda masuk SMS, atau obrolan yang terdengar lewat pintu bar yang terbuka, dapat membetot perhatian seseorang dan memicu hasrat. Childress menunjukkan bahwa, untuk merangsang sistem hadiah pecandu, suatu sinyal tidak perlu tercatat secara sadar oleh si pecandu. Dalam kajian yang diterbitkan dalam PLoS One dia memindai otak 22 pecandu kokaina yang sedang dalam proses penyembuhan, sementara foto pipa kokaina dan pernak-pernik narkoba lain ditampakkan sekilas selama 33 milidetik, sepersepuluh waktu kedipan mata. Mereka tidak secara sadar “melihat” sesuatu, tetapi gambar itu mengaktifkan bagian sirkuit imbalan yang sama dengan yang dirangsang oleh narkoba yang terlihat.
Menurut pandangan Childress, temuan ini mendukung cerita yang didengarnya dari para pasien kokaina yang kambuh, tetapi tak bisa menjelaskan apa penyebabnya. “Mereka berjalan-jalan di lingkungan yang biasanya terdapat sesuatu yang mengingatkan pada kokaina,” katanya. “Mereka seperti dipersiapkan untuk kambuh, sistem hadiah purba itu digelitik. Ketika mereka mulai menyadarinya, proses kambuh sudah seperti bola salju yang menuruni bukit.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR