Otak, tentu saja bukan sekadar organ yang memproses imbalan. Otak memuat mesin paling canggih yang dihasilkan evolusi untuk berpikir, menimbang risiko, dan mengendalikan hasrat liar. Mengapa hasrat dan kebiasaan bisa mengalahkan akal, niat baik, dan kesadaran tentang kerugian dari kecanduan?
“Ada iblis tangguh yang mengacau kita,” kata seorang lelaki tegap yang bersuara menggelegar dan mengisap kokaina secara teratur.
Dia sedang berpartisipasi dalam kajian di lab Rita Z. Goldstein, profesor psikiatri dan ilmu saraf, tentang peran pusat kendali eksekutif otak, yaitu korteks prefrontal. Sementara pemindai merekam aktivitas otaknya, dia akan melihat gambar kokaina dengan perintah untuk membayangkan kesenangan atau bahaya yang ditimbulkan setiap gambar. Goldstein dan timnya menguji apakah umpan balik saraf, yang membantu orang mengamati aktivitas otaknya, dapat membantu pecandu lebih mengendalikan kebiasaan kompulsif.
“Saya terus berpikir, kok bisa saya membuang uang sebanyak itu untuk narkoba itu,” kata lelaki itu saat diantar ke mesin MRI.
Pencitraan saraf Goldstein membantu memperluas pemahaman tentang sistem imbalan otak, dengan cara mempelajari kaitan antara kecanduan dengan korteks prefrontal dan wilayah korteks lainnya. Perubahan dalam bagian otak ini memengaruhi pertimbangan, kendali-diri, dan fungsi kognitif lain yang terkait dengan kecanduan. “Imbalan itu penting pada awal siklus kecanduan, tetapi respons terhadap imbalan semakin berkurang seiring gangguan itu berlanjut,” katanya. Pecandu biasanya terus memakai narkoba untuk menghapus penderitaan batin yang dirasakannya saat berhenti memakai.
Baca Juga : Kisah Janda-janda di India yang Ditelantarkan dan Dianggap Sebagai Nasib Buruk
Pada 2002, bekerja sama dengan Nora Volkow, yang kini direktur NIDA, Goldstein menerbitkan hal yang menjadi model kecanduan yang berpengaruh, disebut iRISA, atau pengendalian respons dan penilaian kepentingan yang terganggu. Nama yang sulit untuk konsep yang cukup sederhana. Saat sinyal narkoba semakin menonjol, medan perhatian menyempit. Kemampuan otak untuk mengendalikan perilaku di depan sinyal itu pun berkurang.
Goldstein menunjukkan bahwa secara keseluruhan, materi kelabu di korteks prefrontal pecandu kokaina lebih kecil volumenya (suatu kelemahan struktur yang terkait dengan kelemahan fungsi eksekutif otak) dan hasil tes mereka berbeda dengan orang non-pecandu pada uji psikologis tentang ingatan, perhatian, pengambilan keputusan, dan pemrosesan hadiah non-narkoba seperti uang. Hasil mereka umumnya lebih buruk, meski tidak selalu. Tergantung konteksnya.
Misalnya, pada tugas standar yang mengukur kefasihan—sebutkan hewan ternak sebanyak-banyaknya dalam satu menit!—pecandu mungkin kalah. Tetapi, ketika Goldstein meminta mereka menyebutkan kata-kata yang terkait dengan narkoba, hasil mereka cenderung lebih baik daripada orang lain. Pemakai narkoba kronis biasanya mahir merencanakan dan melaksanakan hal-hal yang melibatkan pemakaian narkoba, tetapi bias ini dapat melemahkan proses kognitif lain, termasuk mengetahui cara dan waktu berhenti memakai. Gangguan perilaku dan otak kadang tidak semenonjol gangguan otak lain, dan lebih dipengaruhi oleh situasi.
“Kami rasa inilah salah satu penyebab kecanduan adalah salah satu gangguan terakhir yang diakui sebagai gangguan otak,” katanya.
Lab Goldstein menemukan bukti menarik bahwa wilayah otak depan mulai sembuh ketika orang berhenti memakai obat. Sebuah kajian tahun 2016 melacak 19 pecandu kokaina yang telah berpantang atau mengurangi pemakaian secara drastis selama enam bulan. Volume materi kelabu mereka tampak membesar secara signifikan di dua wilayah yang terlibat dalam menghambat perilaku dan menilai imbalan.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Rahmad Azhar Hutomo |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR