Nationalgeographic.co.id - Bagaimana cara memprediksi perkembangan perkotaan masa depan? Kita bisa mempelajari statistik populasi yang mencatat jumlah kelahiran, kematian, dan tingkat perpindahan penduduk untuk mengantisipasi perubahan besar kota. Atau kita bisa menganalisis perkembangan teknologi dan tren bisnis untuk meramalkan potensi sebuah kota sebagai pusat ekonomi.
Berikut ini cara lain: ‘Metode Sastra untuk Desain Urban’, yang menggunakan karya fiksi untuk memprediksi skenario yang mungkin terjadi.
Baca Juga : Sindrom Mayat Berjalan, Ketika Seseorang Berpikir bahwa Ia Sudah Meninggal
Secara sederhana, metode ini terdiri dari tiga langkah:
Cara terbaik untuk melihat Metode Sastra dalam aksi adalah melalui studi kasus - contohnya disajikan di bawah ini.
1. Leuven masa depan terinspirasi Utopia karya Thomas More
Utopia karya Thomas More diterbitkan 500 tahun lalu di Kota Leuven, yang saat itu merupakan bagian dari Belanda. Buku ini menceritakan kisah sebuah negara kepulauan yang ideal, bebas dari keburukan kota-kota Eropa. Di Utopia tidak ada korupsi dan kejahatan. Tidak ada tirani, hanya orang-orang bahagia yang hidup bebas.
Terinspirasi oleh Utopia, berikut ini adalah sebuah skenario untuk masa depan Leuven; ditawarkan cara menyelamatkan kota tersebut dari kerusakan lingkungan.
Menjadi vegetarian disebut-sebut sebagai cara paling baik untuk mengurangi dampak buruk Anda terhadap kerusakan lingkungan di bumi. Leuven masa depan menanggapi gagasan ini dengan serius dengan melarang penjualan dan konsumsi daging dan, pada gilirannya, kota ini menawarkan makan siang vegetarian gratis untuk semua penduduknya.
Kubis mendapat tempat khusus di Leuven sebagai contoh lokal sayuran hijau yang berkelanjutan, karena tidak perlu rumah kaca yang dipanaskan dan dapat dengan mudah ditanam secara organik. Selain itu, kubis dapat ditanam secara liar untuk menambah keanekaragaman hayati lanskap kota.
2. Singapura masa depan terinspirasi perjalanan Gulliver (Gulliver’s Travel) karya Jonathan Swift
Gulliver’s Travels diterbitkan 300 tahun lalu sebagai buku catatan penjelajah fiksi.
Dalam salah satu perjalanannya Gulliver menemukan sebuah kota yang melayang di atas sebuah pulau kecil di Asia-Pasifik. Terinspirasi oleh ini, di bawah adalah desain untuk Singapura masa depan.
Sementara Laputa mengapung layang karena kekuatan magnet di pulau-pulau berbatu di bawahnya, Singapura masa depan mengapung ditarik oleh balon hidrogen. Singapura masa depan yang melayang ini untuk menghindari kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Hidrogen diproduksi oleh elektrolisis bertenaga surya dari semprotan laut; sebuah proses yang terjadi di dalam kulit balon. Jika ini sepertinya solusi berisiko untuk kenaikan permukaan laut, maka mungkin kita harus mencoba melakukan sesuatu untuk mengurangi perubahan iklim.
3. Ingolstadt masa depan sebagaimana diilhami oleh Frankenstein Mary Shelley
Kisah penciptaan Frankenstein sangat terkenal: seorang ilmuwan ambisius yang bekerja dengan teknologi aneh dan tubuh manusia yang telah mati demi menciptakan makhluk baru. Namun, begitu makhluk itu hidup, ilmuwan tersebut ketakutan dengan makhluk buatannya sendiri dan melarikan diri.
Novel Shelley berlatar belakang kota Bavaria, Ingolstadt. Ketika monster itu berkeliaran di kota, penduduk kota mengusirnya dengan melemparinya dengan batu. Untuk menghindari penolakan sosial, monster itu kabur dari kota dan tinggal di hutan terdekat tempat ia dengan gembira berkomunikasi dengan alam yang tidak menghakimi.
Di hutan, monster itu menemukan satu keluarga pengungsi dari Prancis. Keluarga tersebut mengungsi dari tanah air mereka karena Revolusi Prancis dan tinggal di sebuah pondok kecil di hutan Ingolstadt. Meski monster itu tidak berani menunjukkan wajahnya kepada mereka, keluarga pengungsi tersebut memberinya harapan. Bagaimana pun, mereka diasingkan seperti dia tapi mereka tetap terlihat bahagia dan saling mengasihi.
Baca Juga : Meresahkan, Tersebar Daftar 'Breedready' Berisi Data Wanita Tiongkok yang Siap Memiliki Anak
Setiap hari, monster itu mengembara di antara pepohonan untuk mengumpulkan makanan dan kayu bakar; meletakkannya secara diam-diam di pintu pondok keluarga. Keluarga tersebut tidak pernah menemukan siapa pembantu mereka yang baik hati. Mungkin ‘malaikat hutan’, dugaan mereka.
Termotivasi oleh transformasi ‘monster’ menjadi ‘malaikat’, kami menciptakan desain berikut untuk Ingolstadt masa depan.
Fitur utamanya adalah ‘penghalang berwajah kelelawar’ yang wajah-wajah tiga dimensi yang besar dan mengerikan diambil dari struktur wajah kelelawar. Penghalang ini memantulkan kembali kebisingan lalu lintas mobil yang berkendara di jalan raya. Melalui sarana ini, hutan di sekitarnya dapat tetap damai dan tidak terganggu.
Kekuatan sastra
Sastra biasanya lebih dari sekadar menghibur; ia menceritakan tentang tantangan kehidupan yang rumit –seringkali dari sudut pandang karakter individu ketika mereka terlibat dengan dunia sosial yang lebih luas.
Masa depan tidak hanya dapat dipahami melalui statistik atau dengan teknologi canggih. Masa depan melibatkan serangkaian respons manusia terhadap perubahan pola masyarakat. Karya-karya fiksi dapat mengeksplorasi betapa rumit dan beragamnya respons manusia melalui penggambaran karakter-karakter aneh dan konflik yang mereka hadapi. Dengan demikian, siapa pun yang memikirkan masa depan kota dengan cara apa pun dapat mengambil manfaat dari metode sastra ini. Metode ini dapat mendorong pandangan yang lebih luas tentang bahaya dan peluang yang ada di depan.
Jika cerita-cerita di atas tidak ada yang tepat untuk Anda, maka Anda tentu saja dapat mencari inspirasi dari novel-novel favorit Anda sendiri atau karya sastra nasional. Karya-karya fiksi dapat membantu Anda secara kreatif menyiapkan desain untuk kota Anda sendiri pada masa depan.
Alan Marshall, Lecturer in Environmental Social Sciences, Faculty of Social Sciences and Humanities, Mahidol University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR